Cerita Dyah Ayu Pitaloka
Suara jam beker terdengar nyaring sejak tadi, di ujung meja bak ingin bunuh diri. Suasana dingin di pagi ini membuatku tetap ingin tinggal di pulau kapukku. Rasanya berat sekali tuk mengangkat tubuhku tuk bergegas bangun.
“Astaga, sudah pukul 7 !”
Aku lupa kalau hari ini upacara HUT RI ke-75 di sekolahku. Teringat aku menjadi petugas nanti. Ah, ini sebab udara dingin yang menyelimuti tubuh, membuat tidurku terlalu nyaman.
Aku tinggalkan pulau kapuk dan segera mandi bersama air yang dingin menghantam tubuhku. Segera, aku ganti baju dan berangkat ke sekolah. Tak lama sejak keluar dari pintu rumah, sudah terdengar suara dan bau asap knalpot bus angkutan yang biasa mengantarku menuju sekolah.
Tepat pukul 07.10 kumenaiki bus angkutan menuju sekolah. Selama di dalam bus, jantungku terus berdegup sangat kencang. Aku teringat seorang satpam sekolahku yang sangat ganas bagi seorang murid yang datang terlambat.
Di dalam dudukku, kumencoba menenangkan diriku yang hanyut sebab seorang satpam yang terus menghantui pikiranku. Lalu di dalam ketenanganku, tak sengaja kumendengarkan dua orang wanita tua yang sedang ribut membicarakan tentang HUT RI ke-75 yang bertema Indonesia Maju.
“Halah Bu, Bu. Indonesia arep maju? Opo? Lha wong dewe wae mangan susah. Jal deloken kae pejabat-pejabat sing korupsi,” sambil menunjuk layar monitor yang ada di atas sebelah sopir.
“Sing iso ngrasakke majune Indonesia yo, ming pejabat-pejabat kui. Lah awake dewe dadi korban, ming iso pasrah.”
“Ho’o kui bener, koyo wingi kae obat vaksin Corona wae Indonesia ora iso gawe vaksine, kudu tuku! Padahal wis akeh korbane, nganti menghilangkan nyawa banyak orang.”
“Saiki wae ekonomi Indonesia gara-gara ana Corona dadi amburadul!”
“Duh Gusti, paringono sabar,” ucap kedua wanita tua tadi.
Lalu tak selang lama kemudian seseorang yang berdiri di dekat pintu bus menyahut, oh iya, dia seorang kondektur bus angkutanku,
“Haduh Bu, Bu, mbokya sabar, ini proses. Indonesia itu lagi merancang gimana caranya dengan HUT RI ke-75 ini, Indonesia jadi negara yang maju. Nah, kalau ibu-ibu pada ribut gini, bukannya malah buat solusi, usaha, dan dukung Indonesia biar maju, tapi malah tambah ruwet. Gimana Indonesia maju kalau rakyatnya gak bisa ngasih solusi dan dukungan? Mending diomongin langsung, Bu, pendapatnya. Dikumpulin bareng-bareng aspirasinya, disuarakan lalu didukung kebijakannya. Kita kerja sama, bukannya malah grundel-grundel.”
“Ealah dasar ibu-ibu,” gerutu sang kondektur.
“Hashh, kamu ini malah ngomongin orang tua, udah-udah, Bu, ayo kita turun saja. Enggak usah mbayar! Wong kita enggak nyaman naik bus ini,” sahut salah seorang wanita tua itu dengan raut marah.
Lalu kutak mendengarkan ocehan ribut-ribut itu lagi. Aku keluarkan HP dari saku dan menyalakan sambil aku tarik headset yang ada di saku tasku. Aku dengarkan lagu kesukaanku untuk memecahkan suasana tegang yang kurasakan sejak tadi.
Tiba-tiba setelah HP-ku nyala, HP-ku bergetar dan berbunyi tak henti-henti. Ternyata, sejak dari tadi banyak panggilan tak terjawab dan notifikasi dari teman-temanku. Maklum, HP kumatikan dan silent karena aku lupa mengisi baterainya.
“Astaga sudah pukul 07.30, bentar lagi upacara akan dimulai, aku harus cepat-cepat sampai ke sekolah dan bilang ke sopirnya untuk lebih cepat jalannya,” batinku dengan penuh kepanikan.
Tepat pukul 07.50, aku sampai di sekolah. Dengan terburu-buru aku turun dari bus dan membayar ongkosnya. Aku segera masuk ke sekolah, terlihat pintu gerbang sekolahku belum ditutup. Aku segera berlari masuk ke sekolah dan beruntung upacara baru akan dimulai.
Mlangi, Sleman, Yogyakarta, 17 Agustus 2020.
Cerita pendek ini merupakan cerita pilihan dari Lomba Menulis Cerpen dan Puisi Siswa MA Nur Iman, Mlangi, Yogyakarta dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75.
***
Dyah Ayu Pitaloka adalah siswi kelas 11 IPS di MA Nur Iman, Mlangi Yogyakarta.