Dikatakan atau Tidak, Desa Tetaplah Tanah Surga yang Terlupakan

Esai Faizis Sururi

Nom! Deteng dimmah ma’ malem, Nom? Slamet nyapa Nom Junaidi se lebet e adeknah bungkonah.
Deteng nanggheleh sabe, Cong. Etanemmah padi lagghuk, sambih anoh sapeh Nom Junaidi ajeweb.
Asharah mareh bhejeng lha, Nom?
Sharrib marenah, Cong. Ashar-Maghrib bheih mon lha malem enga’ reah.
Ooo … engghi pon, Nom.
Iyeh, Cong.*

Nom Junaidi bukanlah seorang metropolitan. Ia tak pernah tahu apa yang disebut dengan bioskop. Ia bilangnya hanya sebuah layar lebar selebar tembok rumahnya. Apalagi ditanya soal masker, saat ia pergi ke pasar mingguan, dirinya bertemu banyak orang memakai masker. Dibilangnya mirip seekor sapi peliharaannya.

Bagaimana tidak? Di rumahnya, seekor sapi menggunakan penutup mulut dari ayaman bambu sudah lumrah, sudah biasa hingga setiap pejalan kaki yang ia temui memakainya. Selalu saja hatinya bergumam, “Mak ngangghuy enga’ totopah tang sapeh kabbhi sateyah, reh?

Begitulah Nom Junaidi, seorang petani desa yang sangat kolot. Ia tahunya hanya sebuah cangkul dan sawah, ya begitulah kehidupannya.

***

Saya mengakui bahwa kekolotan orang desa seperti Nom Junaidi tak akan memiliki daya tanding intelek dengan orang metropolitan yang berpendidikan.

Apalagi masalah religi dan nasionalisme, keduanya merupakan hal yang tak perlu diseriuskan untuk bahan perundingan di tengah warung kopi pinggir jalan raya desa.

Pada akhirnya, perbincangan menghidangkan soal uang. Ya begitulah, lazimnya kondisi sebuah desa dibuat, tidak akan terlewatkan dari perbincangan ekonomi.

Melihat orang seperti Nom Junaidi, menjadi orang desa adalah menjadi seorang agamis di balik kedunguannya. Pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa orang-orang sepertinya berjiwa nasionalis pula.

Hanya saja, hal-hal demikian selalu terpinggirkan dalam perbincangan orang-orang metropolitan. Mereka memandang bahwa desa tetaplah orang seperti Nom Junaidi yang sejahtera dengan kedunguannya. Mereka menganggap agama dan nasionalisme orang desa masih belum seumur onggok jagung. Mereka selalu miris dipandang oleh kacamata orang metropolitan.

Kalau belum lulus jadi manusia, susah untuk jadi muslim,” kata Emha Ainun Najib.

Percakapan Madura di atas bagi saya kedengaran tidak begitu mengganjal. Bahkan, lebih terdengar akrab dan tak ada benak untuk menghadirkan kritik.

Percakapan tersebut seakrab darah dan daging saya. Menyatu. Saya hanya berpikir ulang bahwa paham tentang agama seperti Nom Junaidi tidak akan hilang orang sepertinya.

Secara lisan ke lisan dan tingkah ke tingkah bahwa di atas semuanya tetap saja kemanusiaan yang dihadirkan. Orang sepertinya bukan malah ditindas ataupun dikerdilkan sebagai seorang manusia yang dianggap tidak utuh.

Saya merasakan bahwa menjadi orang desa adalah metamorfosis yang sangat sulit bila diajarkan secara akademik. Bukan soal apa yang menjadikannya sulit hingga hanya orang-orang intelek metropolitan yang sanggup untuk menjalaninya.

Saya perhatikan bagaimana seorang menjadi pengajar tanpa mengharapkan imbalan. Sebegitu sulitnya, bahkan dibilang tak ada yang ingin mengalaminya. 

Bagi para pengajar di langgar desa, imbalan tak pernah menjadi iming-iming untuk tak mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Apalagi malam ke-21 di bulan puasa, di mana biasanya orang seperti Nom Junaidi berderma kepada sesamanya (tetangganya).

Orang sepertinya akan membagikan yang dimiliki sehingga lupa bahwa kemiskinan masih tersandang di pundaknya. Secara tidak sadar karena panggilan jiwa, miskin harta tak menjadi alasan bagaimana ia miskin jiwa. Jadi tak heran, kehidupan bertetangga di desa merupakan sebuah kehormatan.

Bagaimana seharusnya imbalan tak selalu menjadi tolok ukur dan kemiskinan tak menjadi alasan untuk tak berderma. Bukankah agama seperti Nom Junaidi lebih nyata dan lebih humanis?

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
-Ir. Soekarno

Hal yang tidak saya sadari hingga kini, sesudah tujuh puluh empat tahun kemerdekaan diproklamasikan, adalah bagaimana cara menghargai sebuah sejarah secara utuh. Selama tiga abad setengah, pribumi berada dalam cengkeraman kolonial. Selama itu pula, bentuk penjajahan adalah tanda bagaimana pribumi harus bangkit meretas kejumudan dan menjadi manusia yang bebas.

Bukankah pembuangan ke Boven Digul di Papua Barat pada 1927 merupakan tragedi kemanusiaan? Bagaimana seorang manusia diperlakukan selayak binatang. Di sisi lain, adanya kerja paksa atas pembuatan Jalan Raya Pos Daendels adalah bukti bagaimana seorang manusia sungguh tak lagi mengemban tugasnya sebagai manusia.

Perjuangan untuk membebaskan sebuah bangsa menjadi alasan bangsa ini merdeka. Rakyat yang rela berkorban menghargai sebuah darah dan tanah yang telah menjadi satu arwah semesta alam. Perjuangan dari setetes air mata yang sudah lama terbentuk menjadi lautan untuk menegakkan sebuah nama suatu bangsa.

Akan tetapi, apalah arti nasionalisme orang-orang desa seperti Nom Junaidi di sebuah bangsa yang diberi nama Indonesia hingga saat ini? Kutukan bahwa desa merupakan tempat bagi bersarangnya kebodohan. Tempat bagi suburnya kejumudan dan segala hal yang kumuh.

Mereka masih mengakui bahwa itulah yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Dalam sumpah serapah yang sakral metropolitan, sehingga temaramnya sebuah desa adalah sebab dari rapalan itu semua. Akhirnya, langgenglah sebuah desa dengan kebodohannya.

Mereka rasakan itu hal biasa dan juga mengamininya. Dengan kejumudannya, mereka berdalih, “Inilah budaya kami”, dengan kekumuhannya, mereka juga yakini. Selagi tiada bencana adalah tanda nenek moyang mereka masih menyayanginya.

Akan tetapi, kebodohan tetaplah kebodohan hingga bila dibiarkan hidup subur akan menuju kenihilan dalam hidup. Lantas, bagaimana ia menilai nasionalisme hingga saat ini? Sebuah keniscayaan untuk percaya karena orang-orang desa menggunakan sebuah uang logam untuk ngere’* nyeri otot badan sampai kutang pun merupakan tempat bagaimana sebuah uang tersimpan dengan aman sebagai sebuah wadah anti colong. Namun, hal tersebut adalah kenyataan, langkah terakhir dari pilihan mereka. 

Berobat ke dokter merupakan sebuah keniscayaan yang begitu besar hingga adanya sebuah bank, tempat penyimpanan uang yang lebih aman. Itu semua mencekik. Mereka harus menghabiskan jatah uang makannya selama tiga hari karena jarak yang jauh dan angkutan yang sulit.

Inilah Indonesia, anak dari semua bangsa. Negara dengan rakyat yang masih mengilhami desa untuk sejahtera dengan caranya sendiri. Sampai-sampai menghargai sebuah lambang ideologi negara, Garuda, di balik uang tersebut, sama sulitnya dengan menghargai sebuah rumah sakit dan bank untuk kehilangan jatah uang makannya selama tiga hari.

Namun, bagaimanapun juga peradaban menilai sebagai sebuah hal yang nihil. Suatu yang pantas bagaimana buku sejarah tak pernah sampai pada genggaman tangan atau kalau itu sudah ada padanya, cara membacanya adalah merupakan sebuah masalah.

Mereka tak pernah merasakan bagaimana jenjang pendidikan sekolah sehingga huruf baginya adalah suatu hal yang baru. Bahkan disampaikan lewat lisan pun, mereka tidak akan mengerti bila tidak dengan bahasa daerahnya sendiri.

Sampai akhirnya, ada bahasa persatuan, bahasa Indonesia, adalah cara politis yang masih gagal terealisasikan di desa. Sekalipun telah diumumkan oleh Sumpah Pemuda pada tanggal 2 Oktober 1928. Desa tetaplah dengan citranya, sebagai sarang kebodohan, tempat di mana kejumudan tumbuh subur dengan kekumuhan yang tidak bisa diidamkan. Ia akan indah seperti tanah surga, tetapi mengatakannya bukan surga adalah dusta bahwa kemanusiaan lebih hidup di sana.

Bukankah nasionalisme orang seperti Nom Junaidi lebih tinggi daripada mereka, orang metropolitan?

Saya menilai, keharmonisan sebuah agama dan nasionalisme bangsa ini, lebih terasa hidup di desa. Karena dengan orang-orang seperti Nom Junaidi, kemanusiaan tak pernah luput untuk selalu disandang dalam beragama dan berbangsa.

Keterangan:

Nom: Paman (bahasa Madura).

*: “Paman! Datang dari mana kok hampir malam gini?” sapa Slamet kepada Nom Junaidi yang lewat di depan rumahnya.
“Dari bajak sawah, Nak. Mau ditanami padi besoknya,” jawab Nom Junaidi.
“Sudah salat Asar, Paman?”
“Sharrib aja, Nak. Asar-Magrib sudah kepepet waktunya.”
“Ooo…iya, Paman.”
“Iya, Nak.”
*: Gosok badan untuk menghilangkan nyeri otot.

***
Faizis Sururi (16 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Ia berasal dari Kaduara Timur-Pragaan Sumenep, Madura. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: FAIZ_IS.S.