Aksi Petualangan

Cerita Alfi Nur Diana


Di pertengahan bulan Syawal, aku memulai petualangan di tempat bernuansa warna krem dan berlantai tiga. Suatu tempat yang menyadarkanku arti sebuah kata ikhlas yang sesungguhnya.

Di pesantren, tempat yang telah mengajarkanku untuk hidup mandiri, jauh dari orang tua, berpikir dewasa, dan jauh dari kata bebas. Namun, semua itu membuat aku seolah berpikir dan berkata, “Buat apa bebas, toh itu tidak ada untungnya. Kita di dunia hanya sementara maka gunakanlah waktu sebaik mungkin.”

Selama aku berjuang di pesantren, banyak sekali pelajaran yang aku dapat. Di mulai dari ilmu yang semula aku tak mengenal apa itu zaidun qooimun. Di pesantrenlah aku mengenalnya. Bimbingan guru-guru yang mengenalkanku dengan ilmu yang sangat asing.

Tentu juga yang membuat hidupku lebih berwarna, yaitu teman-teman yang menerima kekurangan satu sama lain. Di mana pun tempatnya, mereka nyaman untuk bersenda gurau bersama. Kami makan satu nampan bareng-bareng. Ah, indahnya kebersamaan itu.

Ada satu hal memalukan yang aku lakukan saat di pesantren. Hal yang membuatku tak akan mengulanginya lagi. Ketika semua santri sibuk dengan bacaan khizib-nya, aku malah tertidur. Suara sie keamanan membuatku bangun dari ritualku. Eeeh ternyata, aku disuruh berdiri sambil membaca sampai acaranya selesai.

MENYEBALKAN BUKAN? MALU??? Ya jelaslah. Aku berdiri sendiri sedangkan yang lain duduk. Seketika itu juga, aku jadi pusat perhatian semua santri. Ah …. Sungguh aku ingin berlari sekencang-kencangnya. Tapi karena kejadian itu membuat aku sadar bahwa tak semua yang diharapkan berjalan mulus. Kadang ada batu sekecil apa pun yang menghalangi perjalanan.

Hidup di kalangan pesantren memang tak mudah, kadang aku pernah berpikir, “Ayolah! boyong aja, enak di rumah gak disuruh hafalan.” Tapi batinku yang lain berkomentar, “Buat apa punya otak kalau enggak diasah? Anggap aja seperti pisau jika terus digunakan untuk mengupas wortel, kangkung, kentang akan semakin tajam. Berguna, bukan? Bayangkan kalau kita anggurkan, malah membuat pisau itu berkarat. Merugikan, bukan???” Maka dari itu, aku masih tetap bertahan. Aku berpetualang di tempat itu untuk menggapai semua yang aku impikan.

Di mana ada satu hari yang sangat berkesan, yaitu ketika hari Jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu semua santri. Bukan hanya liburnya, melainkan juga banyak barokah-nya, juga hari makan-makan besar. Karena hari itulah banyak santri yang disambang termasuk aku juga. Hahaha.

Jujur!! Aku bahagia banget ketika disambang karena rotasi rindu yang aku tahan akan terlepas ketika aku menatap sosok yang berjuang untuk memasukkan aku ke pesantren. Yang rela jauh dari anaknya agar anaknya menjadi seseorang yang berguna bagi masyarakat.

Aku memang dari keluarga yang sederhana, tapi aku bangga memiliki sosok ayah yang hebat. Yang tak rela jika anaknya berada di jalan yang salah dan ibu yang tegar, yang rela bahunya kujadikan sandaran ketika aku merasa gagal. Ah … aku ingin menangis melihat perjuangannya. Aku yang tak bisa membalas pengorbanannya. Semoga, beliau selalu dalam lindungan-Nya. Amin.

Mungkin aku santri yang dibilang sedikit bandel, masih melanggar peraturan, sering keluar tanpa izin, terbiasa membaca novel, dan ta’ziran selalu menanti. Tapi itulah pengalaman yang sulit dilupakan.

Katanya sih, santri kalau gak pernah kena ta’ziran, enggak keren. Hahahaha … berarti aku termasuk katagori keren, dong? Hahaha, lupakan. Pengalaman itulah yang memberi aku pelajaran. Setiap langkah yang kita lakukan akan mendapat konsekuensinya. Jadi, berpikirlah sebelum melakukan suatu tindakan. Sangat
banyak pengalaman dan ilmu yang aku peroleh. Diajarkan akhlak, bertata krama, menjadi sosok yang beradab dan mempunyai etika. Aku bangga dengan gelar SANTRI.

العلم ثباته بالمذاكره، ومنفعته بالخدمه ،
وبركاته بالرضا المشايخ.

Syukorn katsir ….


***

Alfi Nur Diana (16 tahun) merupakan santri Ma’had 4 di Pondok Pesantren Al Ma’ruf Bandungsari. Ia berasal dari Kalangdosari, Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah. Penulis dapat ditemui lewat akun Instagram dengan nama akun: @alfieana_28.