A Hope for Better Day

Cerita Alfin Haidar Ali

“Hore, aku tak lulus.”

“Bareng sama aku. Tos ….” Kedua tangan mereka saling menepuk tangan layaknya kawan lama yang berhasil mengeksekusi rencananya.

Aku melihat mereka. Matanya berkaca-kaca. Salah satu temanku bilang, “Nilai ini beneran, Ustaz? Tidak ada prank?”

“Tidak ada prank. Ini beneran,” jawab Ustaz itu dengan tenang.

Aku coba mendekati hasil pengumuman itu. Alhamdulillah, aku lulus. Aku senang karena lulus, tetapi tidak gembira karena aku harus berpisah dari teman-temanku.

Ada dua belas santri putra yang lulus dari total dua puluh lima santri putra seangkatan. Aku menjadi salah satu dari dua belas santri yang lulus. Dua belas anak itu akan diwisuda pada tanggal 9 Juli 2020. 

Malam itu, riuh kesenangan kami seketika berubah menjadi hening. Tidak ada yang menangis. Aku tahu, kesenangan mereka hanya untuk menutupi kesedihan saja karena bagi seorang laki-laki pantang untuk menangis, tetapi seperti yang dikatakan Rusdi Mathari dalam salah satu judul bukunya: Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik.

Aku terdiam sejenak dan mencoba menangkan diri. Aku yakin, meski mereka bersorak-sorak saat melihat pengumuman tes kenaikan marhalah (kelas), tetapi hakikatnya mereka sedih. Kami semua sedih meskipun tidak ada yang menangis.

Siapa yang bahagia ketika tidak bersama lagi dengan teman-teman yang sudah satu tahun lebih bersama saat ajaran baru nanti?

Kejadian itu terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Beberapa temanku itu langsung menyiapkan kendaraan dan sejumlah uang. Mereka bermalam di luar untuk menghilangkan kesedihan. Aku hanya memakluminya. Dalam hati aku berdoa, “Semoga mereka diberi ketabahan dan kesabaran.”

***

Beberapa hari setelahnya, Rony bertanya padaku, “Kamu sedih tidak, Fin, Rofi tidak lulus?”

“Sedih. Sedih banget malahan. Siapa yang bahagia dalam kondisi seperti ini. Keadaan yang kita anggap baik, belum tentu dalam skala besar adalah yang terbaik. Mungkin kita mengira bila semua anak akan selalu lulus, tetapi  kenyataannya tidak. Ini adalah keadaan yang terbaik. Kita tidak bisa menghindar,” jawabku agak menguatkan diri.

Waktu terus berjalan, begitu pula dengan takdir Tuhan. Keduanya memiliki persamaan, tidak mengenal perasaan manusia apakah siap untuk menerimanya atau tidak.

Manusia hanya perlu membesarkan hati seluas-luasnya, seluas samudra supaya hatinya mampu menerima segala hal dengan ikhlas, lapang, pasrah, dan sabar. Di sisi lain perlu juga ada keyakinan bahwa ini bukan segalanya. Kita masih ada harapan untuk masa depan, untuk kehidupan yang lebih baik. Hope for a Better Day.

Tidak lulus ujian atau sekolah bukan akhir dari kehidupan. Perjalanan masih panjang dan kesuksesan tidak hanya diukur dengan angka-angka yang sangat terbatas.

Setiap manusia memiliki keistimewaan masing-masing. Kata Einstein, “Semua orang genius. Tapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa itu bodoh.”

Begitu pula dengan teman-teman yang tidak wisuda pada hari ini. Mereka adalah orang genius dalam bidangnya. Barangkali yang berada di Ma’had Aly akan paham kitab kuning dan menjadi ulama, tetapi bisa jadi mereka akan mengharumkan nama Ma’had Aly dan Nurul Jadid dengan potensi dan kegeniusan mereka dalam bidangnya masing-masing. 

Pemahaman ini sangat mudah dicerna, tetapi di saat gagal perlu ada orang lain yang mengingatkan mereka akan hal ini. Sayang, di saat momen-momen seperti ini, aku tidak mendengar dan melihat ada yang melakukan seperti ini.

Aku ingin mengingatkan, tetapi ada saja yang menggagalkan rencana ini. Melalui tulisan ini, semoga mereka juga membacanya. Sampai, aku bercerita ke Syamsi, “Kasihan mereka yang tidak wisuda ya, Si.”

“Iya, Fin. Biasanya, saat ada panggilan demonstrasi (baca: kegiatan tanya-jawab seputar kitab kuning untuk ditampilkan saat wisuda), mata Rafi menetaskan air mata. Tapi ia tidak cerita ke teman-teman. Aku tahu cerita ini pun tidak dari Rafi, tapi dari Irul. Teman akrabnya. Adik kelas kita,” jawabnya.

Urusan tangguhnya mental seseorang memang urusan pribadi, tetapi sebagai teman, seharusnya saya turut membesarkan hati mereka untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Memang, sesuatu yang tidak sesuai dengan semangat zaman akan tertinggal dan tertindas, tetapi ke manakah semangat zaman ini mengantarkan kita?


Tulisan ini ditulis ketika sedang diadakan wisuda kenaikan marhalah (kelas) di Ma’had Aly Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur, pada tanggal 9 Juli 2020. Tulisan ini sebagai ungkapan dari penulis untuk teman-teman yang tidak diwisuda pada tahun ini.

***

Alfin Haidar Ali (19 tahun) merupakan santri semester dua di Ma’had Aly Nurul Jadid, Probolinggo. Penulis aktif menulis di blog alfinkarangan.blogspot.com dan di media bincangsyariah.com. Penulis dapat ditemui lewat Facebook: haidar ali atau Instagram @alfinhaidarali179.