Cerita Oong setiawan
Pagi seperti biasa, para santri bersiap-siap untuk pergi ke madrasah. Tidak hanya ilmu akhirat, mereka juga mencari ilmu dunia. Ilmu dunia dibutuhkan oleh mereka untuk bekal masa depan.
“Amir, bangun! Udah hampir telat kita!” Syarif membangunkan Amir yang masih tertidur.
“Aku gak berangkat!” balas Amir masih tiduran.
“Yaelah, kenapa gak bilang dari tadi! Tau gini mah lo udah gue tinggal,” ucap Syarif kesal.
“Udah sana pergi! Berisik!”
***
Syarif pergi meninggalkan Amir untuk segera berangkat ke madrasah. Ia takut terlambat masuk kelas dan dihukum oleh Guru BK yang terkenal kejam.
“Amir, kenapa kamu gak berangkat sekolah?” tanya Kang Ahmad yang masuk untuk mengecek santri-santri yang tidak berangkat sekolah.
“Sakit, Kang!” jawab Amir berbohong.
“Sakit apa? Sejak kapan?” Kang Ahmad memastikan.
“Meriang, Kang! Sejak semalem sepertinya.”
“Meriang, merindukan kasih sayang? Ayo ikut saya!” ajak Kang Ahmad.
“Ke mana, Kang?” tanya Amir bingung.
“Udah ikut aja! Saya tunggu di parkiran!”
“Iya, Kang!”
***
Setelah Kang Ahmad pergi, Amir berpikir bagaimana caranya agar Kang Ahmad tidak curiga jika ia berbohong. Setelah selesai persiapan, Amir pun pergi ke parkiran untuk menemui Kang Ahmad.
“La, itu kamu masih kuat jalan?” tanya Kang Ahmad.
“Kalo cuma jalan masih kuat, Kang!” jawab Amir dengan nada pelan agar Kang Ahmad tidak curiga.
“Ya udah, cepetan naik!” suruh Kang Ahmad.
Di perjalanan, motor Kang Ahmad mogok. Mereka menuntunnya ke bengkel yang terletak tidak jauh dari tempat mogok tadi.
“Assalamualaikum, Pak! Ini motor saya mogok, bisa tolong diperbaiki,” ucap Kang Ahmad sopan.
“Bisa, Mas! Silakan duduk dulu!” jawab tukang bengkel, ramah.
“Bapak udah berapa tahun kerja seperti ini?” Kang Ahmad membuka pembicaraan agar bisa lebih akrab. Sedangkan Amir hanya diam.
“Udah sekitar 30 tahunan, Mas!”
“Lama juga ya, Pak!”
“Iya, Mas! Uang hasil bengkel ini buat makan sehari-hari dan buat bayar sekolah anak saya.”
“Anak Bapak sekolah di mana?”
“Anak saya jadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada.”
“Masyaallah, Pak! Itu universitas unggulan! Berarti anak Bapak hebat!”
“Iya, Mas. Padahal sejak kecil, anak saya tidak pernah saya kasih uang jajan karena buat bayar sekolahnya.”
“Semoga saja anak Bapak lulus dan menjadi orang sukses.”
“Terima kasih, Mas! Semoga anak saya menjadi orang sukses yang dapat mengangkat derajat orang tuanya, walaupun penghasilan saya cuma cukup untuk makan.”
“Amin, Pak! Asalkan halal.”
Lalu, motor Kang Ahmad sudah selesai diperbaiki.
“Ini, Mas! Udah bener.”
“Makasih, Pak!” ucap Kang Ahmad sambil memberikan uang ratusan ribu.
“Ini banyak banget, Mas! Itu cuma 50.000.”
“Gak papa, Pak! Terima aja, anggep aja rezeki.”
“Makasih, Mas! Semoga rezekinya lancar.”
“Sama-sama, Pak! Amin.”
Setelah motor Kang Ahmad selesai diperbaiki, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke tempat yang tidak diduga oleh Amir.
“Kita ke puskesmas, Kang?” tanya Amir cemas.
“Iya, emangnya kenapa? Ini, kan, demi kesehatan kamu juga!”
“Gak usah, Kang! Saya gak punya uang, belum ada kiriman.”
“Santai saja, di puskesmas nanti bayarnya pake uang kas kesehatan pesantren.”
Amir pun mulai cemas. Ia takut kebohongannya terbongkar dan membayangkan takzir apa yang pantas baginya.
“Sudah sampai, ayo turun!” ajak Kang Ahmad.
“Kita gak usah berobatlah, Kang!”
“Katanya kamu sakit. Kamu harus berobat, biar cepet sembuh.”
“Maaf, Kang! Sebenarnya saya berbohong, saya pura-pura sakit karena males sekolah.” Amir mengakui kebohongannya.
“Astaghfirullah, Mir! Kamu tadi denger obrolan saya sama tukang bengkel tadi?”
“Denger, Kang!”
“Beliau itu penghasilannya cuma sedikit, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Beliau bekerja untuk bayar sekolah anaknya, bahkan anaknya tidak pernah ia kasih uang jajan. Sekarang, anaknya bisa masuk UGM, universitas unggulan Indonesia. Sedangkan kita itu santri, setiap bulan dikirim uang. Makan juga sudah disiapkan pengurus tinggal ambil. Seharusnya, kita bersyukur. Coba bayangkan, setiap bulan orang tua kamu bayar SPP madrasahmu. Mereka rela hidup susah. Mereka menyisihkan uang hanya untuk kamu supaya di pondok tercukupi, tetapi kamu malah …”
Kang Ahmad tidak mau melanjutkan perkataannya.
“Maaf, Kang! Saya khilaf.”
“Ya udah, semoga ini yang terakhir buat kamu dan jangan diulangi lagi!”
“Insyaallah, Kang!”
Mereka pun pulang kembali ke pesantren. Sekarang Amir mulai bisa memahami pentingnya sekolah.
***
“Assalamualaikum!” Syarif masuk kamar dan langsung ambruk ke ranjang karena capek pulang dari sekolah.
“Waalaikumsalam, ada tugas sekolah gak, Rif?” tanya Amir.
“Ada, tugas matematika. Tumben kamu tanya tugas sekolah, biasanya sekolah aja kamu males?” tanya Syarif heran.
“Sekarang aku sudah paham jika sekolah juga penting, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya.”
“Alhamdulillah, Mir! Kamu dapet hidayah.”
***
Oong setiawan ( 17 tahun), merupakan santri Pondok Pesantren Al-Jauhar Gunungkidul. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Oong Zhi Fu X’Ons.