Gagak dan Pertobatan Ibrahim bin Adham

Cerita Naufal Kamaly

Siang hari itu, Ibrahim bin Adham putra seorang raja dari Khurasan, berteduh di bawah pohon setelah menempuh perjalanan jauh untuk berburu hewan. Namun, ketika sedang istirahat dan membuka kantong perbekalan, tiba-tiba seekor gagak datang menyambar sepotong rotinya. Ibrahim tidak tahu dari mana asalnya gagak itu.

Ibrahim terkejut dan penasaran. Lalu, ia melihat gagak itu yang sudah terbang tinggi. Ia bangkit dari tempat berteduh untuk kembali memacu kuda miliknya. Ia mengejar burung gagak yang telah mencuri sepotong rotinya. Ia membuntuti di belakang burung yang terbang sangat tinggi. Hingga akhirnya, si gagak terbang ke atas gunung dan membuat Ibrahim berhenti sejenak untuk berpikir mencari cara.

Semangat Ibrahim untuk menemukan burung gagak itu tetap tidak padam. Ia pun menyusuri gunung yang dilewati gagak tadi. Tidak menyerah, sekarang dari kejauhan ia kembali menemukan gagak tersebut.

Tatkala ia semakin mendekat, ternyata burung gagak itu terbang lagi menjauh. Namun, di tengah pengejarannya, ia melihat seorang laki-laki dari balik gunung sedang terkapar dengan kaki dan tangan terikat tali.

Ibrahim pun turun dari kudanya. Ia merasa iba melihat kondisi laki-laki itu yang tidak berdaya lagi. Ia lalu melepas tali yang mengikat tubuh laki-laki tersebut. Dengan penuh keheranan, Ibrahim bertanya tentang kondisi dan kisahnya sembari mencoba melupakan kejadian dengan gagak tadi.

“Aku adalah seorang pedagang kaya raya dari negeri jauh. Namun, saat perjalanan pulang ada para pembegal. Mereka menahan dan merampas semua harta milikku. Mereka sepakat untuk menyiksa, mengikat, dan melemparku ke tempat ini. Sekarang harta bendaku telah raib, hanya pakaian inilah yang aku miliki,” tutur laki-laki yang terikat dan terkapar tersebut.

“Namun, selama tujuh hari di tempat ini, burung itu setiap hari datang membawakan sepotong roti kemari. Si gagak tersebut bertengger di atas dadaku mengurai roti. Sekerat demi sekerat dengan menggunakan paruhnya dan memasukkan ke mulutku. Begitulah setiap hari laku burung gagak tersebut. Allah Swt. tidak pernah meninggalkanku kelaparan,” tandas laki-laki tersebut.

Ibrahim bin Adham terharu mendengar kisah dari laki-laki tersebut. Ia menangis tak henti-henti mendengar cerita laki-laki tersebut. Lalu, pulanglah Ibrahim dengan memacu kuda kesayangannya. Semua perbekalan diberikan pada seorang pedagang malang tersebut.

Sesampainya di rumah. Semua yang dimiliki ia tinggalkan, mulai dari tahta dicopot, hartanya diberikan kepada budaknya, setelah dimerdekakan terlebih dahulu.

Konon setelah itu, Ibrahim pergi ke Makkah hanya dengan sebilah tongkat. Berjalan kaki menyusuri gersangnya gurun, teriknya matahari, dan angin malam yang mengerikan. Itu semua dilalui tanpa perbekalan. Seakan pasrah dengan kuasa Tuhan.

Meskipun demikian, Ibrahim tidak lapar sama sekali. Bahkan sampai di Makkah. Ia tak henti-hentinya menangis, meratapi semua yang telah terjadi. Ia bersyukur kepada Allah Swt. dan terus memuji-Nya.

“Setiap perkara, Allah telah menentukan kadarnya,” penggalan surat at-Talaq itulah yang dibaca berulang kali oleh Ibrahim putra Adham.

***
Naufal Kamaly (18 tahun), santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo, Jawa Timur. Ia berasal dari Curah User, Sumber Anyar, Wongsorejo, Banyuwangi. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dan Instagram dengan nama: naufal kamaly atau Twitter dengan nama: @upankz1/ NaufalKamaly.