Corona Tak Pernah Iba

Cerita Arjen Robben Giovanni Sumadi

Pada tahun ini, awalnya aku membayangkan dapat menikmati Ramadan di Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Aku ingin mengukir sejarah memiliki pengalaman Ramadan jauh dari orang tua. Bangun malam, sahur, salat Tarawih, dan mengaji bersama teman-teman. Tidur dan ngorok bersama, berderet di tempat tidur yang makin lepet (mepet?), tetapi laksana hotel berbintang. Senda gurau dan gosip menambah asyiknya kehidupan di pesantren.

Akan tetapi, ada sebuah misteri yang tidak aku bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba ada sebuah virus yang mematikan, yaitu namanya Virus Corona, disebut Covid-19. Sebuah virus tak tampak kasat mata tapi serangannya dahsyat ke seluruh penjuru dunia.

Awalnya, aku tetap tenang dan senang sebab pesantren tidak memulangkan santrinya. Aku dan teman-teman juga senang. Ayah dan ibuku juga senang. Ibuku telepon aku dan berkata, “Aa sehat dan baik-baik di pesantren yah.”

“Iya Ibu, Ayah. Aa baik-baik, sehat, dan enjoy di pesantren,” jawabku.

Corona tidak kenal kompromi, pengelola pesantren pun merasa khawatir virus tersebut menyambangi pesantren. Akhirnya, pesantren pun memutuskan untuk memulangkan santriwan dan santriwati dari berbagai daerah di Indonesia. Pada tanggal 7 April 2020, santri harus dijemput oleh orang tuanya masing-masing.

Aku merasa sedih karena tidak jadi puasa bareng-bareng teman di pesantren. Corona memang tak mengenal iba. Virus itu membuat aku tak berdaya dan harus meninggalkan pesantren Bumi Cendekia untuk sementara.

***

Setelah sampai kota kelahiranku, yaitu Ciamis, aku tidak bertemu langsung dengan keluarga karena takut ada apa-apa yang tidak diharapkan. Aku tinggal di ruangan perpustakaan pribadi Ayah dan ibuku yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah. 

Kesedihanku mulai terobati. Di kampung, aku dapat bertemu dan berkumpul dengan keluarga, salah satunya adikku, Kevin. Dia berusia menjelang dua tahun. Dia sedang mulai belajar berbicara, celotehannya lucu menghibur.

Adikku yang lainnya, Naoril pernah berkata bahwa corona itu ada di buku Iqro-nya. Dia menemukan dan membaca dengan lafat qo-ro-na. Ayah dan Ibu yang setiap hari harus bekerja, pasti repot mengurus tiga anaknya yang banyak ide bermain ini.

***

Selama 14 hari, aku tidak ke mana-mana. Aku taat dengan anjuran sekolahku dan Bapak Jokowi, Presiden RI, untuk di rumah saja. Akhirnya setelah 14 hari, aku memutuskan mulai ke masjid untuk melaksanakan salat fardu. Sebuah kerinduan bagiku untuk salat berjemaah.

“Kamu kok tidak ke masjid dari kemarin?”

“Karena aku harus isolasi diri, Kek, selama 14 hari.”

“Ohhh gitu.” Jawabku setelah ditanya oleh seorang kakek tua di masjid.

Ya, masjid adalah tujuan pertamaku setelah karantina selesai. Hari pertama Ramadan, aku bersama teman-temanku melaksanakan salat Tarawih di masjid. Aku sangat senang dapat bertemu dengan teman-teman lamaku semasa MI.

Akan tetapi, aku masih sedih karena belum pernah Ramadan di pesantren. Sebuah suasana puasa di pondok bersama teman-temanku yang beragam suku, ras, dan asal daerah.

Ciamis, 1 Mei 2020.

 

***

 

Arjen Robben Giovanni Sumadi (13 tahun), santri kelas 7 SMP Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Penulis kelahiran Ciamis, 10 Juni 2006 ini dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @stirjadul89.