Dari Nguli, Sampai Kaligrafi

Cerita Slamet Makhsun

Siang itu, ia merasa lelah dan kepanasan. Dari pagi sampai siang ia ikut nguli di sebuah gedung tingkat tinggi yang sedang dibangun. Panasnya ibu kota memang sesuai dengan iklim ekonominya. Bersaing, saling pamer kekayaan, saling tikam satu sama lain, walau tidak semua warga ibu kota seperti itu.

Ia merasa bersyukur, masih banyak orang baik di sekelilingnya. Buktinya, ia masih bisa ikut kerja dan bayarannya pun lumayan cukup buat menyambung hidup.

Nama lengkapnya Salim Kamil Almambheti. Sedikit aneh memang namanya. Entah dapat dari mana ia mendapat marga Mambhet. Panggilan akrabnya Kamil. Ia tidak mau di panggil Mambhet, padahal masih namanya. Mungkin ia malu dengan panggilan tersebut.

Setelah lulus SD, ia memutuskan untuk pergi menuju ibu kota. Ia nguli ikut orang di proyek bangunan. Sebelum ke Jakarta, Kamil adalah anak yang cerdas. Dari pagi sampai siang, ia belajar di SD dan sore sampai magrib, ia ikut madrasah diniah di kampungnya. Ia pandai ilmu umum juga menguasai ilmu agama.

Oleh teman dan guru-gurunya, Kamil diakui sebagai orang yang cerdas. Buktinya, setiap kali ujian kenaikan kelas, ia selalu mendapat peringkat pertama. Entah di sekolah atau madrasah diniah.

***

Kian hari kian dekat dengan pengumuman kelulusan sekolahnya. Ia sangat pengin bisa melanjutkan pendidikan di SMP favoritnya. Keinginan ini sudah terpendam sejak lama. Ia mulai membayang-bayangkan tentang kehidupan di masa depannya.

Tibalah hari kelulusannya. Ia mendapat nilai yang bagus.

“Ah, nilaiku bagus. Tinggal selangkah lagi menuju SMP favoritku,” gumamnya.

Malam setelah hari kelulusannya, tepatnya saat Kamil selesai salat Isya, ia ingin menemui emaknya. Ia ingin bercakap perihal keinginannya. Sebelum mengetuk pintu kamar emaknya, ia pun sudah dipanggil dahulu.

“Mil, ke sini, Mil. Ke kamar Emak. Emak pengin bilang sesuatu ke kamu.”

“Iya, aku ke situ, Mak,” jawabnya.

Setelah duduk bersama Kamil, emaknya bercerita tentang ekonomi keluarga yang lagi sulit. Maklum, tempat tinggalnya di desa yang pelosok. Di kaki Gunung Slamet, daerah Kabupaten Pemalang.

Emaknya bilang bahwa sudah tak mampu lagi menyekolahkan Kamil ke SMP. Dengan air mata yang membanjir, emaknya meminta maaf, sambil memeluk tubuh Kamil.

“Iya, Mak, enggak papa, Kamil enggak papa kok, yang penting kita masih bisa hidup, masih bisa beribadah, masih bisa menikmati umur pemberian Gusti Allah ini.” Tangis Kamil ditahan.

Ia tidak mau menambah beban pikiran emaknya. Ia pun mengusap air mata emaknya dan kembali memeluk Emak dengan penuh haru.

Nama SMP favoritnya sudah ia lupakan, seiring harapannya yang telah pupus. Kini ia membantu emaknya di ladang untuk mengisi kesehariannya. Agak iri memang ketika ia pagi-pagi berangkat ke ladang, teman-teman sebayanya berpakaian rapi mengenakan seragam untuk berangkat ke sekolah.

Mereka dapat belajar juga bermain bersama teman. Itulah yang membuat Kamil menangis batin. Cita-citanya selama ini, yang selalu ia pikir dan bayang-bayangkan kala menjelang tidur, hilang sudah.

Setelah beberapa minggu ikut kerja di ladang, ia pun ngomong serius ke emaknya.

“Mak, udah beberapa minggu ini, Kamil ikut membantu di ladang. Sekarang, saatnya Kamil pamit ke Emak. Kamil akan berangkat kerja nguli di Jakarta. Tapi santai kok, Mak, Kamil sudah bisa njaga diri. Kamil sudah dewasa kok.”

“Terus siapa yang ngajak kamu pergi nguli di Jakarta, Mil?”

“Yang ngajak Kamil ke Jakarta Mas Azizi. Dia orangnya baik, Mak, juga udah pengalaman kerja di sana.”

“Oh, kalau Azizi yang ngajak sih enggak papa. Emak percaya sama dia. Dia itu, udah terkenal baik anaknya. Dulu, Emak pernah dikasih uang sama dia, saat Emak lagi sakit parah. Sampaikan terima kasih ke Azizi ya, Mil, karena sudah ngajak kamu kerja di Jakarta, juga atas bantuannya ke Emak.”

“Iya, Mak. Terima kasih ya, Mak, sudah ngizinin Kamil kerja di Jakarta.”

Sungguh, Kamil senang. Ia akan bertemu dengan dunia yang sama sekali baru baginya. Bertemu orang-orang kota, melihat gedung pencakar langit yang tinggi, serta ketemu artis-artis ibu kota.

Ia pun berangkat kerja ke Jakarta saat umur 13 tahun.  Mungkin usianya terlalu muda, tetapi siapa yang akan percaya bahwa pada umur tersebut, wajah Kamil sudah dewasa. Dengan tubuh yang gagah, berisi, dan lumayan tinggi, serta kumis yang mulai kelihatan, ia terlihat seperti seorang pemuda berumur 23 tahun.

***

Hari-hari bekerja di Jakarta ia rasakan dengan senang. Sudah beberapa bulan kerja di sana, dompetnya terisi penuh. Ia mulai sering mengirim uang ke kampungnya, buat membantu biaya Emak. 

Ia berubah saat ia mulai mengenal wajah asli Jakarta. Ya, uang hasil bekerja ia habiskan untuk mabuk-mabukan dan bersenang-senang. Penampilannya pun berubah, dulu rambutnya masih rapi, sekarang gondrong, disemir pula. Telinganya ditindik, bahkan lidah dan bibirnya juga ditindik. Ngeri seperti “orang Jawa metal” atau orang Jawa sering menyebut garangan alas.

Kebiasaan-kebiasaan buruk itu ia jalani selama bekerja di Jakarta. Ketika pulang kampung, wajar kalau ia tidak membawa uang banyak. Ya, kalau ada mungkin cukup sekadar buat ongkos makan dan bayar bus.

Itulah kehidupannya di Jakarta. Ia hanya bekerja dan bersenang-senang. Meskipun ia sering mabuk-mabukan, ia tak pernah mencuri uang orang lain, tak pernah juga menyakiti, walau sekadar ucapan. Itulah tabiat baiknya, tak pernah mengusik orang lain.

Setelah 2 tahun kerja, akhirnya Kamil pulang kampung. Karena kangen ia kembali berkumpul dengan keluarganya. Tepat ketika ia pulang, ada saudara jauh yang sedang berkunjung ke rumahnya. Masyaallah, saudaranya kaget melihat Kamil yang dulu rapi dan ganteng, sekarang seperti preman pasar.

Emaknya pun sempat menangis. Ia kecewa melihat Kamil yang berubah dan jauh dari budaya sopan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, Kamil pun mau diajak oleh saudaranya untuk mondok sekaligus melanjutkan sekolah SMP.

Dengan berat hati, ia tinggalkan kampungnya lagi. Kali ini, ia pergi untuk mengobati luka hati emaknya. Untungnya, biaya pondok dan sekolah ditanggung oleh saudaranya.

Di situlah awal perubahan. Setiap siang sekolah dan malamnya ia mengaji. Semua itu dijalani dengan disiplin oleh Kamil. Awal-awalnya terasa berat, tetapi kenyataannya dapat mengubah sikap buruknya.

Suatu malam, ia bangun dan menjalankan salat Tahajud. Di masjid yang sangat sunyi, dengan tenang, ia salat khusyuk. Tiba-tiba ia menangis. Kucuran air matanya melimpah. Ia tumpahkan segala kesedihan kepada Allah Swt. Ia telah benar-benar tobat nasuha. Ia sangat malu dan menyesal atas perbuatan buruknya dahulu.

Tiga tahun nyantri, telah total mengubah sikapnya. Bahkan, ia pun sekarang menjadi ahli kaligrafi. Pernah pula ia mendapat medali emas di kejuaraan kaligrafi antarpondok tingkat nasional. Perlu diketahui, pondoknya memang memiliki ekstrakurikuler kaligrafi yang didukung penuh pula oleh pengasuhnya.

Tak mengherankan jika santri jebolan sana pandai menulis kaligrafi. Sekarang, tahun kelimanya mondok, Kamil telah menjadi santri kesayangan pengasuh dan ustaz di pondoknya. Kamil juga sering mendapat job dari pengasuhnya, seperti ikut proyek membuat kaligrafi atau mengajar kaligrafi di sekolah-sekolah. Sering pula ia mendapat pesanan kaligrafi yang membuat dompetnya makin penuh dengan hasil usaha sendiri.

Ia benar-benar mandiri. Tak pernah pun dikirim uang dari orang tua. Setelah ia menjadi ahli kaligrafi, uang pun sering datang padanya. Saudara yang dulu menanggung biaya pondoknya, kini sudah melepasnya. Tak menanggung biayanya lagi.

Setelah lulus SMA, akhirnya Kamil pamit ke pengasuh pondoknya dan melanjutkan kuliah. Lagi-lagi dari uang hasil usaha mandirinya. Kerja sambil kuliah dan juga masih sering mengerjakan job-job kaligrafi. Sungguh iri jika kita melihatnya, semangat mencari ilmu dan ketekunannya benar-benar tinggi.

Cerpen ini diambil dari kisah nyata, tokoh utama adalah teman dekat penulis.

***
Slamet Makhsun (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Muntasyirul Ulum Jogja. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Makhsun atau di Instagram dengan nama: @makhsun_id.