Adab Itu Penting (!!!)

Cerita Andi Naufal

“Cepat lari! Nanti kita terlambat,” suara Yusril yang ngos-ngosan karena memanggilku sambil berlari terdengar sayup-sayup. Dia sudah agak jauh di depanku, terus berlari dengan obor yang terus berkibar terkena angin.

Perkenalkan, namaku Andi. Aku adalah siswa kelas lima SD di sebuah desa di bawah kaki Gunung Latimojong, gunung tertinggi di Sulawesi Selatan.

Malam ini, selepas magrib, kami berangkat ke rumah Pak Gani untuk mengaji. Ditemani dengan obor sebagai penerang, aku dan sahabatku, Yusril, berlari secepat mungkin karena dari kejauhan suara teman-teman kami sudah terdengar memulai bacaan.

Aku tidak biasanya terlambat seperti ini, tetapi tadi selepas salat Magrib, Yusril mentraktirku makan di warung Bu Anning. Orang tuanya baru saja panen cengkeh dan dia dapat upah karena sudah membantu. Kalau saja Bu Anning tidak mengingatkan kami bahwa malam ini kami mengaji, mungkin kami sudah duduk di sana sampai isya karena keasyikan cerita.

“Yusril, tunggu! Aku lelah sekali. Bagaimana mungkin aku bisa berlari kalau perut aku penuh begini!” Aku yang berusaha mengatur napasku terus memanggil Yusril yang seakan tidak memiliki rem untuk berhenti. “Benar-benar! Bagaimana bisa anak itu bisa punya tenaga seperti itu setelah membantu orang tuanya panen, lalu makan begitu banyak. Bahkan larinya pun masih seperti kijang. Luar biasa!” Aku yang terheran-heran dengan tenaga Yusril kembali berlari karena takut dapat antrean terakhir untuk menyetor bacaan.

**

“Hei! Kalian dari mana saja? Aku sudah menunggu kalian dari tadi. Atau jangan-jangan kalian dari makan dan tidak mengajakku, ya?” Malik yang berdiri di depan tangga sambil melipat tangan, menyipitkan matanya dengan pandangan menyelidik dan mencurigai kami.

“Bukannya kami tadi sudah memanggil kamu, ya? Tapi kamu yang begitu rajin, pura-pura tidak dengar dan lari meninggalkan kami. Huh!” Yusril yang kelihatan masih sangat prima setelah berlari hampir tiga ratus meter itu mulai membela diri.

“Habisnya, kukira kalian mau mengajakku untuk  membantu Pak Muslih mengangkat bangku ke masjid tadi. Jadi aku lari deh,” tatapan sinis Malik langsung berubah menjadi senyum jemawa.

“Sudah! Sudah! Ayo kita naik, nanti kita dimarahi lagi.” Aku yang sudah tahu tabiat dari dua anak ini langsung menengahi mereka. Kalau dibiarkan, nanti mereka tidak akan mau berhenti mengobrol, sampai monyet-monyet yang ada di hutan pun tak luput menjadi bahan obrolan mereka.

**

“Plak!”

“Plak!”

Suara rotan yang dipukulkan Pak Gani ke lantai membuat  semua anak terdiam. Kali ini yang menghadap adalah Malik. Kalau saja penerangan di sini bagus, pasti sudah terlihat wajah dia yang dipenuhi keringat dingin.

“Kamu tidak pernah mengulang bacaan setelah pulang ke rumah, ya? Ini sudah berkali-kali Bapak ingatkan, tetapi tetap saja salah. Hari ini bacaanmu tetap di sini. Besok kamu ulangi lagi, ya!” Tidak ada satu pun anak yang berani menertawai Malik karena mereka juga berpikir bahwa mereka akan dimarahi juga nanti.

Sebenarnya Pak Gani adalah sosok yang sangat ramah. Namun, kalau masalah bacaan Al-Qur’an, beliau adalah sosok yang sangat tegas, apalagi kalau sudah salah. Habislah kalian kena marah.

Beliau sudah berumur + 67 tahun. Bisa dibilang beliau adalah guru mengaji sebagian besar orang di kampung, bahkan termasuk bapak dan ibuku. Walaupun sudah terbilang tua, beliau masih sangat kuat. Mungkin itu karena setiap hari beliau selalu ke kebun.

Menurut cerita yang kudengar dari Bapak, Pak Gani termasuk tokoh agama yang terpandang di daerahku. Beliau pernah mengenyam pendidikan di Makkah dan Mesir, jadi ilmu beliau sudah sangat mumpuni.

Sudah banyak sekali orang yang memanggilnya untuk pindah dari kampungku yang terbilang masih tertinggal, menuju kota dan mengajar di sekolah-sekolah agama negeri. Bahkan tak tanggung-tanggung, pernah ada yang menawarkan beliau untuk menjadi kepala sekolah di suatu sekolah agama ternama. Namun, beliau menolaknya. Beliau cuma beralasan, “Saya lebih nyaman tinggal dan mengajar ngaji di sini.” Alasan yang begitu sederhana.

Aku selalu bertanya-tanya, kenapa beliau begitu nyaman mengajar di kampung sini, padahal di kampung ini tidak ada listrik. Kalau malam, orang-orang hanya menggunakan lentera, jauh dari pusat perbelanjaan, apalagi status “modern”.

Walaupun zaman sekarang bukan lagi era 90-an, sudah masuk zaman milenial, tetapi anak-anak di kampungku belum mengenal apa itu gawai. Benar-benar tertinggal. Mungkin ada beberapa anak yang tahu apa itu gawai karena memiliki keluarga di kota, tetapi sebagian besar anak-anak di sini benar-benar asing dengan kata itu.

Akhirnya semua telah menyetor bacaan. Masih tersisa lima belas menit sebelum azan Isya berkumandang. Ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu anak-anak. Apalagi kalau bukan mendengarkan cerita dari Pak Gani. Tanpa diperintah, semua anak sudah duduk dengan rapi. Malik yang begitu murung karena dimarahi, langsung berseri, seakan semua kesedihan tadi langsung sirna seketika.

Tidak ada yang tidak suka kalau Pak Gani mulai bercerita, tentang hikayat-hikayat lama, tentang pengalaman beliau menuntut ilmu di negeri seberang, ataupun tentang kisah orang-orang yang dicintai Allah. Bahkan bapak-bapak dan ibu-ibu pun akan betah tinggal di masjid apabila Pak Gani mengadakan pengajian.

“Anak-anakku yang insyaallah dirahmati Allah, alhamdulillah! Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kita kesempatan berkumpul di tempat yang begitu sederhana ini, tanpa lampu ataupun penerangan yang begitu canggih, hanya ditemani lentera usang, nyala obor kalian dan tentunya rahmat Allah yang melimpah yang menerangi hati kalian.”

Kalimat pembuka yang dibawakan Pak Gani sederhana, tetapi begitu hikmat, sampai-sampai anak-anak yang masih belia seperti kami pun bisa merasakan betapa indahnya makna dari setiap kalimat sederhana itu.

“Anak-anakku, pada malam ini, Bapak akan menceritakan kepada kalian kisah dari seorang ulama sekaligus wali Allah yang begitu hebat. Beliau adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Kisah ini dimulai ketika para penuntut ilmu masih belajar dengan lentera seperti kita ini.

Kala itu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar di sebuah madrasah. Beliau memiliki banyak murid yang berguru di madrasah tersebut. Uniknya, karena para santrinya mengharapkan berkah dari beliau, setiap Syekh Abdul Qadir al-Jailani selesai makan ataupun minum dan terdapat sisa, para santri itu akan berebut mengambil sisa makanan atau minuman itu. Mereka percaya bahwa di sana terdapat berkah dari beliau.

Suatu ketika, ada orang yang begitu iri dengan beliau dan melaporkan pada salah satu orang tua santri. Dia berkata, ‘Hei! Kau tahu? Anakmu yang belajar di madrasah Syekh Abdul Qadir al-Jailani itu selalu diberi makanan sisa. Dia diperlakukan seperti binatang saja. Apa kamu rela kalau anakmu diperlakukan seperti itu?’

Orang tua dari santri itu yang sudah termakan amarah, langsung datang dan marah di madrasah itu. Dia memaki Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan mengatakan perkataan yang tidak baik. Mereka berkata bahwa anak mereka diperlakukan seperti hewan dan perkataan-perkataan jelek lainnya. Sang orang tua santri yang begitu marah itu langsung membawa anak mereka pulang.

Selang beberapa waktu, ketika sudah tinggal di rumah, orang tua si santri menanyainya tentang apa yang dipelajari di madrasah. Si santri kemudian ditanya tentang perkara fikih, lalu ia menjawab dengan benar. Ia ditanya lagi tentang perkara agama yang lain, lalu dia menjawab lagi dengan benar.

Begitu seterusnya, hingga orang tuanya pun tersadar bahwa anak mereka benar-benar memiliki banyak ilmu setelah belajar di madrasah itu. Mereka pun berniat mengembalikan anak mereka ke madrasah Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Dengan menahan malu, mereka meminta maaf kepada sang Syekh dan meminta beliau untuk mengajar kembali anak mereka. Namun, apa yang dikatakan oleh beliau?

‘Maaf, aku sudah tidak bisa mengajar anak kalian. Bukannya aku tidak mau, tetapi di hari kalian memakiku dengan perkataan yang tidak baik itu, Allah menutup pintu keberkahan di hati anak kalian.’ Betapa menyesalnya orang tua dari santri tersebut.

Anak-anakku, kalian tahu apa hikmah dari kisah tersebut? Dari kisah ini, kita belajar bahwa menghargai seorang guru adalah hal yang sangat penting, bukan hanya bagi seorang penuntut ilmu, bahkan juga orang tua para penuntut ilmu. Para ulama terdahulu bahkan lebih dulu belajar tentang adab, baru belajar tentang ilmu.

Kenapa? Karena ketika seorang penuntut ilmu sudah beradab dan gurunya rida kepadanya maka mudah bagi Allah untuk memasukkan ilmu ke hatinya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah berkata, ‘Aku lebih memilih orang yang beradab daripada orang yang berilmu.’

Betapa pentingnya adab tersebut, anak-anak. Jadi, Bapak berharap, apabila kalian besar nanti dan kalian pergi menuntut ilmu di negeri seberang ataupun di tempat lainnya, hormatilah guru kalian! Buat beliau rida agar Allah pun rida pada kalian.

Masih tersisa beberapa menit sebelum salat Isya, ada pertanyaan?” Pak Gani yang telah bercerita panjang lebar, memberikan kami kesempatan untuk bertanya. Aku yang merasa bahwa ini adalah kesempatan sempurna, langsung tunjuk tangan.

“Ya, Andi?”

“Anu, Pak. Saya sudah lama menyimpan pertanyaan ini. Mungkin agak melenceng dari cerita tadi, tetapi saya betul-betul penasaran.”

“Katakan saja. Tidak apa-apa.” Senyum Pak Gani membuatku menjadi lebih tenang.

“Kenapa Bapak yang berpendidikan tinggi mau hidup di kampung yang tertinggal bersama kami? Padahal sudah banyak yang menawarkan tempat-tempat yang bagus untuk Bapak?”

Mendengar pertanyaanku, Pak Gani langsung tersenyum dan memperlihatkan gigi putih beliau.

“Anakku, kau tahu? Alasan Bapak tetap tinggal di sini dan mengajar ngaji adalah kalian semua, para penerus bangsa ini. Dan terlebih lagi, buat apa Bapak pergi mengajar di luar kalau ada anak-anak di kampung Bapak sendiri yang membutuhkan guru?

Kau tahu, anakku? Bapak mengajar ngaji di sini untuk membentuk akhlak kalian, menjadikan kalian generasi emas yang berakhlak, beradab, dan tentunya berilmu. Banyak orang di luar sana yang berilmu, tetapi tidak beradab. Jadi, Bapak rela memberi hidup Bapak kepada kalian karena memang itulah cita-cita Bapak.

Dulu, di masa Bapak, hanya Bapak-lah yang tertarik dengan dunia pendidikan. Jadi, Bapak berharap kalian bisa menjadi orang yang memiliki kemauan akan pendidikan yang besar, walaupun harus keluar dari kampung ini. Apalagi kalian sejak kecil dididik untuk hidup sederhana. Apabila sudah menjadi orang hebat, kalian tidak akan lupa tentang orang-orang yang membutuhkan karena kalian pernah merasakannya.

Bapak yakin kalian akan menjadi orang hebat yang dirahmati Allah serta bertanggung jawab. Itulah alasan Bapak. Sudah. Cepat pergi ambil wudu! Beduk sudah bunyi.”

Pak Gani pun menutup pertemuan malam ini dengan membaca doa penutup majelis, lalu kami pun bersalaman dengan tertib.

****

Teman-temanku,

Menjadi orang yang memiliki adab adalah hal yang paling dibutuhkan oleh negeri ini sekarang. Semoga kita semua dapat menjadi orang yang memiliki adab kepada guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar kita. Semoga kisah tadi dapat menggugah kalian semua dan bisa menjadi jalan bagi rahmat dan hidayah Allah untuk turun kepada kita. Amin.

Semoga juga kisah tadi bisa menjadi teman yang menemani kalian untuk tetap stay at home. Sekian.

Asalamualaikum, w.w.

***

(ed: Du)

Andi Naufal adalah santri di PP al-Urwatul Wutsqaa, Rappang, Sulawesi Selatan. Andi bisa dihubungi melalui Facebook (Andi naufal) dan Instagram (naufalandi9).