Belajar Esai

Sebuah esai hendaknya memiliki kejelasan fakta sekaligus imajinasi.

Esai berada di tengah-tengah ambang antara pemaparan data dan fakta yang jelas, tetapi tetap tidak kaku. Kenapa tidak kaku? Karena esai memiliki tempat imajinasi berupa rasa puitika.

Esai hendaknya memiliki rasa indah dan nikmat dibaca.

Keseluruhan antara data lengkap dan imajinasi menuliskan esai dapat meningkatkan realitas dan kesadaran pembaca.

Rata-rata, tulisan esai terutama yang masuk di meja redaksi ceritasantri.id sering terpaku dalam beberapa hal, yaitu:

1. Judul esai.

Kebanyakan judul esai terlalu kaku (ilmiah) — pokoknya sering pakai kata-kata kajian, telaah, peran, dan lain-lainnya.

Ada juga judul esai terlalu umum dan terlalu berbeda jauh dengan isi esai. Kalau menurut Muhidin M. Dahlan, seorang esais Indonesia, judul esai hendaknya memuat kesegaran, kebaruan, bahkan kesetaraan.

Sebuah judul esai harus bisa menjanjikan dan membawa misi untuk mengubah sesuatu.
Boleh juga menggugat sesuatu atau menerabas sesuatu.
Sesuatu tersebut bisa jadi kebiasaan lama, gagasan kolot, kondisi yang timpang, situasi yang busuk dan tua, maupun gerak yang terbelenggu.

2. Esai itu cerminan identitas, ciri, gaya, dan sikap sang esais.

Esai memiliki rasa indah dan nikmat dibaca, seperti orang bercerita, mengalir dengan terkandung di dalamnya opini (pendapat) penulis.

Bagaimana bisa terlihat samar tanpa menggurui pembaca?
Bagaimana esai dapat memengaruhi pikiran pembaca tanpa menyakiti perasaan pembaca?

Di sinilah esai berada di ambang data fakta dan imajinasi.
Esai berada di antara puisi dan karya ilmiah.

Esai itu eksperimental (percobaan) mencari tata cara menyampaikan gagasan dengan tulisan. Maka tidak mengherankan jika esai menjadi ciri, gaya, dan sikap dari esais (penulisnya).

3. Kejelasan alur dan kerangka tulisan.

Ada beberapa esai dengan menjelaskan secara umum dahulu baru mengerucut dan diakhiri pesan.

Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, seorang esais Indonesia, ada setidaknya tiga bangunan esai yang bisa menjadi kerangka dalam menulis:

• Esai dapat berangkat dari masalah-masalah umum, diperas sampai ke inti permasalahannya, didalami, dianalisis, dan diarifi, kemudian dikembalikan kepada keperluan dan bangunan umum atau luas kembali.

• Esai berangkat dari suatu titik tematik, kemudian baru diproyeksikan ke situasi-situasi umum, dikembarakan secara intelektual dan spiritual untuk akhirnya dikembalikan ke titik intinya lagi.

• Esai dengan bangunan tidak menentu. Esai tidak pernah fokus atau “memijak bumi” sehingga tidak memiliki kadar efektivitas yang tinggi dan tidak menjanjikan kesan pada pembacanya.

Sebaliknya, ada juga esai yang egois dan melelahkan untuk dibaca. Hal ini karena penulisnya asyik dengan pendalamannya sendiri tentang sesuatu hal dan melupakan dialektika komunikasi serta kebutuhan pembacanya terhadap kaitan-kaitan antara substansi tulisan itu dengan situasi-situasi aktual dalam masyarakat.

4. Ada sebuah pesan yang ingin disampaikan, tetapi terlihat samar dalam esai tersebut.

Samar ini lebih terlihat seperti tidak menggurui.
Pembaca digiring dan diarahkan untuk memahami sendiri dengan emosional dan tahap pemikirannya dalam mencerna.
Di sini lagi-lagi perlunya imajinasi dan keindahan dalam menulis diperlukan.

5. Segeralah menulis dan perbanyak membaca!

Membaca realitas kehidupan sehari-hari juga membaca tekstual bacaan. Kita harus mulai melihat penggunaan ejaan dan struktur kalimat.

Buatlah kalimat sederhana — ada subjek, predikat, dan objek.
Dari susunan kata-kata menjadi kalimat.
Dari kalimat menjadi paragraf.

Selamat mencoba, kawan-kawan ceritasantri.id!

Salam,
Redaksi