Cahaya untuk Qia di Sepertiga Malam

Cerita Shifa Aulia

Suara mobil berhenti terdengar jelas oleh para santri akhwat dan ikhwan. Seorang anak perempuan cantik keluar dari mobil. Kulitnya sawo matang dan manis . Tingginya sekitar 160 cm. Ia mengenakan jilbab pendek dan celana levis dengan kemeja putih yang digulung sampai siku. 

“Assalamualaikum ismuki?” ujar salah satu santri akhwat menghampiri anak perempuan tersebut.

“Ih, nih orang ngomong apaan sih? Gua gak ngerti,” ucap Qia dalam hati sambil terheran.

“Afwan, maksudnya nama kamu siapa? Kenalin, nama aku Annisa, ketua kobong di sini.” Dengan mengulurkan tangan kanan dan tersenyum manis.

“Namaku Shasqia Auliazahra, panggil aja Qia.” Membalas uluran tangan tersebut dan tersenyum.

***

Inilah awal kisah Qia dimulai. Sebenarnya, Qia tidak mau mondok. Dia lebih suka kehidupannya yang dulu, tetapi mondok adalah keinginan kedua orang tuanya. Mereka ingin Qia bisa mengaji dan mengubah sikapnya agar lebih balik lagi.

Qia mondok di salah satu pesantren tahfiz, yaitu Pondok Pesantren As-Syiffana. Pesantrennya menerapkan sistem bahasanya, yaitu menggunakan lugotul arobbiyah. Di sana menggunakan  metode yang sama dengan Al Azhar Mesir. 

“Dor … dor … dor …,” suara ketukan pintu terdengar keras dan sangat jelas.

“Akhwat bangun cepat, sudah jam 4 kurang. Segera ke masjid, kita tadarus bersama sebelum subuh,” suara teriakan Rara dan Riri dari luar kobong.

Qia terbangun dan mengikuti segala rutinitas ponpes tersebut. Qia tidak langsung ke tahap menghafal Al-Qur’an. Qia kembali lagi ke Iqro 1 karena makhorijul hurufnya masih belum benar.

***

Qia bersiap-siap untuk ke sekolah barunya. Bajunya dimasukkan dan tidak memakai kaus kaki. Dia menggunakan kerudung pendek dan roknya sepan. Dia menenteng tas gendong yang disimpan di pundak kirinya. 

“Ya Allah, Qia. Qia kan lagi di lingkungan ponpes. Sekolah kita juga sekolah Islam. Sekarang bajunya kamu keluarin, kerudungnya sampai menutupi dada, dan pakai kaus kaki,” ucap Aisyah dengan sabar menasihati Qia.

Suara Aisyah rendah sambil tersenyum kepada Qia. Dengan muka masam Qia mengikuti nasihat dari Aisyah.

***

“Cie, baru 2 hari di sini udah dapet bunga sama cokelat, Qi,” ledek Rara dan Riri.

“Ih, apa sih kembar, ga deh. Alay banget sih mereka, ga suka gua. Btw ana uhibbuka fillah tuh apasih?”

“Artinya, ku mencintaimu karena Allah.  Tuh, kan, pertanda ini,” ledek Aisyah, semua pun tertawa.

***

Tepat pukul 21.00, pelajaran fikih dimulai dengan bimbingan dari Ust. Fajri. Para santri akhwat dan ikhwan dibatasi oleh hijab berwarna hijau. Materi malam ini membahas tentang zakat. Para santri sangat serius memperhatikan dan mencatat hal yang penting. 

“Yah Qia, anak baru. Berapa zakat penghasilanmu? Ayo jawab!!!” tanya Ust. dengan nada tinggi.

“2000, Ust.,” jawab dengan santai.

“Kenapa 2000?”tanya dengan nada tinggi.

“Karena followers aku kayanya naik 2000 deh, Taz. Soalnya udah lama ga buka Instagram.” Dengan mengucek mata, Qia menjelaskannya. Qia mengantuk dan keadaannya setengah sadar setelah bangun dari tidur. 

Qia berbuat kesalahan karena tertidur saat pelajaran fikih berlangsung. Qia asal menjawab pertanyaan yang diberikan dari Ust. Fajri. Dia dikeluarkan dari majelis oleh Ust. Fajri dan diberi hukuman menghafal surah Ar-Rahman dalam waktu seminggu.

***

Tak terasa sudah satu bulan lebih Qia di ponpes. Sekarang dia sudah mulai menghafal Al-Qur’an mulai dari juz 30 terlebih dahulu. Qia sangat kesulitan dalam menghafal. Memang kegiatan menghafal adalah hal yang tak biasa dia lakukan. Dia biasa menghafal materi presentasi ketika di sekolah dulu.

Dulu, public speaking-nya sangat keren. Dia tidak pernah grogi ketika presentasi di depan banyak orang. Dia banyak mengikuti organisasi. Qia adalah salah satu murid yang berprestasi di sekolahnya dulu.

***

Hari demi hari, Qia melewati kehidupan barunya di ponpes dengan berat hati. Qia anak yang sangat ramah kepada siapa pun. Ia mudah bergaul dan itu semua Qia gunakan untuk menutupi kesedihannya selama di ponpes.

Malam ini, Qia benar-benar tidak tahan lagi di ponpes. Qia merasa tidak nyaman. Perasaan kesal, sedih, juga kecewa menjadi satu karena ini sebenarnya bukan pilihannya sendiri. 

“Ya Allah, Qia capek di sini. Qia ga nyaman. Qia harus piket masak, terus tidurnya malem-malem banget. Lalu, kenapa belajar fikih, akidah akhlak, qurdist, nahwu, shorof, juga faro’id ga pernah bisa masuk ke otak Qia? Kenapa ya Allah, Qia kalau menghafal Al-Qur’an selalu susah banget. Hafal 2 ayat di masjid, pas keluar masjid udah lupa lagi, ga taulah nanti ujian pesantren gimana. Bodo amat ga bisa. Qia lebih suka pelajaran fisika, kimia, biologi, dan yang umum lainnya,” keluh Qia sambil menangis 

“Coba waktu bisa diputar kembali, aku bisa ikutan lomba pramuka keluar Jawa Barat, ikut nulis bareng sama anak Australia, lomba paskibra, lomba puisi, tanding perisai diri. Aghhh ga suka, ga betah pokoknya, Qia kangen Uma … Abi ….” Semakin tak kuasa Qia menahan air matanya.

Kak Annisa pun menghampiri Qia. Sejak tadi, Annisa memperhatikan Qia dari kejauhan. Lalu, ia mendengarkan keluh kesah Qia. 

“Qia sabar ya, Qia tuh beruntung, Kak Annisa sekarang udah ga punya siapa-siapa lagi. Abi, Bunda, ketiga adik Kak Nisa juga kakaknya Kak Nisa udah ga pada ada. Mereka semua mengalami kecelakaan ketika mau ke sini. Pesawat yang ditumpangi mereka dari Jambi jatuh ke laut,” cerita dari Kak Nisa.

“Sekarang, Kak Nisa cuma punya Allah. Kak Nisa bersyukur, Allah ngasih orang-orang dan lingkungan yang baik. Harapan Kak Nisa hanya satu, bisa memberi mahkota di surga untuk kedua orang tua Kak Nisa. Coba Qia belajar bersabar dan mulai malam ini berdoa ke Allah di sepertiga malam. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Qi, lagi Maha Penyayang,” ucap Kak Nisa sambil memeluk Qia.

Qia merasa tersentuh setelah mendengarkan cerita Kak Annisa. Qia akan belajar tabah, sabar, tawakal, dan ikhlas menjalani keadaan ini.

Sekarang Qia sadar. Ia mulai rajin salat di sepertiga malam. Kak Nisa meminta agar hafalan Qia dijaga dan selalu muraja’ah karena Allah lebih tau mana yang terbaik untuk hamba-Nya.

***

Kini Qia menjadi penghafal Al-Qur’an dan mengajar tahsin di tingkat tsanawiyyah.  Qia berpikir bahwa kehidupan di dunia hanya berlaku sementara dan akhiratlah tempat tinggal kita selama-lamanya.

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Tuhan kita yang Mahaagung dan Mahatinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: ‘Siapakah yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni.'” (HR. Bukhari-Muslim)

Keterangan:

  1. Ismuki = siapa namamu (bahasa Arab).
  2. Akhwat = saudara perempuan (jamak).
  3. Ikhwan = saudara laki-laki (jamak). 
  4. Afwan = maaf (bahasa Arab). 
  5. Muraja’ah = mengulang pelajaran.
    ***
    Shifa Aulia biasa dipanggil Shifa (17 yo). Santri Pondok Pesantren Babussalam Purwakarta yang hobi menyanyi, menggambar, dan juga menulis.  Ini adalah kali ketiga mojang kelahiran Bogor, 22 Desember 2002 menuliskan ceritanya. Penulis dapat di swa jumpa di Facebook @ShifaAulia atau Instagram @shifaaulia94_