Cerita Muhammad Haykal Azra
Hujan membuat hati senang. Hujan membuat seluruh pikiran kembali tenang. Saat hujan, keluh kesah tertuang. Hujanlah yang menjadikan rasa sakit ini perlahan hilang.
Aku sangat suka ketika hujan turun dan aku membenci hujan ketika berhenti. Bukan tidak mensyukuri, tetapi aku merasa heran. Jika hujan berhenti, hati senang kembali sedih. Pikiran yang tenang kembali kacau. Keluh kesah kembali bersarang dan sakit akan muncul kembali.
Empat belas hari adalah waktu yang panjang untuk terbaring lemah di ranjang. Menahan rasa sakit yang disebabkan oleh virus. Tak hanya negara yang sakit, bumi pun juga ikut sakit.
Aku menyapu pandangan ke sudut-sudut ruangan. Ruangan ini sudah tak asing lagi bagiku. Di ruangan isolasi ini, aku membanting tulang merawat para pasien yang sakit. Kini hujan sedang turun dan saat itulah aku merasakan ketenteraman.
Malam mulai menyelimuti bumi yang sakit. Matahari sudah waktunya untuk kembali ke tempatnya. Kini bulan dan bintang bergantian menjaga bumi. Mungkin, mereka juga bersedih hati atas musibah yang menimpa bumi.
Seorang perawat lengkap dengan alat pelindung diri (APD) datang dengan membawa makanan. Dia terlihat sangat serius, merawat para pasien terkhususnya aku.
“Mas, ini di makan dulu,” katanya. Aku menyandarkan tubuh dan dia dengan sabar menyuapkan nasi ke dalam mulutku.
“Bagaimana keadaannya, Mas?” Aku mengangguk dengan lemah.
“Mi …,” dengan suara serak, aku mencoba untuk membuka topik pembicaraan.
“Kau tahu aku positif?”
“Maksudnya, Mas?” Dia menoleh.
“Ya …. Aku positif, tetapi aku adalah orang yang paling beruntung. Ada keluarga yang setia merawatku. Kau lihat para pasien itu? Bukankah mereka juga butuh semangat juga? Mereka tak hanya sakit, tetapi juga tertekan karena tidak ada keluarga yang menjenguk mereka.”
“Bukannya mereka juga dirawat sama sepertimu, Mas?” dia balik bertanya.
“Iya, tetapi aku rasakan yang merawatku adalah istriku sendiri. Oleh karena itu, aku wajib bersyukur. Sudah, segera suapkan aku supaya tenang aku tidur malam ini,” kataku dan dia pun mengangguk.
Malam kelihatan sedih melihat bumi yang sakit. Malam ini untuk kesekian kalinya langit kembali menangisi bumi dan mencurahkan air matanya. Mungkin langit berharap bumi agar cepat sembuh dari sakitnya. Karena tanpa bumi, langit hanyalah kumpulan gas tanpa ada yang memuji Penciptanya.
Malam ini terasa terlalu cepat berlalu. Bahkan sangat singkat untuk bersandiwara di alam mimpi. Sakit ini berhasil membuat sang perindu melupakan kekasih karena sakit ini meradang dalam hati.
Sakit ini berhasil membuat semangat menciut ingin segera mati. Jika ada yang mengatakan sakit hati itu sakit maka katakan padanya bahwa itu keliru. Tertular virus ini bukan hanya membuat sakit hati, melainkan juga membuat sesak di dada. Perasaan gelisah bercampur lara, hidung meleleh, suara habis, dan batuk tak pernah berhenti.
Aku merasakan hal yang sama seperti pasien lain, kesepian, kehilangan, dan perjuangan. Kesepian karena keluarga yang memberi semangat telah pergi. Mereka kehilangan senyum dan tawa dan harus berjuang melawan sakit yang menentukan terus melanjutkan hidup atau berhenti.
Aku sangat ingin kembali untuk merawat mereka. Aku ingin mengurus, memberi semangat, dan yang terpenting berdoa untuk menyembuhkan mereka. Namun, aku juga seperti mereka, bahkan kondisi semakin buruk.
Maka biarlah hujan menemani diriku seorang diri melalui suara dari rintiknya. Hujan menciptakan lantunan melodi yang syahdu. Inilah mengapa aku sangat menyukai hujan. Ia selalu ada dalam kesepianku dan menemaniku sampai tertidur.
Pagi ini hujan kembali menangisi bumi. Matahari enggan menampakkan sinarnya karena tertutup awan. Seperti biasa, istriku menyuapkan nasi sambil duduk di samping. Kami menikmati suasana hujan dan menghabiskan hari bersama, menghilangkan duka yang mendalam.
“Pagi, Pak!” Seorang perawat menghampiri bersama teman-temannya.
“Pagi.”
“Bagaimana keadaannya, Pak?”
Aku mengangguk lemah.
“Pak, kami sebagai anggota Bapak selalu memberi semangat beserta doa untuk kesembuhan Bapak. Kami berharap Bapak bisa kembali ikut serta berjuang bersama kami.”
Aku tersenyum.
“Terima kasih banyak, ya. Doakan terus Bapak segera sembuh dari sakit beliau,” istriku menjawab.
Ruangan isolasi ini menjadi saksi bisu usaha yang dilakukan para dokter dan perawat. Mungkin lebih pantas disebut perjuangan. Bukan melawan musuh, melainkan kematian.
Jarum jam terus berputar, menyaingi waktu yang terus berjalan. Pasien semakin bertambah. Kondisi memburuk dan kekhawatiran memuncak. Seperti inilah keadaan yang terjadi sekarang. Perasaan lega tak kunjung tiba.
Malam ini, istriku kembali membawa nasi. Berbeda dari hari sebelumnya, aku sudah sangat susah untuk menegakkan tubuh. Aku hanya dapat bersandar untuk disuapkan nasi seperti biasa.
“Mas, ini dimakan nasinya.” Aku mengangguk pelan. Sambil menoleh kepadanya.
“Mi, bagaimana menurutmu kalau ada orang yang menitipkan suatu barang dan dia ingin mengambil barang itu kembali? Uhuuk Uhuuk,” aku terbatuk setelah sebelumnya melemparkan pertanyaan kepada istriku. “Apakah kau akan mengembalikannya?” aku kembali bertanya, tetapi dia kelihatan tak paham dengan maksud dari pertanyaanku.
“Maksudnya, Mas?”
***
Sepertinya waktuku sebentar lagi di sini. Tadi malam, aku bermimpi sedang berjalan di suatu taman. Di sana aku melihat ada sebuah istana yang luar biasa indahnya.
Aku berjalan dan tiba di depan pintu gerbang berwarna emas berlapis mutiara. Pintu itu terbuka perlahan dan menampakkan semua yang ada di dalamnya.
Subhanallah, aku berdecak kagum melihat keindahan di istana itu. Perempuan-perempuan yang cantik jelita bercengkerama di pinggir-pinggir sungai yang mengalir di bawahnya. Warna airnya sangat putih melebihi susu dan wanginya sangat harum melebihi bau parfum mana pun di dunia ini.
Aku terus berjalan menuju pintu istana yang kelihatan dari kejauhan. Istana itu bercahaya layaknya matahari menyinari pada pagi hari. Perempuan-perempuan itu melirikku dengan tatapan gembira.
“Apakah dia penghuni istana ini?” aku bertanya dalam hati.
“Iya. Sudah tidak salah lagi dia penghuni istana ini,” mereka menyahut.
Aku merasa heran mengapa mereka berkata demikian. Tatkala melihat ke arah istana, ada sesosok manusia mengenakan pakaian serba putih dari kepala sampai kaki. Ia datang menyambutku dengan riang gembira layaknya seorang kekasih melihat pujaannya.
“Assalamualaikum, kau sudah datang. Kami sangat merindukanmu.”
“Waalaikumussalam.”
Aku menjawab salamnya. Aku tak tahu mau berkata apa, aku merasa heran.
“Bagaimana kabar istrimu?”
“Bagaimana kau bisa tahu tentang istriku?” Lagi-lagi aku terheran.
“Bukankah kau Abdul Ghaffar? Siapa yang tidak mengenal dirimu. Bahkan seluruh penjuru surga ini sudah kenal akan dirimu beserta istri dan juga anak-anakmu.”
Aku mengangguk pelan dan mulai penasaran.
“Tetapi, apa yang membuatku jadi penghuni istana ini?”
“Bukankah kau sang pejuang yang sangat mencintai saudaranya karena Allah? Kau mengorbankan nyawamu untuk saudaramu dan mengerahkan seluruh jasa hanya untuk melihat mereka bahagia. Maka, inilah yang sudah di sediakan untukmu.”
“Subhanallah …,” aku bergumam.
“Akan tetapi, sekarang belum saatnya kau tinggal di sini. Masih ada urusan di dunia yang belum kau selesaikan. Sampaikanlah salamku pada istrimu. Semoga Allah mengizinkan kalian bersama di sini.”
“Kapan waktuku?”
“Insyaallah, besok kita akan bertemu lagi. Semoga kau mempersiapkan dirimu.”
“Insyaallah, aku akan bersiap-siap.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Aku menjawab salamnya seketika saya terbangun dari tidur.
***
“Mas, apakah waktumu sudah tiba?” tanya istriku.
Aku mengangguk pelan dan melihat dirinya menangis di sampingku.
“Mi, apa yang akan kau lakukan jika ajalku telah tiba? Apakah kau akan mengikhlaskanku?”
Dia terdiam.
“Maka ikhlaskanlah aku. Aku melihat sosok itu telah berdiri di depan pintu itu.”
Dia mulai menangis lagi.
Malam dingin berbalut kesedihan yang mendalam. Tak hanya langit malam yang menangis. Di ruangan ini mata pun demikian.
Sekarang sudah berkumpul para rekan kerja yang dulu kami berjuang bersama. Istriku duduk di samping sambil menangis.
“Mi, aku memiliki beberapa pesan untukmu.”
Dia melihatku.
“Setelah semua pengorbanan diperjuangkan maka kau telah sampai pada pengorbanan terbesar dan terakhir, yaitu mengikhlaskan. Ikhlaskanlah aku dan terima kasih atas pengabdianmu padaku.”
Dia menangis.
“Dan untuk kalian para rekan kerjaku, kalian adalah pahlawan di barisan terdepan. Sudah selayaknya bagi pahlawan untuk mengorbankan jasa bahkan jasad. Jika memang harus mati maka ketahuilah bahwa kematianmu bukan karena profesi.”
Waktuku sudah tiba. Sosok berpakaian putih itu telah datang menjemput.
“Aku titip bumi beserta penghuninya di tangan kalian”.
***
Muhammad Haykal Azra (15 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Ar Raudhatul Hasanah. Ia merupakan siswa kelas 1 SMA dan tinggal di Jalan Beringin Pasar 5, Tembung, Gang Utama/Salak 14, Deli Serdang, Sumatra Utara. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Haykal azra; Instagram dengan nama: _haykal_azra.