Lisanmu, Cerminmu

a red wall with a sticker of a heart on it

Mentari pagi menembus celah-celah daun waru. Embun tipis menempel di dedaunan. Raihan, santri berusia 15 tahun, duduk termenung di beranda asrama, ponselnya bergetar nyaring.

Video viral itu menyebar cepat.

Seorang tokoh publik tampak angkuh, mempermalukan seorang pedagang kecil di depan umum. Kata-katanya tajam. Seperti sembilu yang merobek martabat manusia sederhana.

Teman-teman sekamarnya berkumpul, emosi mereka membuncah.

“Habisi!” seru mereka kompak. Komentar-komentar pedas bertebaran di media sosial, bagaikan api yang siap membakar reputasi sang tokoh.

Kiai Muzakki kebetulan lewat. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar. Tatapannya teduh, menyelami jiwa para santri yang dipenuhi amarah.

“Ada apa, anak-anak?”

Hening.

Mereka menunjukkan layar ponsel. Sang kiai tersenyum. Senyum yang mengandung sejuta makna, bijak dan mendalam.

“Duduklah,” ajaknya.

Udara terasa berat. Mereka berkumpul mengelilingi sang kiai, menggunakan sarung dan peci. Nuansa pesantren Jawa mengalir dalam setiap hembus napas.

“Pernahkah kalian berpikir,” ujar Kiai Muzakki perlahan, “bahwa setiap manusia memiliki kesalahan?”

Pertanyaan sederhana. Namun begitu mendalam.

Raihan mengerjapkan mata. Ia mulai membaca ulang deretan komentar yang baru saja ditulisnya. Kata-kata tajam yang semula terasa benar, kini terasa berbeda.

Sang kiai melanjutkan, mengutip hadis dengan lembut: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi melihat hati dan amal perbuatan.”

Sentuhan budaya Jawa terasa dalam setiap kata. Bukan ceramah menggurui, melainkan nasihat yang meresap bagaikan air membasahi tanah tandus.

“Kritik itu diperlukan,” bisik sang kiai, “tapi bukan untuk menghancurkan. Kritik sejati adalah yang mampu mengangkat martabat manusia.”

Para santri tertegun. Mereka mulai memahami bahwa media sosial bukanlah medan perang, melainkan ruang dialog.

Raihan mencoba menulis ulang komentarnya. Tidak lagi dengan kemarahan, tapi dengan empati. Ia memikirkan sang pedagang kecil, tentang perjuangannya, tentang martabatnya.

“Rasulullah pernah bersabda,” Kiai Muzakki melanjutkan, “‘Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.'”

Senja mulai merayap. Warna jingga membaur dengan hijau pepohonan pesantren. Suara adzan magrib berkumandang, mengajak seluruh penghuni untuk kembali pada fitrah.

“Ingat,” Kiai Muzakki berpesan terakhir, “Lisanmu adalah cerminmu. Jaga ia sebaik-baiknya.”

Malam itu, di pesantren yang damai, terukir sebuah pelajaran: Kebencian tidak pernah bisa dilawan dengan kebencian. Hanya cinta dan pengertian yang mampu mengubah segalanya.

Raihan memandangi ponselnya. Beberapa komentar mulai dihapus. Bukan karena membela kesalahan, tapi karena memahami martabat setiap manusia.

Matahari Persahabatan

yellow sunflowers

Sore itu, langit berkelip dengan warna jingga keemasan. Matahari perlahan turun di ufuk barat, menebar cahaya lembut yang membelai rerumputan di halaman rumah keluarga Aminah.

Zahra, gadis berusia 7 tahun dengan rambut ikal dan mata jernih, duduk bersimpuh di samping ibunya. Rumah mereka bergaya Jawa yang sederhana, dengan pot-pot tanaman hijau menghiasi sudut-sudutnya, menciptakan suasana hangat dan damai.

“Bu,” kata Zahra tiba-tiba, matanya menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu, “hari ini di sekolah terjadi sesuatu yang membingungkan. Rafi, temanku yang beragama Kristen, mengajakku bermain. Tapi Edo bilang kami tidak boleh berteman karena berbeda agama.”

Ibu Aminah tersenyum lembut, tangannya membelai rambut Zahra dengan penuh kasih. “Siapa yang mengajarkan Edo berpikir begitu, sayang?”

“Entahlah,” jawab Zahra, keningnya berkerut. “Dia bilang hanya boleh berteman dengan yang seagama. Itu benar, Bu?”

Ibu Aminah mengajak Zahra mendekati jendela. Matahari mulai turun semakin rendah, menciptakan lukisan indah di langit. Warna-warni jingga, merah, dan emas berpadu membelai awan.

“Lihat matahari itu, Zahra. Perhatikan betapa dia bersinar untuk semua orang, tidak peduli apa agama, suku, atau warna kulitnya.”

Zahra memperhatikan dengan seksama, mata bulatnya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Maksud Ibu?”

“Allah menciptakan manusia dengan keberagaman yang indah. Seperti matahari yang dilihat dari sudut berbeda, kita pun bisa memandang Tuhan dengan cara yang berbeda. Yang terpenting adalah niat baik, hati yang tulus, dan perbuatan yang menebar kebaikan.”

“Jadi boleh ya berteman dengan siapa pun?” tanya Zahra, semakin antusias.

“Tidak hanya boleh, tapi wajib,” tegas Ibu Aminah. “Islam sejati adalah agama yang penuh cinta, yang mengajarkan kita untuk mencintai sesama, menghormati perbedaan, dan menciptakan perdamaian.”

Zahra tersenyum lebar, mengingat-ingat pelajaran dari kakeknya.

“Seperti kata Mbah Hasyim, ‘Hubbul wathan minal iman‘, ya Bu? Cinta tanah air berarti mencintai semua rakyatnya?”

“Tepat sekali!” Ibu Aminah mengacungkan jempol, matanya berbinar bangga.

“Cinta tanah air bukan sekadar menghormat bendera, tapi mencintai setiap manusia yang tinggal di dalamnya, apapun agama dan sukunya.”

Matahari perlahan tenggelam, menyisakan jejak cahaya keemasan yang membelai rumput dan dedaunan. Zahra dan ibunya berpelukan erat, hati mereka penuh kedamaian, memahami indahnya kebersamaan dalam perbedaan.

Di luar, langit mulai gelap, bintang-bintang mulai bermunculan – seolah ikut menyaksikan momen berharga tentang cinta, toleransi, dan kemanusiaan.

***

Duta Santri Nasional Sukses Gelar Kick Off Ngaji Literasi Digital

Duta Santri Nasional secara resmi memulai pelaksanaan program Ngaji Literasi Digital melalui Kick Off yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan pada Sabtu (13/8/22). Ngaji Literasi Digital merupakan program kerja sama antara Duta Santri Nasional dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI serta Siberkreasi.

Baca, yuk!