Berkah Bu Nyai

Cerita Nadina Nayla Azra Mahira

Pandangan mataku berubah seperti terserang kabut. Terasa perih, tetapi tak mampu kukeluarkan air di dalamnya. Hanya terasa desakan kuat menyuruhku untuk menumpahkan bersamaan sesak di dada. Sebelum ketakutan itu benar-benar menghancurleburkan benteng yang aku pertahankan selama ini.

Ingatan kejadian sore tadi berkelebatan di pikiran tentang sosok wanita paruh baya berwajah teduh. Napasku terasa berat. Kata-kata bernada lembutnya terngiang-ngiang lagi di telinga. Memaksaku untuk menahan laju sengat ketakutan ini, membenarkan mukena dan segera mendaras.

“Sampeyan pernah ngaji Alfiyah, kan? Sudah khatam pula. Kebetulan sekali, pengajar ilmu alat kitab Alfiyah Ibnu Malikini tidak bisa mengisi ngaji Mulud tahun ini. Ada hajat penting katanya. Nah, mumpung sampeyan sudah punya sanad, mau ya jadi badal (pengganti) beliau? Ngajinya mulai hari Ahad bakda Asar dan Duha,”

titah beliau seraya tersenyum lembut, tetapi cukup membuatku terbelalak. Aku tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.

Aku kembali menghela napas berat dan menggeleng kepala dengan keras-keras. Aku mencoba untuk mengusir bayang-bayang itu. Ah, hanya membuatku semakin terpuruk.

Jika saja beliau bukanlah sosok Bu Nyai kharismatik yang harus kuhormati, bukan teman Ibu saat mondok di Pondok Tarbiyatut Thalabah Kranji dulu, juga bukan seorang ‘alim (guru) yang tentu harus kusegani, jelas sekali sudah kutolak mentah-mentah titahnya.

Tak perlu berpikir dua kali dan membuatku pusing seperti ini, tetapi ternyata takdir berkata lain. Tanpa sadar, aku tertuntun menuju pusaran itu. Beliau menyuruhku mengangguk lemas serta tersenyum kecut dipaksa bertanda setuju.

Aku melangkah gontai meninggalkan ndalem beliau, persis seperi mayat hidup. Hampa dan kosong. Tak ada tenaga, hanya kecamuk ketakutan merongrong di sela-sela dinding hati akibat jawaban tadi.

Sungguh, bukan berarti aku cemen untuk menghadapi titah agung beliau. Sebenarnya, aku sudah lama nyantri di pondokku sendiri di kawasan Cirebon Barat. Aku tidak merasa asing dengan titah dari para ‘alim dan selalu  aku tunaikan dengan baik. Namun, situasi sekarang amat berbeda, ini masalah harga diri.

Aku merasa malu dan belum pantas untuk menunaikan. Aku merasa masih bodoh, belum menguasai secara penuh ilmu nahwu shorof bahkan yang masih dasar di tingkat Jurumiyah. Apalagi ini tentang nadzom Alfiyah Ibnu Malik, 1000 bait.

Hadeuhh …!

Ya, meskipun pernah kukaji sampai khatam itu pun dua tahun yang lalu dan sampai sekarang tak pernah aku me-muthola’ah-nya lagi.

Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku merasa sangat menyesal. Mengapa selama hampir tujuh tahun menjadi santri, aku tidak seratus persen serius mengaji? Menjadikan seluruh waktu untuk menghafal, me-muthola’ah pelajaran yang sudah dipelajari, dan memahami dengan giat.

***

Lagi-lagi ketakutan menyergap jiwa dan menyesakan pikiranku. Aku mendesah, “Ya Allah, aku belum siap.” Bayang-bayang wajah Ibu hadir ketika  kakiku melangkah pamit meninggalkan rumah hendak menuju pesantren. Ingatan tentang Ibu rasanya sedikit mampu menenangkan hatiku.

Nazila, kamu harus ingat. Terkadang, semakin tinggi ilmu seseorang tanpa sadar ia akan dikuasai rasa tinggi hati hingga menurunkan derajat ketakzimannya kepada guru. Nah, itu akan merusak kemanfaatan ilmunya. Sehingga perlu sekali seorang murid supaya selalu menanamkan sikap tawaduk, hormat, dan takzim kepada guru kita.

Tak perlu memandang siapa orangnya, selama dia mampu menambah ilmu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Dialah seorang guru. Termasuk saat guru kita memberikan titah kepada kita, tunaikanlah selama itu tidak melanggar syariat. Sebab akan ada keajaiban-keajaiban tak terduga dari titah-titah beliau,” jelas Ibu panjang lebar sambil menatapku lamat-lamat.

Sejenak hatiku agak tenang. Benar kata Ibu, aku tak mau ilmuku sia-sia. Aku harus yakin menerima titah Ummi Aida, tetapi aku baru sadar bahwa kitab-kitabku tertinggal di pondok, lagi-lagi jiwaku bergulat.

Kini seperti ada bisikan-bisikan entah dari mana datangnya. 

Nazila. Please! Kamu pikir skenario baik dapat terwujud sesuai bayang-bayangmu, semudah membalikkan telapak tangan? Sejauh mana sih kamu menguasai ilmu nahwu shorof? Lha, wong di tingkat dasar seperti Jurumiyah saja pemahamanmu masih blentang-blentong.

Ini Alfiyah, Nazila! Kamu mau menyesatkan santri-santri? Atau malah membuatmu malu, kaku seperti mayat hidup saat berbagai macam pertanyaan menimpamu dan kamu tak bisa menjawabnya? Kamu hanya akan menjadi bahan tertawaan, bisa jadi justru menjadi ledekan. Memalukan sekali.

Sudahlah, tolak saja titah Ummi daripada harga dirimu terinjak-injak bahkan merambah-menyinggung-membandingkan soal kepintaran Ibu dulu. Mau jadi apa kamu nanti? Sudahlah, Ummi juga akan mengerti.”

Tepat saat bisikan itu menggema dan memenuhi kepala, sebuah sapaan terdengar di depanku.

“Zila? Ada apa?”

Sontak kubuyarkan lamunanku dan masih hanyut dalam rentetan ketakutan. Aku mendongak, seorang perempuan sepantaran denganku, Jihan. Sejurus kemudian kupeluk tubuhnya sambil menangis sesenggukan tanpa air mata.

“Jihaaaan. Tolong akuu! Aku belum siap,” teriakku memukul-mukul pundaknya.

***

Hingga fajar menyingsing, cakrawala alam berubah dipenuhi pendar cahaya keemasan di ufuk timur. Ketakutan itu masih membelenggu jiwa dan membungkus tubuh lemasku.

Detik demi detik, kecemasan berdenyar tiap kali tubuhku keluar dari kamar. Sepasang mataku menjadi awas dengan sosok wanita berwajah teduh itu. Andai muncul tiba-tiba atau hanya mendengar namanya disebut-sebut saja bulu kudukku langsung menegang. Aku juga tak paham terhadap keanehanku ini.

Sebenarnya teman-teman sekamarku banyak yang bertanya dan terheran-heran. Aku hanya menjawab dengan diam. Lebih baik aku bungkam daripada aku semakin ketakutan.

Langkah selanjutnya aku geleng-geleng kepala keras, berusaha membuang jauh-jauh memori kejadian sore kemarin. Ah, aku tak peduli. Aku tak mau memikirkannya.

“Zila! Nazilaa! Bangun Zil,” suara Jihan menggoyang-goyangkan tubuhku dalam keadaan meringkuk berselimut pura-pura tidur.

“Apa sih, Han?” tanyaku lirih sambil menepis tangan Jihan.

“Kamu dicari Ummi, sekarang!” katanya. Sontak, aku langsung terlonjak kaget.

“Apa? Ummi mencariku?” tanyaku tak percaya.

“Iya, sekarang juga! Titik,” jawabnya tegas.

“Jangan, Han. Pleaseee …!! Tolong bilang ke Ummi aku lagi tidur, lagi enggak enak badan,” ujarku memelas.

“Haduh, gawat ini. Bisa mati aku,” lirihku sambil menepuk jidat. Entah seperti apa ekspresi wajahku kali ini. Ummi pasti menagih permintaannya. 

“Ta … Tapi Zil.”

“Sudah sana, pergi!” pintaku seraya mengusirnya dengan tangan. Lantas aku kembali ke posisi semula, meringkuk di balik selimut.

Rupanya efek kedatangan Jihan menyuburkan ketakutanku hingga tubuhku menggigil. Pikiranku menjadi kacau. 

Lima detik berikutnya, sepi. Hanya terdengar gemerisik angin pagi di luar sana menyapu pepohonan.

“Alhamdulillah … semoga Ummi tak menyinggung kejadian sore kemarin. Tapi sebentar, jika begini bukankah itu akan mengecap diriku sebagai pecundang? Bagaimana nanti pandangan beliau terhadapku?”

Belum sempat terjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati, tiba-tiba Jihan masuk dengan tergopoh-gopoh. Kudengar suaranya memanggilku beberapa kali sembari menggoyangkan badanku.

“Zil, kamu dicariin Ummi itu loh! Katanya kalau enggak segera keluar malah Ummi yang bakal turun tangan. Mending kamu buruan nemuin Ummi, Zil!”

“Tapi, Han. Aku kan … Aaaaa … Jihaaan jangaan.” Tiba-tiba Jihan menarikku untuk bangun tanpa bisa kuelak sedikit pun.

“Jihann, aku mohon jangan. Lepaskan akuu,” rengekku sambil memelas.

Aku meronta. Menahan tanganku, tetapi percuma, tenagaku tak sebanding dengan tenaga Jihan. Ia terus menarik tanganku hingga ke depan pintu kamar yang tertutup kemudian ia melepaskan tanganku.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan aku terkesiap. Mataku membulat saat melihat seorang wanita paruh baya berwajah teduh yang selama ini memenuhi pikiranku.

“Eh, assalamualaikum, Ummi,” kataku basa-basi.

Beliau berdiri menghadapku seraya membawa kitab-kitab tebal di kedua tangannya. Lantas memberikannya kepadaku sembari berkata lembut.

“Ini kitab-kitab yang harus kamu baca, pahami, dan pelajari. Besok lusa pengajian Alfiyah-mu dimulai. Persiapkan mulai dari sekarang! Gak ada tapi-tapian! Waktunya sudah dekat. Kudu bisa! Titik!” Tegas, tetapi teduh Ummi menatapku. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan tubuh kakuku.

Tubuhku lemas dan aku terduduk menahan beratnya kitab-kitab tebal di kedua tanganku. Gelak tawa pun pecah memenuhi seisi kamar. Aku mendengus kesal.

“Jihaaan! Kamu siihh,” kataku geram.
Kemudian sebuah kalimat membuat emosiku tergerak.

“Haha, makanya, Zil. Semakin kau jauhi perkara yang kau tak suka dan merasa tak mampu maka semakin jauh pula kesempatanmu yang sebenarnya bisa kau raih tanpa kau duga-duga. Lha, kamu ini malah rebahan. Hadeuh,” ucapnya sembari tertawa.

Aku bangun, berbalik badan dan menatap tajam ke arah Jihan. Pada detik itu juga, ia berhenti tertawa. Ia melirik sekilas ke wajahku yang sudah tampak seperti seekor serigala di film “Twilight”. Aku marah, sedih, menyesal, dan entahlah apalagi, semuanya campur aduk menjadi satu.

***

Apa boleh buat? Ini keputusan final yang harus kulaksanakan tanpa ada kesempatan untuk kutolak. Sulit untuk membayangkan bagaimana keadaanku nanti saat mulai menginjakkan kaki ke pintu pengajian sebagai badal pengajar Alfiyah yang absen.

Sebuah tantangan baru juga harus kuhadapi, aku harus bisa menggunakan bahasa Sunda padahal sejatinya latar belakangku menggunakan bahasa Jawa. Entahlah aku harus bagaimana, aku bingung. Andai saja aku tak punya hati, pasti sudah bergegas kabur meninggalkan pondok.

Mataku menatap nanar enam kitab tebal di atas meja. Semuanya tentang ilmu nahwu, mungkin setingkat Alfiyah ke atas. Aku hanya menatap kosong tanpa berani menyentuh atau membolak-balikkan lembar demi lembar kertas berwarna kuning dan putih pada tumpukan kitab itu.

Lama-lama, pandanganku mulai berkabut. Ada kegetiran yang terasa speechless dalam jiwa lalu seiring munculnya wajah teduh Ibu, senyumannya dan kata-kata lembutnya. Semuanya menjadi satu menciptakan bening air merembes satu-satu, mengalir lepas menyisakan kekalutan.
Bisikan dari sudut hatiku menggema.

“Kamu tidak malu sama Ibu? Selama nyaris tujuh tahun lebih apa sih yang kamu dapatkan selama di pondok? Seharusnya kamu berada satu tingkat dari bawah mengenai kehebatan ilmu agamamu. Tak ada keraguan saat dititah mengamalkan ilmumu. Sampai saat ini ibumu masih mampu melahap kitab-kitab kosong, padahal sudah lama sekali menjadi santri. Lha kamu ini masih berhadapan dengan tantangan mudah, hanya mengajari Alfiyah. Dan sudah pantaslah seukuran keadaanmu di pondok, pantas sudah bisa dipanggil Ustazah.”

Aku baru sadar, penyesalan memang selalu hadir belakangan saat semuanya sudah kadung terjadi. Seharusnya dari awal mondok, aku sudah harus serius mengaji, tetapi kubuang waktu luang sia-sia. Seharusnya aku memanfaatkan ustazah-ustazah untuk sekiranya mengambil privat mengaji. Ah, percuma disesali sekarang, sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.

Aku menghela napas berat. Benar saja, ada banyak tanggungan yang bakal aku pikul di kemudian hari dan tanpa bisa diduga-duga.

“Ibuuu, maafkan anakmu,” lirih aku ucap dan mulai terisak.

Pikiranku kembali berlayang mengarungi cakrawala pondokku di kawasan Cirebon Barat. Menyapu wajah-wajah guruku, kiai-nyaiku, dan teman-temanku. Seketika sebuah pencerahan hinggap di benakku entah darimana asalnya, membuatku tertegun.

Seberapa jauh engkau berusaha membuka pintu-pintu ilmu itu. Bukanlah mutlak hanya Sang Khalik yang mampu membukanya dan menebar ilmu-ilmu itu. Menancapkannya di atas kanvas-kanvas hati hamba-Nya. Meskipun engkau belajar dengan menjadikan malam menjadi siang dan sebaliknya. Yang perlu kau pahat ialah ketawakalan pada-Nya, sebab di balik semua itu pasti ada kejutan-kejutan tak terduga atas ikhtiarmu selama ini. Tenang, Allah Mahaadil.”

Sebuah bisikan pengelak di atas penyesalan yang sangat mendalam.

“Nazila, bukankah kau pernah mempelajarinya walau hanya sekali? Itu artinya ilmu tersebut sudah pernah singgah dan menempel di otakmu. Pasti ada bekasnya, Zil. Dan bukankah selama ini kau juga masih mengamalkannya dalam mendalami kitab-kitab? Yaa meskipun hanya sekadarnya saja, tanpa mengorek-orek lebih dalam. Zila, sekarang yang harus kau fokuskan ialah bagaimana caramu mencarinya, mengeduk kembali bekas-bekas ilmu itu. Sehingga kamu dapat membuka bab demi bab dari ilmu itu. Allah lah yang akan menuntunmu.”

Aku tersenyum. Bisikan itu membawa angin semangat baru dan terbalut embun keyakinan.

Tanpa berlama-lama lagi, aku menyentuh kitab-kitab tebal itu. Kupegang dan  kucium penuh takzim. Aku mencoba mengalirkan berkah-berkah sang mushonnif.

Lantas yang pertama kumulai ialah membuka lembaran kitab Alfiyah Ibnu Malik dari mulai mukadimah. Aku membaca tiap bait nadzom dan syarahnya. Sesekali beralih mencari kosakata dalam kamus al-Munawwir. Berlanjut dengan membuka terjemahan dan mencatat hal-hal yang penting. Lalu aku membuka referensi pelengkap dalam kitab-kitab tebal lainnya. Salah satunya adalah kitab Jami’uddurus.

Awalnya kepalaku memang terasa berdenyut-denyut dan memaksaku untuk putus asa. Segera kualihkan pikiranku dengan mengingat wajah Ibu, guru-guruku, dan kiai-nyaiku. Ingatan tentang mereka mampu menghilangkan desir putus asa dan berganti dengan keyakinan.

Entah kenapa, aku semakin terus berlanjut menelaah lebih jauh tiap kumpulan huruf Arab gundul itu. Aku meraup lembar demi lembar halaman selanjutnya tanpa ingin berhenti. Kepalaku menjadi terasa enteng dan anehnya lagi otakku seperti memiliki sinyal-sinyal pemahaman luas mengenai ilmu nahwu ini, layaknya guru-guru nahwu-ku di pondok.

Sinyal-sinyal itu seperti kembali aktif bercahaya sehingga tak perlu harus berpikir keras tentang hal-hal yang tak kupahami. Wushh …. Langsung ingat dan paham sampai yang kurasa sama sekali belum kupelajari.

Begitu cepat melesat dan menjalar ke setiap inci memori otak. Juga laksana air sejuk dari langit menyirami tanah-tanah tandus akibat kemarau panjang lalu kembali subur.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Allah, keajaiban apa ini? Mengapa tiba-tiba otakku seencer ini? Rasa syukur atas keadaanku sekarang terus berlanjut hingga detik-detik dimulainya pasaran pengajian ilmu alat di Pondok Pesantren Buntet ini.

***

Alhamdulillah, ya Allah. Aku sujud syukur di atas sajadah di dalam kamar. Usai baru saja kutunaikan titah Ummi di hari pertama menjadi badal mengajar. Air mataku menetes deras mengalirkan rasa syukur sekaligus tak percaya akan kajian beberapa menit yang lalu. Kelancaran yang aku terima mulai dari awal mengajar hingga salam penutup.

Mengapa aku berubah sempurna bak guru ilmu alatku di pondok? Gaya-gaya mengajar beliau-beliau pun entah kenapa bisa kuamalkan. Aku begitu antusias menjelaskan sedetail mungkin sampai mereka benar-benar paham.

Di saat berbagai pertanyaaan seputar materi yang kuajarkan datang, aku mendadak bisa menjawabnya dengan gamblang. Sontak riuh tepuk tangan serta gemuruh sahutan berkali-kali menggema di ruang pengajian. Beberapa santri geleng-geleng kepala, mungkin merasa luar biasa pandangannya terhadapku.

Saat berpapasan dengan teman-teman sekamar, pelukan dan banjir pujian menghampiriku. Tatkala keluar dari ruang pengajian, mataku menangkap adanya Ummi berdiri dengan tangan kanannya di atas tangan kiri beliau, di pintu ndalem tak jauh dari ruang pengajianku. Aku menatapnya, beliau tersenyum lebar dan mengangguk. Seolah memberi tanda kepuasan dan kepercayaan di awal pasaran ini.

Di bawah naungan langit malam, aku pandang lamat-lamat tumpukan kitab pemberian Ummi. Bukan lagi air mata ketakutan yang hadir, melainkan air mata kebahagiaan dan rasa syukur.

***

Tatapanku berubah menjadi tatapan haus akan isi seluruh kitab-kitab di dalamnya. Aku hendak tebarkan ilmu-ilmu itu kepada segenap pencari ilmu. Sejurus pikiranku melayang menjelajahi masa lampau.

Saat-saat aku baru mengaji sorogan kitab Safinatun Najah pada Ning Arsita. Bercakap-cakap di teras masjid di bawah temaram bulan purnama.

“Zila, mumpung kamu baru mondok, ngaji sing rajin biar pinter. Nah, kalau nanti kamu sudah pinter maka kamu akan menguasai segala ilmu-ilmu Allah di muka bumi ini terutama ilmu agama. Cakrawala pengetahuan mengenai ilmu akan membentang luas jendela dunia. Kamu harus ingat juga bahwa salah satu pembuka ilmu ialah takzim kepada guru. Sebab di sana akan ada berkah-berkah yang tak terduga datangnya,” ujar beliau yakin. Saat itu aku manggut-manggut polos.

“Takzim itu apa Ning?”

“Salah satu definisi takzim itu hormat pada guru, menuruti titah guru.”

“Oh. Hmm … Terus berkah itu apa, Ning?”

“Berkah itu bertambahnya kebaikan.”

“Maksudnya? Saya tak paham, Ning.”

“Ya, pokoknya suatu saat nanti kamu akan merasakannya dan bisa mengartikannya sendiri. Yang penting kamu bisa selalu memegang kuncinya.”

Kini aku manggut-manggut paham. Allah, mungkinkah ini yang dinamakan berkah sang guru?

***

“Zila, Ummi mau kamu badali ngaji Tafsir al-Munir minggu depan, ya. Kemarin kamu sudah lancar mulang ngaji kitab Alfiyah, jadi kemungkinan besar kamu juga lancar ngaji tafsirini,” titah Ummi.

Aku terbelalak. Sebuah permintaan lagi? Kitab tafsir? Bahkan aku pun baru mempelajari dasar-dasar kitab al-Munir itu, sampai intinya saja masih kurang paham, apalagi khatam kitabnya.

Belum sempat aku menjawab, Ummi tersenyum dan wajahnya berubah menyatu dengan cahaya terang. 

“Zilaa! Ayo banguuun,” suara cempreng Jihan membuatku terkejut.

“Ahh, Ummi,” teriakku. Alhamdulillah, rupanya hanya mimpi.

“Zil, bangun ih! Ngaji-ngaji, moso’ Ustazah keren kok datangnya telat,” kata Jihan seraya menggoyang-goyangkan tubuhku.

“Iya, iya, tapi gak usah pakai diteriakin segala,” kesalku berdiri menatap Jihan mangkel.

“Hehe, maaf Zil. Salahe dari tadi sampeyan gak bangun-bangun kok. Oh ya, itu sampeyan dipanggil Ummi, sekarang! Dan tolong, jangan kayak waktu itu, malah sasarean.”

“Enggak!” tegasku kepada Jihan yang mengingatkan “insiden” tempo hari sembari bergegas melangkah menuju pintu. Betapa terkejutnya aku, baru saja pintu kubuka, aku langsung mendapati Ummi berdiri di hadapanku. Ummi menyodorkan sebuah kitab yang cukup tebal, lagi.

“Malam Sabtu besok jadi badal Ummi ya. Ngaji pengajian Tafsir al- Munir di masjid. Ini kitabnya. Ummi yakin kamu bisa,” titah Ummi seraya menyerahkan kitabnya padaku. Lantas segera pergi tanpa memedulikan jawaban dan ekspresi kagetku.

Sejurus kemudian, tubuhku melemas. Aku terduduk tak berdaya memandangi sebuah kitab pemberian Ummi. Aku dititahkan menjadi badal mengaji kitab Tafsir al-Munir? Innalillah. Ngaji tafsir? Badali? Lagi? Allahu Akbar. Seketika pandanganku kabur. Gelap. Semuanya menjadi gelap. 

***

Nadina Nayla Azra Mahira (13 tahun) merupakan santri kelas 7 SMP Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Nadina Nayla Azra Mahira atau Instagram dengan nama: @_hvnaazd.