Cerita Nuraini Syahrany
Saat aku memutuskan untuk menjadi santriwati–bukan siswi, begitu berat rasanya. Aku melepas masa SMA yang penuh cerita. Aku memilih keluar dari zona nyaman, hidup mandiri, dan jauh dari orang tua. Aku santriwati sudah bukan seorang siswi lagi.
Setahun kehidupan di SMA negeri harus aku lepaskan. Perasaan menyesal tentu saja ada. Aku harus mengikhlaskan rencana hidupku sebagai manusia awam 10 tahun kedepan.
***
Saat di pondok, aku mulai mendapat teman, lingkungan dan hari-hari penuh kejutan yang tak pernah terlintas di pikiranku. Kini aku menjalani hari-hari seperti santriwati pada umumnya. Tak mudah memang. Aku harus bangun pada jam di mana kebanyakan orang masih terlelap dalam mimpinya. Bergelayut dalam dinginnya angin malam untuk menaruh harapan demi harapan dalam doaku. Aku harus bertaruh dengan rasa kantuk yang menyerang di saat jam masuk kelas.
Jadwal kegiatan belajar dan progam tahfiz beruntun, kegiatan tarbiah, taklim bahkan pelajaran umum sudah menungguku. Itulah taruhan keputusanku.
Aku sesekali mengeluh pada Rabb-ku. Aku merasa lelah. Aku butuh istirahat. Pikiranku tak karuan.
Aku menjadi malas-malasan untuk menimba ilmu agama pada ustaz dan ustazah. Mereka senantiasa sabar dalam mendidik dan membangun akhlak kami. Namun, aku kembali sadar ketika melihat santriwati lain yang bersemangat serta bersungguh-sungguh mencari ilmu agama.
Terkadang, aku masih sering melihat ke belakang. Masa-masa di luar sana aku rindukan. Ah, rasanya aku ingin sekali kembali ke masa itu. Aku iri melihat teman-teman sebayaku di luar sana. Mereka bahagia menjalani hidup sebagai remaja. Namun, demi masa depan yang lebih baik lagi, aku berusaha bertahan.
Aku melihat ada secercah harapan berharga untuk orang tuaku. Ada balasan berlipat-lipat untuk perjuanganku. Ada surga yang sedang disiapkan, bahkan aku berada di antara orang-orang yang berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Sekarang aku sadar, betapa beruntungnya diriku berada di tengah-tengah mereka. Aku bersyukur sampai sekarang masih diberi teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri. Kami saudara tak sedarah, tetapi setidaknya kami saudara seiman, bahkan saudara dengan satu tujuan. Meski kami dari tempat, lingkungan yang berbeda, tetapi tujuan kami sama, yaitu mendapatkan gelar hafidzahallah.
Kami makan senampan. Kami saling bercerita sampai tengah malam meski entah apa yang kami ceritakan. Kami bergantian menginap di ranjang teman. Kami mengambil antrean mandi sama-sama, tetapi masih betah nongkrong di ranjang. Bahkan terkadang kami dihukum sama-sama karena pelanggaran lugho (bahasa).
Kini, gelarku santriwati, bukan siswi. Dan aku bangga menjadi santriwati.
Dan kuharap kisahku menjadi saksi bisu pengalaman berhargaku selama menjadi santriwati.
***
Nuraini Syahrany (16 tahun) merupakan santri Pps. Wihdatul Ummah Putri, Poso. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Nuraini syahrany atau Instagram dengan nama: @aiin.syahrany dan @its_juneeeee.