Gandulan Brekat #1

Gandulan Brekat: Seribu Hari Mbah Girin

Cerita M. Sholeh

Hari ini adalah tepat seribu harinya Mbah Girin. Layaknya sebuah tradisi, keluarga Mbah Girin mengadakan doa bersama. Keluarga, tetangga, dan seluruh masyarakat desa tentu mengingat betul beliau. Beliau adalah muazin di masjid yang khusus azan di hari malam Jumat.

Setiap malam Jumat, terutama di waktu magrib dan isya, Mbah Girin datang ke masjid. Selain azan, beliau selalu mengisi pujian-pujian dengan selawat untuk menunggu waktu ikamah. Suaranya dan syair yang dilantunkan sangat khas.

“Saben malem Jumat, ahli kubur tilik ngomah.”
‘Setiap malam Jumat, ahli kubur datang ke rumah.’

Dengan langgam Jawa yang bersuara lewat toa, Mbah Girin mengingatkan kepada seluruh masyarakat desa. Beliau mengingatkan tentang kematian. Tentang kepulangan. Tentang leluhur yang perlu dikirim doa, tentunya tentang tradisi menuju malam Jumat di desa ini, berkunjung ke makam.

***

Aku tidak mengira bahwa sudah lama. Sudah seribu hari Mbah Girin meninggal dunia. Sebagai teman anggota jamaah nariyahan, aku merasa kehilangan. Sampai saat ini, tidak ada pengganti beliau. Aku tidak tahu, dari pihak keluarganya tidak ada yang meneruskan.

Aku tidak ingin tahu lebih dalam, kenapa sampai tidak ada yang menggantikan Mbah Girin. Beliau merupakan anggota seangkatan Bapak. Tentu saja, jamaah nariyahan ini bisa dibayangkan, bahwa diisi oleh orang-orang tua dengan umur di atas 45 tahun.

Aku sendiri merupakan anggota baru. Sejak sepeninggalan Bapak, 20 tahun yang lalu, aku masuk menggantikan Bapak. Ya, secara turun-temurun, sistem keanggotaan di jamaah nariyahan adalah dari keluarga mereka, tentunya anak laki-lakinya.

Malam ini, aku merasa asing di antara tetangga desaku. Ketika acara doa bersama mengenang seribu harinya Mbah Girin, pikiranku melayang. Aku merasa cemas dengan masa depan. Entah aku berpikir tentang masa depan desa atau tentang anak-anakku.

Aku diingatkan dengan gandulan brekat. Sajian makanan di dalam besek yang dibawa pulang oleh warga setelah ikut acara mendoakan seribu harinya Mbah Girin. Aku merasa takut dengan kematian, tetapi aku lebih takut tentang penerus, anak-turunku.

Siapakah yang akan menggantikan diriku?

Lalu bagaimana kelak mereka hidup dengan keadaan desa ini?

Atau, setidaknya aku cemas.

Di mana mereka akan hidup selain di desa ini?

***

M. Sholeh, santri Pondok Pesantren Kaliopak.