Takzir dari Bermain Kucing-kucingan

Cerita Inayatul Fitriyah

Menjelang Hari Raya Iduladha, semua kalangan anak kecil maupun orang dewasa mulai memadati toko-toko busana. Mereka memborong dua sampai tiga model pakaian sekaligus. Maklum, tradisi berbaju baru saat lebaran tiba merupakan “kesunahan” tersendiri bagi pemakainya. Bahkan aku ikut ketularan mereka juga.

***

Ditemani Zahra, teman karibku, kami menerobos gerbang utama dengan aman. Tentu saja ini bukan kali pertama kami melakukan aksi pelanggaran keluar pondok tanpa izin. Kami sudah berkali-kali melakukannya dan kali ini kami lakukan dengan alasan ke pasar untuk membeli baju baru.

Orang tua kami tidak mau membelikan kami baju baru dengan alasan baju lama masih layak untuk dipakai. Maka, berbekal uang simpanan terakhir, kami nekat keluar tanpa izin, lagi.

Sampai di pasar, kami sibuk memilih satu dari sekian banyak pasang model baju yang dijajakan sepanjang jalan. Sekian lama berputar-putar di dalam pasar, akhirnya kami menemukan pakaian yang sesuai dan kami segera membayar pada penjual.

Saat menunggu kembalian dari penjual, tiba-tiba Zahra menyenggol bahuku, kemudian menunjuk pada seseorang. Otomatis pandanganku beralih pada seseorang yang ditunjuk Zahra. Seketika, mataku melebar kala tahu siapa dia.

“Gawat, ada Ustazah Nur, Ra!” kataku refleks. Menyadari ada yang memanggil, Ustazah Nur menoleh. Ia celingak-celinguk melihat sekitarnya. Aku menarik tangan Zahra dengan cepat dan bersembunyi di balik tumpukan baju.

Sejenak, Zahra mengintip, melihat keadaan.

“Na, sepertinya Ustazah Nur mau ke sini,” ujar Zahra panik. Akhirnya aku menarik tangannya menuju toko sebelah untuk mencari tempat persembunyian.

“Cari apa, Dik?” tanya si Pemilik Toko.

“Emmm … anu Pak, cari baju … atasan warna pink!” jawab Zahra sekenanya.

Pemilik toko segera berlalu, mencari baju yang dimaksud. Terlihat Ustazah Nur semakin dekat dan tangan Zahra menarikku. Kami berlari semampunya, tidak menghiraukan teriakan penjual yang melambai dengan baju pink di tangannya.

Kami memilih keluar dari pasar dan berjalan menuju pondok secepatnya. Sebelum Ustazah Nur sampai dahulu di pondok, kami harus sudah di pondok.  Bisa-bisa nanti kena hukuman jika beliau sampai dulu ke pondok dan melihat kami dari luar gerbang utama.

Sampai di depan gerbang, sejenak kami mengatur napas. Kemudian membuka gerbang secara perlahan. Kami memilih masuk lewat gerbang belakang yang lumayan jauh dari jangkauan para ustazah dan bagian keamanan.

Saat baru lima langkah masuk, suara deham terdengar jelas di belakang kami. Aku dan Zahra kompak menoleh. Di sana sudah berdiri sosok yang sedari tadi mengikuti kami di pasar. Beliau adalah Ustazah Nur, ketua bagian keamanan I.

“Eh, ada Ustazah Nur. Assalamualaikum, Ustazah,” kataku tanpa dosa.

“Waalaikumsalam,” katanya dengan masygul.

“Kami permisi duluan Ustazah, assalamualaikum,” kilahku mencoba menghindar, tetapi baru selangkah menjauh, Ustazah Nur bertanya, “Mau ke mana kalian berdua?”

“Ke kamar Ustazah, kan sebentar lagi azan Zuhur,” ucap Zahra.

“Kenapa buru-buru, memang kalian habis dari mana??” tanya Ustazah Nur.

“Dari … dari … anu Ustazah ….”
Belum selesai menjawab, Ustazah Nur mendahului, “Dari pasar kan?” ucap beliau.

“Ayo, ikut saya ke kantor keamanan,” tegasnya.

Maka, dengan langkah gontai kami berjalan mengekori menuju kantor keamanan. Sampai di sana, kami diinterogasi oleh beliau bersama salah seorang pengurus bagian keamanan juga.

“Jawab yang jujur, tidak usah ada yang ditutup-tutupi, mengerti?!!”

Ternyata dalam keadaan seperti ini, Ustazah Nur jauh lebih seram dibandingkan ketika sedang mengajar di kelas. Aku dan Zahra menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan jujur dan pasrah. Sejenak, Ustazah Nur menghela napas berat. Kemudian beralih menatap kami berdua.

“Nina, Zahra, saya tidak tahu harus berbuat apa mendengar alasan yang disampaikan kalian berdua. Kalau orang tua kalian sudah melarang, buat apa kalian repot-repot melanggar aturan hanya demi sebuah pakaian ini. Kalau saja saya tidak menemukan kalian di pasar, entah sudah ada di mana kalian saat ini.

Baiklah, untuk saat ini saya tidak akan melaporkan kelakuan kalian pada ketua pondok. Hanya saja, saya punya hukuman yang istimewa untuk kalian berdua.”

Spontan aku dan Zahra yang sedari tadi menunduk takut, mendongak menatap ke arah Ustazah Nur.

“Semoga setelah ini kalian benar-benar jera untuk tidak melanggar peraturan yang ada. Selepas magrib temui saya di sini. Kalian akan menjalankan hukuman selepas Salat Magrib berjemaah nanti.”

Aku dan Zahra mengangguk. Kemudian kami pergi dari kantor keamanan dengan memasang wajah masam. Sebelum pergi, tak lupa kami menyalami tangan Ustazah Nur dan meminta maaf yang sebesar-besarnya atas perbuatan yang sudah kami lakukan. Ustazah Nur dengan lembut menyambut kami.

***

Selepas magrib, kami berdua benar-benar mendatangi kantor keamanan kembali. Rupanya, rumor tentang kami berdua yang ketahuan oleh Ustazah Nur sudah menyebar seantero pondok pesantren.

Sepanjang kami melintas, banyak pasang mata yang melirik sembari menggerak-gerakkan mulutnya. Seolah sedang membicarakan kami berdua atau benar-benar membicarakan kami.

“Takziran untuk kalian berdua adalah memakai kerudung lalu lintas ini. Kerudung ini sebagai tanda pelanggaran sedang, kemudian kalian berdiri di depan jemaah takbir sambil mengikuti alunan takbir. Selain itu, kalian harus rajin mengikuti kegiatan wajib selama dua minggu berturut-turut dengan menyertakan tanda tangan dari setiap pemimpin kegiatan. Okay, rasanya sudah cukup hukuman untuk kalian.”

Kami berdua dibuat menganga dengan rentetan hukuman dari Ustazah Nur. 
Di sinilah kami berdua berakhir. Kami menatap nanar ratusan jemaah takbir Hari Raya Iduladha malam ini. Kami memakai kerudung lalu lintas dan nama pelanggaran membuat jelas desas-desus tak enak seharian ini.

Kami menjadi pusat perhatian malam ini. Semoga saja, hukuman ini menyadarkan kami berdua dan bagi teman-teman yang lain menjadi pelajaran akibat dari melanggar aturan.

Aku berpikir mungkin pula ini disebabkan ketidakpatuhan pada ucapan orang tua. Dibilang tidak usah membeli baju, eh malah ngeyel keluar pondok menuju pasar dan tanpa izin pula.

Untungnya, kejadian ini tak sampai dilaporkan pada orang tua kami. Biarlah kami menanggung apa yang sudah kami perbuat sendiri.

***

Inayatul Fitriyah (17 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al Usymuni Tarate, Madura. Ia juga siswa kelas 12 SMA Plus Miftahul Ulum Tarate. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: @Ifiya atau Instagram dengan nama: @ifiya_.