Cerita Tiyas Utami
Ketika tidur siang tiba-tiba ada bel berbunyi sangat keras. Bunyinya, “Tet-tet-tet-tet.” Aku pun terkejut dan terbangun dari nikmatnya tidur. Aku bergegas turun ke ndalem.
“Tok-tok-tok.”
“Assalamualaikum?” Tapi sampai 3 kali salam tak ada yang menjawab.
Setelah itu, aku kembali ke kamar melanjutkan tidur. Tak lama, bel pun kembali berbunyi, “Tet-tet-tet-tet-tet.” Bunyinya lebih lama dari tadi. Dengan sedikit murung, aku pun kembali bergegas turun ke ndalem.
Sesampainya turun dari tangga, aku sudah melihat Kiai di depan pintu. Perasaanku sudah campur aduk tidak karuan. Aku takut ketika dipanggil Pak Kiai. Dengan penuh takzim, aku mendekati Pak Kiai. Pak Kiai pun bertanya,
“Kok ora mudun-mudun, Mbak?”
“Ngapunten, Abah (panggilan Pak Kiai). Pripun, Bah, wonten nopo?”
“Ono tamu gawekno kopi, Mbak!”
“Nggih, Abah, pinten?”
“Papat, Mbak, ojo legi-legi.”
Aku langsung bergegas ke dapur ndalem. Lima menit kemudian, air sudah mendidih. Saat itu, aku bingung, berapa takaran gulanya karena teringat pesan Abah yang tidak boleh manis-manis. Aku hanya memberikan satu sendok gula saja. Setelah itu, kopi pun siap diantar ke ruang tamu.
“Grek-grek-grek.”
Suara getaran nampan dari tanganku. Dengan hati-hati, aku membawa kopi ke depan Abah dan tamunya. Aku berjalan dengan lutut untuk memberikan kopi. Setelah itu, aku meninggalkan tempat tersebut. Aku langsung naik ke kamar.
Tak lama kemudian, ada bel lagi dari ndalem.
“Mbak, gelase jupuken terus diisahi.”
Lalu aku mengambil gelas-gelas tersebut untuk dibawa ke dapur. Saat mencuci gelas, Abah pun memberi saran,
“Mbak, sesok meneh nek gawe kopi ojo pahit-pahit.”
Dengan perasaan deg-degan, aku merasa bersalah dan akan memperbaikinya. Inilah pengalaman yang tak terlupakan.
(ed: ath)
***
Tiyas Utami (16 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al-Ikhlas Berbah, Sleman. Penulis adalah siswa kelas 10 MA Al-Ikhlas.