Cerita Taufiqurrahman
Cerita horor bukan hanya terjadi di daerah angker atau bangunan tua, tetapi sering terjadi di pesantren-pesantren baik modern atau salafi.
Namaku Teguh tepatnya Gusti Teguh Dermawan. Aku seorang santri yang mondok di pesantren Nurul Iman, Madura, Jawa Timur. Aku mondok di sini selama 5 tahun, dan selama mondok banyak pengalaman yang aku dapatkan begitu pula dengan cerita-ceritanya.
***
Waktu selesai dari musyawaroh, aku dan teman-temanku dilanda kelaparan. Kami sepakat membeli makanan di kantin pesantren. Setelah sampai di sana, makanan yang tersisa hanyalah mi instan. Terjadilah percakapan antara kami bertiga, yaitu aku, Maman, dan Agus.
“Maman, gimana nih? Hanya ada mi instan doang,” kataku kepada Maman.
“Yaudah, kita makan itu aja,” ujar Maman.
“Jangan makan mi instan deh, entar malam bisa mules,” timpal Agus.
“Kalau gak mau makan itu, terus mau makan apa?” kata Maman dengan nada agak tinggi.
“Emang mau perutmu hanya dimasukin permen, gak, kan?” sahutnya lagi.
“Yaudah pesan mi aja daripada mati kelaparan karena makan aja ribut,” sahutku.
“Asalkan baca bismillah insyaallah perut kita dijaga dari penyakit, yakin gitu aja deh,” sahutku lagi supaya menenangkan mereka yang mulai ribut.
Akhirnya, kami setuju untuk makan mi instan dengan memesan dua porsi setiap orang kecuali Agus yang memesan satu porsi karena masih takut perutnya akan mulas tengah malam.
Setelah makan dan membayar tagihan, kami pulang kembali menuju asrama. Asrama kami terletak tak jauh dari kantin. Di antara keduanya, kami melewati satu bangunan lagi, yaitu kamar mandi.
Kamar mandi di pondok kami memang terkenal angker. Banyak cerita santri yang ketemu dengan makhluk-makhluk halus di sana. Di malam hari, banyak santri memilih buang air besar di luar kamar mandi karena takut masuk ke dalam. Masalahnya jika mereka buang air besar di luar maka akan menyebabkan bau tak sedap di sekitar itu.
“Eh, kalau nanti ada yang mules tengah malam siap-siap bangunan itu akan menyambut kalian,” kata Maman mengagetkan ketika kami melamun melirik bangunan itu. Kami melewati kamar mandi sambil melirik bangunan itu dari jauh.
“Kalian yang makan sampai dua porsi yang harus hati-hati. Aku hanya makan satu porsi jadi gak bakalan ke situ,” kata Agus.
“Udah-udah, ayo cepat ke asrama. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya istirahat. Nanti tahajud gak bangun,” sahutku untuk menghentikan perdebatan mereka. Kami menuju asrama masing-masing, Agus dan aku satu asrama sedangkan Maman bersebelahan dengan asrama kami.
Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika aku melirik jam dinding di asrama. Satu jam lagi, pengurus akan membangunkan santri untuk salat Tahajud. Aku terbangun ketika perutku terasa mulas dan sudah tidak bisa ditahan lagi.
Aku mencoba untuk membangunkan Agus untuk menemaniku ke kamar mandi, tetapi dia sulit sekali dibangunkan. Bisa sampai setengah jam untuk membangunkan dia sedangkan perutku sudah tidak bisa ditahan lagi.
Aku memutuskan untuk berangkat sendiri ke kamar mandi. Sebenarnya, kamar mandi itu tidak seseram yang kalian pikirkan. Untuk penerangannya, baik yang di dalam dan di luar kamar mandi semuanya normal.
Cerita-cerita santri yang sering diganggu oleh makhluk halus membuat aku berdiri kaku sesaat karena takut memasukinya. Maklumlah, kamar mandi ini sudah berusia tua sekali, seusia dengan pondok pesantren ini, yaitu seratus tahun.
“Kalau aku buang air besar di luar mungkin gak apa-apa yah, kan, gak ada yang lihat,” gumamku dalam hati sambil lirik kanan kiri.
“Toh bukan aku saja yang buang air besar di luar, banyak juga santri yang begitu,” gumamku kembali untuk meyakinkan perbuatanku.
Sebelum aku duduk, terdengar seperti sebuah siraman air di dalam kamar mandi. Aku pun terhenti sejenak dan berpikir,
“Oh … ada orang di dalam, mungkin dia lagi hadus (mandi besar) kalau begitu aku tidak sendiri, ya udah aku masuk,” benakku berkata.
Seketika itu, aku langsung masuk dan duduk di salah satu kamar mandi paling depan karena tidak kuat menahan gejala lambung. Aku pun diam sejenak menenangkan pikiran dari halusinasi horor yang ada agar proses buang air besarku lancar.
Setelah selesai, aku lupa bahwa tidak membawa gayung waktu datang ke kamar mandi. Aku bingung caranya membersihkan kotoran. Aku teringat seseorang yang satu kamar mandi denganku, tetapi kami terhalang pembatas dinding setinggi kepala.
Aku kira tadi dia sedang mandi maka aku mengecek keberadaannya dengan memanggilnya.
“Hei, Bro … Boleh minjem gayungnya, gak?” teriakku.
Selang beberapa menit karena tidak ada respons, aku mulai merinding dengan membayangka hal-hal horor.
“Apa mungkin dari tadi aku sendirian di sini?” gumamku dalam hati.
Tak lama kemudian, dia menyodorkan gayung kepadaku melewati celah di atas pembatas kamar mandi antara kami. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil gayung tersebut dan menyirami kotoranku sampai bersih.
Setelah selesai, langsung aku panggil lagi dia,
“Bro …. nih gayungnya, terima kasih, yahh …,” sambil menjulurkan gayung tersebut ke sebelah kamar mandi lewat celah pembatas.
Seketika gayung tersebut langsung diambil olehnya tanpa ada kata sekalipun darinya. Aku melangkah ingin segera keluar, tetapi aku menahan diri karena rasa penasaran terhadap orang yang ada di sebelahku. Tebersit pikiran kotor untuk mengintipnya.
Bukan berniat jorok, melainkan aku ingin memastikan apakah dia temenku atau malah orang lain yang iseng ingin menakut-nakuti. Dengan niat baik, aku naik berpangku pada sisi jeding untuk bisa melihat ke kamar mandi sebelah melewati pembatas kamar mandi.
Perlahan jantungku berdetak dengan cepat seiring naiknya kepalaku ke atas. Saat itu, aku mulai merasa takut, takut kalau ternyata dia bukan manusia melainkan jin yang suka mengganggu para santri. Aku kumpulkan semua keberanianku untuk mengangkat satu kali kepalaku ke atas.
Setelah terlihat sosok tersebut, aku langsung lari kalang kabut.
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa …,” aku berteriak sangat panjang.
Sosok tersebut hanyalah sebuah tangan yang memegang gayung dan tidak tampak bagian tubuh lainnya. Sontak, aku langsung lari tanpa melihat keadaanku yang setengah telanjang karena sarungku hanya dilipat sekadarnya.
Aku terjatuh ke bawah dengan sarung melilit kakiku hingga aku tersungkur. Untung tidak ada santri yang bangun atau yang lewat di sekitarku. Aku langsung berdiri masuk ke asrama. Aku menutup diriku dengan sarung dan mencoba melupakan kejadian yang baru saja aku alami.
“Treet … Treett …,” bunyi alarm pondok pertanda jam menunjukkan tiga pagi. Waktu santri untuk segera bangun dan melaksanakan salat Tahajud. Aku segera bangun mengikuti teman-temanku menuju kamar mandi santri yang horor tadi.
Anehnya ketika bersama, kamar mandi yang menyeramkan terasa seperti kamar mandi biasa pada umumnya. Mungkin karena banyaknya santri yang memenuhi kamar mandi dan mereka bercanda tawa bersama.
Akhirnya aku pun mengambil langkah tutup mulut atas kejadian yang aku alami di kamar mandi. Namun dengan kejadian itu, aku mulai mencegah hal-hal yang dapat membuatku mulas di waktu tengah malam. Toh walaupun nantinya memang harus ke kamar mandi di malam hari, aku harus membawa seseorang untuk menemani dan menunggu di luar.
***
Taufiqurrahman (21 tahun) mahasiswa STAI Al Miftahdan dan pernah mondok di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyeppen Madura. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Ibnu Mafhudz atau Instagram dengan nama: @Tq_rahman.