Filosofi Santri

Cerita Zaid Habibi

Pada suatu hari, Zaedun bertanya kepada Kang ‘Amer, santri senior di pondok.

Zaedun: “Kenapa Mbah Yai Musonif dalam kitab tasrif memberikan contoh pada bab 1 bina’ shohih-nya نصر kemudian bab 2 lafaznya ضرب dan seterusnya?”

Kang ‘Amer kemudian berpikir. Dia ingat dengan dawuh dari gurunya.

Kang ‘Amer: “Jadi begini Dun, Mbah Yai Musonif itu tidak asal-asalan memberikan contoh pada kitabnya. Beliau pun memasukkan unsur filosofi di dalamnya.”

Zaedun: “Filosofi? Memangnya filosofi tentang apa, Kang?”

Kang ‘Amer: “Tentang siapa itu santri. Filosofi dari santri.”

Zaedun kebingungan. Lalu meminta penjelasan lebih lanjut.

Zaedun: “Jelaskan saja, Kang, supaya  tidak bingung.”

Kang ‘Amer: “Oke, tapi ….”

Zaedun: “Tapi apa, Kang? Kok pakai tapi-tapi-an?”

Kang ‘Amer dengan senyum jahatnya berkata: “Wani Piro …?” 

Zaedun: “Surya sebatang wis, Kang.”

Kang ‘Amer: “Oke.  Jadi begini Dun, pada bab 1 lafaznya adalah نصر yang artinya menolong. Jadi para santri adalah orang-orang yang tertolong, tertolong dari apa? Banyak, misalnya pergaulan bebas, geng motor, obat-obatan terlarang, dan lain-lain. Paham, gak?”

Zaedun: “Ya jelas paham, Kang. Terus kalau pada bab 2 kok ضرب . Apa santri itu harus jadi tukang pukul? Seperti yang ada dalam Kitab Nahwu ضرب زيد عمرا.”

Kang ‘Amer: “Wahhh, ngajak ribut kamu, Dun? Ya jelas bukan jadi tukang pukul, lah.”

Zaedun: “Apa jadi korban pemukulannya, Kang? Kalau begitu aku gak mau jadi santri, Kang.”

Kang ‘Amer: “Sabar ya, biar aku jelaskan, jangan nyerocos saja. Jadi begini, di kehidupan santri, kita jangan takut atau sampai mengeluh. Ketika di sekolah, kita dipukul oleh pak ustaz, dalam artian pemukulan yang wajar. Karena apa?”

Zaedun: “Apa, Kang? Kalau aku sih sudah sering dipukul oleh pak guru. Alasannya karena gak bisa baca, gak bisa nasrif, juga gak bisa murodi.”

Kang ‘Amer: “Jawabannya adalah bina’ shohih-nya bab 3, yaitu فتح yang artinya buka.”

Zaedun: “Lah kok bisa, Kang? Apanya yang kebuka, Kang?”

Kang ‘Amer: “Ya bisa macam-macam. Misalnya, menjadikan kamu mau membuka lalaran tasrif, membuka kamus, membuka Kitab Syarah, atau hati kamu malah mendapat futuh (terbuka mata hati) dari Allah Swt.”

Zaedun: “Owalah, begitu ya, Kang. Iya sih memang benar. Siapa juga yang mau dipukul setiap hari.”

Kang ‘Amer: “Benar, kan? Kamu jadi mau belajar agar tidak dipukul setiap disuruh maju.”

Zaedun: “Semakin menarik, Kang. Terus-terus, Kang, masuk bab selanjutnya.”

Kang ‘Amer: “Untuk bab selanjutnya sebenarnya sudah dijelaskan tadi. Bab 4 bina’ shohih-nya adalah علم. Kamu jadi tau, kan, mana tasrif yang benar, cara menjelaskan yang jelas, murodi yang memahamkan.”

Zaedun hanya dapat berucap, “Ooohhhh,” saking kagumnya dengan penjelasan dari Kang ‘Amer. Lalu Kang ‘Amer bertanya kepada Zaedun.

Kang ‘Amer: “Dun, kalau bab 5 bina’ shohih-nya apa?”

Zaedun kemudian berpikir sejenak karena dia belum selesai menghafalkan tasrif.

Zaedun: “حسن Kang. Kalau kita bisa mengerti apa yang benar dalam masalah tasrif, murodi, dan cara menjelaskannya. Kita jadi baik ya, Kang? Baik karena sudah tidak dipukul lagi sama pak guru. Begitu ya maksudnya, Kang?”

Kang ‘Amer: “Yaps, tumben pinter kamu, Dun. Biasanya, kan, kamu telmi (telat mikir) gitu.”

Zaedun: “Wahhhh, jangan begitulah, Kang. Aku, kan, sudah mendapatkan sedikit secercah cahaya hikmah dari Kang ‘Amer.”

Kang ‘Amer: “Secercah cahaya hikmah? Apa aku sebaiknya menjadi psikolog saja, ya? Hehehehe.”

Zaedun: “Psikolog di dalam pondok, Kang. Murah, bayarannya cuma rokok satu batang plus minuman gelas. Wkwkwk.”

Kang ‘Amer: “Sudahlah, gak jadi kalau psikolog di dalam pondok. Oke kita lanjut ke bab terakhir, yaitu bab 6. Lafaznya adalah حسب، yang mempunyai arti menghitung.”

Zaedun: “Menghitung jumlah utang di pondok maksudnya, Kang? Kalau itu mah saya jelas hafal, Kang, kan ada catatannya.”

Kang ‘Amer: “Gundulmu. Ya jelas bukan menghitung utang, lah. Maksud dari menghitung itu adalah mengintrospeksi diri sendiri. Apa kita sudah layak untuk menjadi santri? Dapat dijadikan contoh di masyarakat, dapat menilai baik atau buruk perbuatan yang kita lakukan, apakah ada manfaat dan juga madhorot-nya? Pokoknya introspeksi diri sendiri.”

Zaedun: “Hehe. Jadi begitu ya, Kang. Terima kasih banyak ya, Kang, atas mutiara-mutiara hikmah yang telah Kang ‘Amer jelaskan.”

Selesai.

***

Zaid Habibi (21 tahun), santri PP AL Falah Kediri dan berasal dari Cigaru, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @guzhbodonk.