Cerita Alumni

Esai Inayatul Fitriyah

Alumni. Sebuah julukan yang kerap diperuntukkan bagi mereka yang telah menamatkan sebuah jenjang pendidikan.

Berbicara tentang alumni, saat ini saya ingin mengutip sedikit tentang alumni pesantren.

Sebagian dari mereka pasti ingin cepat-cepat menamatkan pendidikannya dan menjadi alumni, dengan pikiran, “Wah, enak jadi alumni. Udah bebas ngapain aja. Enggak terkekang sama peraturan lagi. Gak ginilah, gak gitulah, dan bla … bla … bla.”

Akan tetapi, ketahuilah! Menjadi alumni tidaklah seseru yang dibayangkan. Kenapa? Karena setelah menamatkan pendidikan dalam lingkup pesantren, kita akan bergaul dengan masyarakat luas. Itu membuat kita harus mengikuti pola pikir kehidupan masyarakat sekitar.

Menyandang predikat santri, membuat kita akan dicap baik oleh sebagian masyarakat. Dari sini, kita dituntut untuk menjaga sikap dan menjaga nama baik pesantren. Ini semacam sudah menjadi tanggung jawab kita sejak mengikrarkan diri sebagai seorang santri.

“Eh, itu bukannya santri Kiai A, kok sekarang buka aurat, ya? Sering ketemuan juga sama lawan jenis, pakai Jeans, pakai baju ketat, dan bla … bla … bla.” 


Pasti akan ada cacian seperti ini jika kita sudah salah bertindak. Beda lagi dari hal ini, menyandang predikat santri juga membuat masyarakat beranggapan bahwa kita adalah orang alim, sudah pandai dalam urusan agama. Sehingga orang-orang datang kepada kita, meminta untuk menjadi pemimpin doa dalam acara syukuran anaknya, misalnya.

Mereka tidak tahu bahwa di pesantren, beberapa santri terkadang hanya mengikuti serangkaian kegiatan dengan tidak ikhlas, yang penting ikut dan selesai.

Pada saat itu pun kita hanya bisa cengengesan, berpura-pura menyanggupi permintaan tersebut karena tak ingin merusak predikat alumni santri yang disandang. Saat pembacaan doa dimulai maka berbagai jenis doa yang sudah dihafal si santri, ia lantunkan. Doa sebelum makan, doa sebelum tidur, sebelum masuk kamar mandi, atau mungkin sebuah kutipan bahasa Arab yang tak sengaja dihafal turut dilantunkan. “Toh, yang penting berbahasa Arab, orang-orang pun tidak akan menyadarinya apalagi mengerti akan artinya,” pikirnya.

Ternyata, tidak semudah itu, Ferguso!!! Menjadi alumni, kita diharuskan untuk mempertanggungjawabkan predikat santri yang pernah disandang. Seorang santri yang dididik oleh seorang kiai, tentulah akan bersikap baik-baik layaknya kiai. Begitu pikir orang-orang.

Sedikit pesan untuk kalian yang masih berstatus santri dan akan segera menyandang gelar alumni, perbaikilah segala sikap yang mungkin beranggapan masa bodo dengan kegiatan sana, tidak terlalu memedulikan perintah dan amanat dari ustaz/ustazah, bahkan kerap kali melanggar karena tak ingin diatur. Ingat! Ketika kalian sudah keluar dari zona nyaman pesantren, kalian akan dihadapkan dengan pola pikir masyarakat yang akan jauh berbanding terbalik dengan pemikiran kita.

***

(ed: Du)

Inayatul Fitriyah adalah santri di Pondok Pesantren Al-Usymuni dan siswi di SMAS Plus Miftahul Ulum. Ia bisa dihubungi melalui Facebook (@Ifiya) atau Instagram (@ifiya_).