Bungsumu

Cerita Anggun Murniati (16 tahun)

Gadis itu masih terpaku di tempatnya. Di depan gundukan tanah merah yang masih basah, ia terdiam dan mengabaikan sekitarnya. Dia memandang nanar sepasang nisan di hadapannya. Air matanya tak lagi mengalir, tetapi hatinya masih kebas oleh rasa sakit.

Konon, saat air mata yang telah mengering dan tak lagi mengalir, di sanalah duka itu berada. Pada titik puncak kesakitannya, terkadang diam lebih mengkhawatirkan daripada linangan air mata.

Seolah mengerti duka sang gadis, langit pun ikut muram. Awan hitam bergelayut lelah. Kemudian, luruh menjadi ribuan tetes air hujan. Ia membasuh tubuh ringkihnya dan juga membasuh lukanya. Tuhan telah memeluknya. Tuhan mengajarkannya untuk memeluk semua rasa sakit atas sebuah kehilangan dengan basuhan hujan.

Gadis itu kembali tersungkur di atas tanah merah. Ia tak peduli tubuhnya yang akan berlumur lumpur. Ia tak peduli tatapan iba ketiga saudaranya. Kemudian ia terisak dan menangis lagi. Kenangan itu kembali melesat, bagai anak panah waktu yang menghunjam hatinya lagi.

***

Aku melirik pergelangan tanganku. Di sana tersemat sebuah jam yang menunjukkan pukul 23.48.

“Fiuuh,” aku menghela napas pelan dan mengeluh. Sedari pukul 21.00, otakku panas bagai dimasukkan ke dalam kuali yang mendidih dan mengepulkan panas. di les tambahan kitab kuning, ustaz nyentrik pembimbingku mengajukan serentetan tarkib kalimat beserta masalah-masalah fikih.

Dengan kepala yang masih nyut-nyutan, aku berjalan menuju kamar. Aku membuka handel pintu dan berharap segera merebahkan tubuh. Saat tiga sosok–entah dari golongan manusia, jin, atau setan–ternyata berada di dalam kamar. Mereka menyambut pandangan mataku, aku menatap mereka dengan tatapan gagal paham sambil menghela napas lelah.

Lihatlah, ini hampir tengah malam, tetapi mereka malah melumuri tubuhnya dengan …. Ah, biar aku jelaskan dan kenalkan satu per satu saja pada kalian.

Pertama, Azqi dengan wajah bermasker tepung beras yang sudah retak di sana sini dan tubuhnya diluluri kopi. Nama lengkapnya Azqi Al-Baqi. Namanya diambil dari nama kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya berharap dengan kehadiran Azqi hubungan keduanya menjadi langgeng. Sifatnya? Dia jail minta ampun. Jika kalian berada di dekatnya lama-lama, kalian siap terkena darah tinggi. Kelakuannya membuat kalian bertepuk jidat saat menghadapinya.

Kedua, Riva. Wajahnya bermasker adonan kulit manggis dan susu cair sedangkan tubuhnya diluluri dengan teh dan susu. Eh, susu? Astaga?! Iya, tinggal diseduh air panas saja kata dia. Aku saja sampai menepuk jidat melihat kelakuannya.

Sebenarnya Riva adalah gadis polos. Tau sendiri kalau orang polos didekati malah bikin … hmm … kalian tau, kan? Sifatnya bikin orang mengelus dada. Kalau ngomong sama dia saking begonya, ups.

Ketiga, Zai. Hanya Zai temanku yang paling waras dalam perawatan kecantikan gila ini. Nama lengkapnya Zaiduzzada. Dia punya wajah yang cuek cenderung watados (wajah tanpa dosa), tetapi kalau masalah perhatian sesama teman, dia spesialisnya.

Yha, mereka bertiga adalah teman-teman seperjuanganku di pondok, meskipun sebenarnya aku sedikit berat hati mengakui mereka bertiga sebagai teman. Selama empat tahun ini, aku dan mereka berada di pesantren dengan ribuan santri di era modernisasi. Tempat mondok kami namanya Dar Al-Huda, rumahnya petunjuk. Nama itu diberikan oleh Almagfurllah Muasisi Hadzal Ma’had.

***

Setelah meletakkan kitab aku masih menatap mereka dengan tatapan gagal paham. Aku melihat mereka satu per satu. Mereka bertiga yang bermasker beras merah dan rambut yang disanggul tinggi sempurna terolesi dengan nature republik.

Girls, now is midle night, but what’s wrong with you all?” tanyaku sambil mengurut kening.

Hmm, shut up Al, wait a minute,” Azqi menjawab dengan suara tertahan. Dia mempertahankan maskernya agar tidak rusak. Lalu, Azqi beranjak menuju cermin yang diikuti kedua temanku yang lain.

”Baru pulang, Al?” Zai menghampiriku diikuti Azqi dan Riva. Obrolan awal kami pada akhirnya membentuk halaqoh kecil di depan almari. Aku mengangguk sebagai jawaban,

“Kalian tadi ngapain coba? Udah malem malah maskeran gak jelas, kirain kiriman dari bangsa lain aja?” tanyaku. Zai mengangkat bahu menunjuk Riva, yang ditunjuk cengar-cengir gak jelas, balas nodong Azqi. Aku melotot dan berkata, “Yang terakhir harus bicara!” dalam hatiku. Azqi terkekeh geli, “Oh, ayolah Al, kami tuh lagi ikhtiar.”

Aku mengeryit, “I-k-h-t-i-a-r?”tanyaku. Azqi mengangguk semangat, “Biar cantik.” Aku menggeleng mendengarnya, “Astaga, denger ya Az, Riv, Zai, setiap wanita itu dilahirkan untuk menjadi cantik itu pasti. Mereka punya inner beauty-nya sendiri dan ingat kalau kalian hanya ingin menarik perhatian lawan jenis dengan kecantikan, mereka yang mencintaimu dengan tulus tak akan melihat seberapa cantik engkau, tetapi seberapa tulus cintamu untuknya,” jelasku panjang kali lebar kali tinggi.

Mereka bertiga manggut-manggut. Riva dengan mata berbinar berkata dengan wajah polos, “Hmm, kalo gitu Riva mah gak cuma cantik yha, cantik banget malah?” Serempak kami mengelus dada. “Iyha kan?!”

***

Bangun pagi aku sudah disambut dengan kejailan kawan-kawanku. Aku berhenti uring-uringan setelah melihat kalender yang menunjukkan tanggal 22 Agustus. Tanggal di mana bertepatan dengan hari ulang tahunku. Keadaan pagi ini membuatku tabah menerima kenyataan bullying dari mereka. Sudah menjadi hukum alam di pondok bagi siapa pun yang ulang tahun pasti akan mendapat kejutan-kejutan indah dari kawan-kawan, begitu pun aku.

Seharian ini mulai dari almari terbalik, baju berceceran, tak mandi pagi, seragam kusut dan kesialan lain yang begitu panjang jika harus kucatat. Namun setelah pulang sekolah, aku mendapat kejutan. Aku menemukan sebuah kotak besar berwarna peach dengan pita indah bertengger manis di atas lemari milikku yang terbalik dan berantakan.

Aku sempat menanyai mereka satu per satu, tetapi tak ada yang tau dari siapa. Mereka malah merecokiku untuk segera membukanya. Aku mengangguk, diiringi tatapan penasaran Azqi, Riva, dan Zai serta teman-teman lain. Aku mulai membuka kotak itu perlahan-lahan,

“Kayak udah ijab sah aja main seperangkat alat salat,” celetuk Azqi. Entah semerah apa wajahku sekarang karena olokan mereka.

Di dalam kotak ini berisi mukena, syal, sarung, dan sajadah dengan warna cokelat keemasan juga ada tasbih kayu. Tidak lupa, sebuah post it tertempel manis di dasar kotaknya.

***

“Jangan kau kira aku tak tau siapa kau,” ucapku dalam batin. Aku tersenyum dan membayangkan caranya mengirim kotak ini padaku. Dia adalah orang yang kukagumi pribadinya. Cukup dengan namanya, memicu debar hatiku. Aku selalu menunggu kedatangannya. Dia adalah sang penjagaku.

Aku tersenyum amat lebar merasakan pipiku memanas karena olok-olokan teman-temanku. Senyumku terus terkembang pun hingga sore menjelang. Kejailan mereka memang sudah berakhir dan puncaknya adalah saat pulang sekolah salafiyah.

Sore ini, mereka menyiram air comberan, telur, tepung, dan entah adonan apa lagi. Sungguh baunya membuat sakit indra penciuman setiap orang. Setelah sesi siram menyiram selesai, aku memanfaatkannya untuk menelaah kitab-kitabku. Masih ada waktu sebelum magrib menjelang untuk menghadapi ustaz nyentrikku saat bimbingan.

Ketika aku baru mendapat satu halaman, Riva datang mengejutkanku.

“Alqi ditungguin masmu di bawah, sambang,” ujarnya dengan wajah tak berdosa.

Andai saja sempat, sudah pasti aku timpuk dia. Sayang, aku sibuk menerka-nerka. Tak biasanya Mas Faid menjengukku. Segera aku menutup kitab dan bergegas menemuinya. Pipi merah dan senyumku seharian seketika lenyap saat Mas Faid datang dengan kemeja lusuh, mata lelah, dan rambut berantakan.

Dia berkata, “Nduk, Bapak sakit. Beliau mencarimu terus. Sekarang pulang ya, jenguk Bapak.”

Kabar itu terlalu mengejutkanku. Beberapa saat aku kehilangan fokus pandangan. Lalu, segera aku mengangguk dan berbalik untuk bersiap-siap. Tidak lama, hanya berganti baju dan membawa tas selempang kecil berisi beberapa barang. Aku mengabaikan tatapan penasaran kawan-kawanku. Aku bergegas menemui Mas Faid kembali.

“Izinnya, Mas?” tanyaku.

“Sudah kuurus,” katanya, dan aku kembali mengangguk.

***

Di mobil pun, Maz Faid tak berbicara sedikit pun. Ia fokus menyetir. Tiba di rumah sakit, sebelum masuk, Maz Faid menyerahkan ponsel milikku. Aku pun menerima dalam diam. Di ruang tunggu rupanya sudah ada Ibu, Mbak Mila, Mbak Yaya, istri Maz Faid, dan saudara lainnya.

“Mriki, Nduk” ibuku memanggil. Aku mendekat, wajah-wajah lelah mereka sangat kentara apalagi Mbak Yaya yang tampak kurusan dari yang terakhir aku lihat. Memangnya sudah berapa lama Bapak dirawat? Sebelum aku bertanya, Ibu sudah menjelaskan bahwa Bapak sudah seminggu koma. Mataku langsung berkaca-kaca mendengarnya.

Bapak terkena strok dan beberapa hari ini Bapak sering menyebut namaku dalam tidur panjangnya. Aku menelan ludah. Astaga, Bapak?! Sungguh, sekali saja aku mengerjap air mataku pasti jatuh.

“Temui bapakmu, Nduk, mungkin dengan begitu rindu bapakmu terobati dan beliau bisa segera sadar,” kata Ibu dengan lembut. Aku pun langsung mengiyakan dan segera beranjak. Aku sadar bahwa aku salah tak menyiapkan hati terlebih dahulu. Sampai di depan ruang inap, aku mendorong pintu dengan pelan. Air mataku langsung menetes melihat keadaan beliau.

Di atas bangsal rumah sakit, aku melihat tubuh kekar seseorang yang dulunya menggendongku ke mana-mana. Kini, ia terbaring lemah dengan selang berbelit. Matanya terpejam, amat damai.

Aku mencengkeram gagang pintu erat dan menarik napas panjang sebelum memasuki ruangan. Aku melangkah perlahan dengan air mata yang tak henti mengalir. Aku duduk di sisi kiri ranjang Bapak dan memandang wajah beliau dengan lekat. Aku mengingat-ingat bagaimana beliau sabar mendidik putri bungsunya yang nakal ini. Beliau memberi kasih yang tulus tak terhingga dan nasihat-nasihat bijak sejak aku belia.

Ah, Bapak. Air mataku masih tak henti mengalir. Dengan tangan bergetar, aku raih tangan beliau. Tangan kasar yang terus mencarikan nafkah halal bagi keluarga. Tangan kokoh yang menggenggam harapan putra-putrinya erat. Tangan dengan penuh kasih sayang selalu menghapus air mataku apabila aku menangis. Kini, tangan itu tergeletak lemah, tak lagi mengusap air mataku. Aku mengecupnya dalam-dalam dan terhanyut dalam tangis panjang.

Aku tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri di belakangku dan  menggenggam pundakku dengan halus.

“Bapak damai begini ya, Dik.”

Aku tau bahwa seseorang itu ialah Mbak Yaya. Tanpa menoleh pun, aku hafal suaranya. Aku mengangguk menyeka air mata.

“Kamu tau, Dik? Seminggu sebelum Bapak sakit, beliau sibuk sekali, cerewet mengatur ini itu dan kau tau kan bahwa Bapak bukan orang banyak bicara kecuali untuk putri bungsunya.” Suara Mbak Yaya bergetar. Aku pun semakin terisak.

“Dan kau tau apa yang Bapak sibukkan atasmu? Beliau sibuk menyiapkan kejutan ulang tahun untukmu, hanya kamu yang bisa diperlakukan begitu istimewa. Beliau sudah menyiapkan katering makanan, kue, hingga nasi tumpeng, juga tidak lupa kado yang ingin Bapak berikan padamu. Sayang hari itu harus datang dan aku tau ini bukan kado yang terbaik yang kau harapkan.”

Aku sesenggukan. Ya Allah, bapakku?! Sebegitu besar rasa sayang itu. Kudengar Mbak Yaya menghela napas sebelum berbicara kembali.

“Bapak amat sangat menyayangimu, putri bungsu kebanggan beliau. Kau adalah harapan terbesar beliau.”

Mbak Yaya mengelus punggungku pelan sebelum pergi. Setelah Mbak Yaya pergi, tangis ini tak kunjung reda bahkan semakin dalam. Sembari menggenggam tangan Bapak, aku pun berkata, “Bapak, Bapak tau kan hari ini tanggal 22 Agustus?!”

Patah-patah aku berkata susah payah agar bersuara. “Bapak pasti tau kalau hari ini Alqi ulang tahun yang ke-15. Bapak gak ingin ngucapin, ‘Barakallah, Putri Bungsu Bapak, udah besar ya sekarang,’ sambil tersenyum dan mengelus kepala Alqi? Bapak gak ingin?”

Aku menunduk, menggenggam tangan Bapak dengan erat dan menciumnya berkali-kali.

“Bapak kenapa gak ngucapin sih? Alqi aja udah gak nakal, gak bolos sekolah lagi lho. Masa Bapak malah diemin Alqi gini. Bapak bangun, ya?!” Aku mencoba menghibur diri walau gagal.

“Bapak tau? Di hari ulang tahun Alqi yang ke-15 ini, Alqi hanya minta satu sama Allah. Alqi hanya mohon: cukup Bapak bisa membuka mata. Itu adalah kado paling terbaik yang akan Alqi kenang. Kado terindah dan paling berharga buat Alqi itu cuma Bapak.”

Aku mengakhirinya dengan tangis panjang yang semakin pilu.  Masih dengan menggenggam tangan besar Bapak, erat. Jika saja aku mendongak, aku pasti melihat Bapak pun ikut meneteskan air mata karena rengekan bungsunya. Jika saja … Sayang, aku terlalu sibuk dengan rasa sakitku sendiri tanpa tau bahwa Bapak pun sama rindunya terhadap putri bungsunya ini.

***

Berlalu tiga minggu dari sakitnya Bapak, aku telah kembali bersekolah. Tak seharusnya aku lupa bahwa masih banyak orang-orang yang menggenggam erat harapan atasku. Mereka berdiri di belakangku, selalu menguatkan dan menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.

Azqi, Riva, dan Zai pun tau sakitnya Bapak. Mereka berusaha menghibur dan tak mengungkit kejadian tersebut. Semua kembali berjalan seperti biasa, dengan tingkah gila Azqi, polosnya Riva, dan bagaimana cueknya Zai menanggapi mereka berdua.

Sudah tiga hari juga Maz Faid selalu berkunjung. Ia membawakan makanan. Kalian tentu tau siapa yang menyuruh, bukan? Ya, Bapak. Beliau sudah pulang dan sibuk sekali bertanya kabarku. Aku ingin cepat-cepat bertemu, dengan rayuan ketiga saudaraku yang mengatakan bahwa Bapak masih belum pulih benar.

Bapak pun mengalah menunggu hari Jumat, saat aku pulang untuk bertemu. Sebagai gantinya, Mas Faid harus melaporkan keadaanku pada Bapak. Alhasil, setiap pagi Mas Faid menghantar makanan dari Bapak untuk diriku.

Sudah tiga hari ini, aku pun turut senang. Senang sekali mendengar Bapak sudah benar-benar pulih. Aku berharap segalanya akan terus baik-baik saja. Aku tau, cepat atau lambat hari itu akan datang. Sayangnya, aku tak siap, takkan pernah siap dan tak pernah mencoba untuk mempersiapkannya. Aku begitu takut, sangat takut untuk benar-benar menghadapinya.

***

“Alqi, putri Bapak. Tau tidak, mengapa Bapak memberimu nama Anisa Latifatul Qalbi Al-Qudsi?”

Aku menggelengkan kepala. Sebenarnya aku tau, tetapi selalu saja menyenangkan mendengar Bapak bercerita. Beliau tersenyum arif sebelum menjawab, “Nduk, dengar ini baik-baik, ya. Bapak ingin agar putri bungsu Bapak yang satu ini menjadi gadis yang lemah lembut. Hatinya mampu bersih dari segala prasangka. Bapak ingin kau jadi pelengkap keluarga dengan apa yang kau punya.”

Ah, Bapak. Begitu besar harapan beliau terhadapku. Aku memilih merebahkan kepala di pangkuan beliau dan Bapak pun mulai menyenandungkan lagu tilawah. Suara beliau amat merdu, tak heran saat muda beliau banyak memenangi MTQ di berbagai tingkatan. Bahkan diundang di acara-acara sampai sekarang. Sayang, suara beliau hanya menurun pada Mbak Yaya, tidak dengan anaknya yang lain termasuk aku.

Bapak membaca surat Al Araf ayat 34. Awalnya, aku terpejam menikmati merdunya suaranya. Beliau pun membuka mata. Ada apa ini? Mengapa aku merasa begitu takut? Aku menatap Bapak dari bawah. Beliau pun menatapku dengan sorot mata begitu teduh, membuat mataku ikut berembun. Bapak mengelus kepalaku dengan lembut. Aku pun terpejam, menikmatinya. Tak terasa sentuhan lembut itu menghilang seiring dengan air mataku yang mengalir.

Aku membuka mata. Bapak tiada? Mimpi? Bapak hanya mimpi? Ah yha, rupanya aku bermimpi, tetapi mengapa rasanya begitu nyata?

***

Sejak pagi, aku sudah merasa begitu gelisah. Jelas saja, sejak pagi biasanya Mas Faid yang datang dengan membawakan berbagai makanan tak terlihat hingga sore ini. Bukannya aku berharap makanannya, tetapi aku ingin mendengar kabar tentang Bapak.

Terlampau gelisah, aku pun mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca koran. Tak lama, seseorang menepuk pundakku, “Alqi?” tanyanya

“Iya, ada apa?” tanyaku pada gadis berkacamata ini.

“Kau dicari, sambang mungkin,” jawabnya. Aku tersenyum, pasti Mas Faid. Setelah mengucap terima kasih aku pun bergegas menemuinya. Terbayar sudah gelisahku menunggu dari pagi.

Langkahku pun terasa ringan saat yang kulihat bukan siluet Mas Faid. Maklum, mataku rabun jauh -3.00. Saat sudah dekat, aku baru tau bahwa itu bukan Mas Faid melainkan Mas Royan. Calon suami Mbak Yaya. Memangnya ada apa hingga Maz Royan yang kemari?

“Mas?” sapaku. Ia tersenyum sebelum menjawab, “Pulang ya, Al. Mas Faid gak bisa jemput. Bapak sedang kritis.”

Aku terkejut. Sungguh, jangan sekarang Tuhan. Aku benar-benar tak siap. Aku sempat limbung hampir terjatuh saking lemasnya. Bapak, kenapa harus lagi? Aku mohon Tuhan, jangan.

Aku pun mengangguk lemah dan berlari menuju kamar. Aku ganti baju dan menyampirkan tas. Kali ini, air mataku benar-benar tumpah. Dengan suara bergetar, aku pamit terhadap mereka, teman-temanku. Aku memberi penjelasan singkat dan mohon doa. Kemudian bergegas kembali diiringi tatapan iba mereka.

“Kamu gak izin dulu, Dik?”

Aku menggeleng tak sempat. Dalam pikiranku adalah Bapak, hanya Bapak. Mas Royan pun hanya mengiyakan saja. Ia memutuskan segera menaiki sepeda motornya dan mengantarku menuju rumah sakit.

Di perjalanan menuju ruang ICU, aku tak dapat menyembunyikan rasa khawatirku. Sampai di sana, aku kembali disambut oleh wajah-wajah lelah saudara-saudaraku. Kali ini, di ruang tunggu terdapat empat keluarga yang menanti kesembuhan Bapak.

Ibu menyambutku dengan menawari makanan. Ia berusaha terlihat baik-baik saja. Siapa pula yang peduli makan dengan ruangan berbau antiseptik dan perasaan ketakutan luar biasa ini?

Aku memutuskan menolak dan bilang pada Mas Faid untuk mengantarku menuju ruang inap Bapak. Mas Faid mengangguk dan mengiyakan Aku mengikuti langkahnya yang hanya diam saja sejak tadi.

Sampai di sana, hatiku bagai teriris sembilu menyaksikan Bapak kembali terbaring. Ventilator dipasang, juga selang-selang lain yang begitu banyak hingga alat pengontrol denyut jantung pun ada di sana. Sungguh, andai saja bisa dan diizinkan oleh Tuhan, aku saja yang menggantikan rasa sakit bapakku di sana.

Aku duduk di samping ranjang Bapak dan menatap tubuhnya dengan nanar. Bapakku, seorang penyabar. Ia mendidikku dengan tulus dan mencintai keluarga dengan cinta penuh. Ia selalu meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Aku berbeda dan yang istimewa. Kini, dia terbaring dengan mata terpejam, napas tersengal-sengal, seolah lelah dengan kefanaan dunia.

“Nduk, sudah dari pagi aku mendapat isyarat untuk membacakan surat Ar-Ra’d untuk Bapak. Namun, aku menundanya. Aku yakin, Bapak menanti hadirmu. Maka bicaralah pada Bapak dan semoga Allah perkenankan Bapak untuk kita.”

Aku terisak, luruh sudah air mataku. Mas Faid pergi. Aku menggenggam tangan Bapak dengan erat dan menumpahkan seluruh gundah gulanaku di sana. Aku memilih mulai berbicara,

“Apa bapak akan meninggalkan Alqi sendiri di tengah kejamnya dunia? Di saat bahkan Al belum paham arti kehidupan? Llantas bagaimana dengan mimpi-mimpi Bapak pada Al? Harapan-harapan Bapak? Belum sempat Al tunjukkan bahwa Al bisa, belum juga Al penuhi harapan-harapan itu. Tak bisakah Bapak tetap ada untuk menggenggam harapan itu lebih erat? Meyakinkan bahwa Al bisa, bukan hanya gadis kecil nakal yang manja, Bapak ….”

Aku tergugu-gugu, patah-patah melanjutkannya.

“Bapak, Al minta maaf ya sudah jadi anak nakal. Al belum bisa membanggakan Bapak. Al janji deh kalo Bapak habis ini sembuh, Al bakal belajar rajin-rajin kok. Al tidak akan bolos sekolah lagi. Al bakal jadi anak pintar dan jadi kebanggaan Bapak. Tapi, Bapak bangun dulu ya, sembuh dulu?”

Aku kembali tertunduk merasa takut luar biasa. Entah bagaimana jika aku tanpa Bapak. Pasti aku tertatih melewati terjalnya jalan kehidupan. Bapak adalah punggung yang membuatku bisa berdiri. Bapak adalah kaki yang menopang diri ini lantas bagaimana pula aku tanpa bapakku?

Aku menghirup napas panjang, bangkit, dan mengecup kening Bapak. Setelahnya, aku keluar untuk menabahkan hati dan andai aku tau itulah kecupanku pertama dan terakhir kalinya untuk Bapak.

Di ruang tunggu itu ada tiga keluarga lain saat aku datang. Namun, saat aku keluar dari ruang inap Bapak, tersisa dua keluarga saja, tiga beserta keluargaku. Aku menyaksikan sendiri satu per satu keluarga itu pergi hingga tersisa keluargaku saja di ruang tunggu. Satu keluarga pergi ketika bakda isya dan yang lain baru beberapa menit lalu. Rupanya mereka sudah pulang karena yang ditunggu telah berpulang.

Waktu berjalan begitu lambat bagai merayap. Aku berusaha mengisinya dengan bermain ponsel. Aku tau, tetapi memilih menolak dan berusaha untuk abai bahwa aku pun sama akan pulangnya dengan mereka, pulang.

Pukul 01.0 dini hari, aku pun belum benar-benar terpejam saat apa yang aku takutkan pun terjadi. Saat Mas Faid datang membangunkan Ibuk dengan mengguncang bahunya pelan.

Ia berkata, “Bu, sungguh ikhlaskan.” Tak butuh waktu lama ibuku memeluk Mas Faid erat dengan tersedan. Mas Faid pun sama terguncangnya. Dialah yang mendampingi Bapak saat sakaratul maut. Dia yang membacakan surat Ar-R’ad untuk Bapak. Dia yang menuntun Bapak membaca kalimat thayyibah. Sedang aku duduk termangu menyaksikan semuanya terjadi.

Ibuk membangunkan Mbak Yaya dan berkata lirih, “Bapak ….” Mbak Yaya terdiam sejenak hanya memandangi Mas Faid dan Ibuk saling berpelukan juga saling menguatkan. Ia masih mencerna apa yang terjadi. Saat ia sudah menyadari, tangisnyalah yang paling pilu, paling meratapi. Bapak begitu dekat dengan Mbak Yaya. Ilmu Bapak seluruhnya sempurna terturun padanya. Sungguh, tangisnya begitu menyayat hati, bibirnya tak henti bergetar menyebut Bapak.

Lalu bagaimana denganku? Aku memilih diam. Air mataku berlinang sedari Mas Faid datang. Aku tau Bapak telah pergi bahkan dari suara kaki Mas Faid saat melangkah mendekati kami. Aku menangis dalam diam, tak ada isakan. Aku tak ikut berpelukan. Aku sibuk mengenang dan sibuk meratapi kehilangan sendiri seorang.

Hari ini, Rabu Kliwon 12 September 2018, Bapak pergi menemui Tuhan. Aku ditinggalkan untuk selamanya. Tak ada lagi suara merdu Bapak. Tak ada lagi tangan dingin yang selalu membangunkan. Tak ada lagi nasi bungkus di pagi hari yang selalu diantar Bapak dengan sepeda. Tak ada lagi orang yang tergesa datang karena kuminta. Tak ada lagi jus wortel buatan Bapak. Tak ada lagi kata-kata bijak beliau. Tak ada lagi harapan-harapan beliau. Tak ada lagi .…

Sungguh tak ada. Bapak telah pergi. Bapak telah pulang. Bapak telah meninggalkan bungsunya sendirian.

Usiaku 15 saat aku merasakan kehilangan, pedihnya takdir Tuhan.
Usiaku 15 aku sudah ditinggalkan.
Usiaku 15 aku harus mengikhlaskan kepergian.
Usiaku 15 aku sudah tak punya sosok yang kusebut dengan Bapak.

Allah, aku tau Kau menyayangi bapakku lebih dari aku menyanginya. Maka, tempatkan bapakku sebaik-baiknya tempat di sisi-Mu. Curahkan ia dengan rahmat-Mu dan katakan pada bapak, “Maaf, bungsunya tak sempat membanggakannya.”

***

Aku mengerjap, merasakan sentuhan tangan dingin di kakiku. Sentuhan yang menyuruhku untuk segera salat Subuh. Itu tangan Bapak. Aku segera terbangun. Rasanya baru sekejap aku terpejam. Mataku pun rasanya juga membengkak. Apa aku menangis selama tidur?

Mbak Yaya mungkin sudah bangun. Aku bergegas mengambil wudu dan salat. Setelahnya aku merasa bahwa rumahku begitu sepi, bahkan aku pun tak ingat kapan aku pulang.

Dan saat aku melangkah menuju ruang tengah seketika tubuhku lemas. Aku terduduk di lantai. Di sana, di depanku sebuah keranda teronggok bisu dan aku baru tau bahwa tadi bukan hanya mimipi. Itu benar-benar nyata, di sana adalah keranda Bapak dengan sebatang lilin di depannya.

Ada Mas Faid di sana. Ia terisak membacakan Yasin dan rupanya ia tak sanggup. Lalu ia memilih beranjak dengan air mata tumpah ruah. Mbak Yaya di sampingnya melanjutkan dan aku yakin sepenuhnya itu pun ia paksakan.

Bapak pergi persis dengan kebiasaannya. Ia sampai di rumah pukul 2. Pukul 3 biasanya Bapak sudah bangun dan menjadi yang pertama mandi. Kali ini Bapak memang yang pertama mandi, tetapi beliau dimandikan. Setelahnya, Bapak akan salat Tahajud dan kesunahan lainnya. Hari ini bapaklah yang disalatkan.

Orang meninggal akan sesuai dengan kegiatan semasa ia hidup. Ini adalah perawatan jenazah pertamaku selain dalam diklat, tetapi mengapa harus bapakku yang menjadi jenazahnya?

Saat Bapak hendak diantar ke tempat terakhir, aku pun melihat dia pun turut hadir. Ia menatapku dengan pandangan iba. Dia mengirim sorot mata menguatkan. Aku pun menerimanya, tetapi aku membalas tatapannya dengan sendu.

Inilah perjumpaan terakhirku dengan Bapak. Aku menyaksikan sendiri tubuh Bapak berbungkus kafan. Tubuh Bapak ditimbun oleh tanah. Meski dengan padangan kabur akibat air mata, aku turut melempar gumpalan tanah. Aku mendengar talqin untuk beliau dan ikut mengiriminya dengan rangkaian kalimat doa.

Ya Allah, Engkaulah yang setiap hari Bapak puja. Engkaulah Tuhan yang Bapak perkenalkan padaku. Lewat Bapak, aku diajari mendekat pada-Mu, ya Rabbi.

Izinkan aku mengadu. Aku rindu bapakku maka sampaikan salam rinduku. Bapak telah mengasihiku dengan kasih yang tulus. Kasihilah Bapak dengan kasih-Mu.

Bapak telah menghidupkan malamnya dan mematikan kantuknya dengan wudu maka matikan api neraka baginya. Hidupkan taman surga yang mengalir air yang sejuk untuk Bapak.

Dan untukmu, Bapak, semoga Allah perkenankan mahkota cahaya beserta jubah kebesaran terhadapmu. Salam rindu penuh cinta bertangkai doa untukmu.

Dariku, putri bungsumu.

***

Anggun Murniati (16 tahun) atau lebih dikenal Anggun Mr merupakan santri Pondok Pesantren  Darul Huda Mayak, Ponorogo, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui melalui akun Facebook dengan nama: AnNdun atau Instagram dengan nama: dek ndun.