Harga Sebuah Karya Seni

Cerita Jasmiko 

Secangkir kopi panas menemani dirinya yang tengah melamun di sebuah angkringan terkenal, angkringan “Ojok Lali RekSurabaya. Dari dalam angkringan, terlihat jelas bagaimana kesibukan orang-orang di jalanan kota Surabaya ini. Meskipun sekarang malam hari, sepertinya kepentingan mereka benar-benar tidak bisa ditunda.

Faisal, adalah pelukis wajah terkenal di Kota Surabaya. Dia sedang menikmati kopi panas dalam cangkir di angkringan. Dia menggambar hanya menggunakan lima buah pensil dan satu penghapus. Gambarnya dengan teknik arsir dan berwarna hitam-putih. Namun, jangan menganggap gambarnya dia biasa, sebab pada setiap gambarnya akan terlihat hidup.

Matanya menuju luar ruang angkringan, mencari wajah yang akan dia gambar. Biasanya, inspirasi gambarnya akan muncul ketika dia malah tidak menduganya. Maka, sengaja dia mengedarkan pandangan pada arah yang belum dilihatnya.

Akan tetapi, sampai sepuluh kali, bahkan dua puluh kali mengedarkan pandangan, dia tidak menemukan inspirasi wajah yang membangunkan semangatnya.

Maka, dia mengangkat cangkirnya, meminum kopi yang sudah setengah dingin. Oh, dia adalah penikmat kopi hitam sejati. Katanya, jika minum kopi susu, atau kopi selain kopi hitam, perutnya langsung terasa mulas.

Selesai minum beberapa seruputan, dia menurunkan kembali cangkirnya. Saat itulah, detik itulah, matanya menangkap sebuah wajah yang langsung membuat semangatnya meningkat. Diraihnya satu pensil dari saku bajunya dan mulai menggambar wajah sekelebat itu.

Akan tetapi, nahas, wajahnya begitu rumit untuk dirumuskan. Wajahnya terlalu indah, untuk sekadar dijadikan gambar berwarna hitam putih kertas A4.

Sebenarnya hati Faisal sangat berkeinginan untuk menggambar wajah indah itu, tetapi bayangannya tertahan di situ, tidak dapat dia teruskan dalam kertasnya.

Takdir Tuhan memang indah. Ternyata, perempuan yang dilihat itu masuk bersama dengan temannya ke dalam angkringan. Mereka duduk di bangku klasik taman kota.

Sudah dikatakan tadi bahwa Faisal adalah salah satu penggambar hitam putih spesialis wajah. Dia terkenal sampai pelosok Surabaya. Banyak yang menunggu videonya di YouTube, tentang cara-cara dia menggambar wajah yang begitu hidup. Namun, itu semua bukan cita-citanya, dia tidak ingin menjadi terkenal sebenarnya meski Tuhan telah berlaku adil: mengenalkan orang yang tidak ingin terkenal.

Perempuan muda itu melihat Faisal dan mendekati kursinya tanpa sadar. Ketika, dia duduk tepat di depan Faisal, mereka sekarang berhadap-hadapan. Hanya tubuh teman perempuan itu pemisahnya.

Sebenarnya, perempuan muda ini ingin menyapa Faisal karena dia juga termasuk salah satu penggemar gambar Faisal. Dia sangat suka dengan gambar-gambar wajahnya. Namun, dia takut dan malu jika Faisal tidak ingin berbicara dengan dirinya.

Akhirnya, wanita itu memberanikan diri menghampiri Faisal pada kursinya.

“Mas Faisal, ya?” begitu katanya.

Faisal yang sebenarnya juga ingin menyapa, tetapi karena gengsi dia mengurungkan niatnya. Akhirnya, dia sendiri tertegun dengan sapaan datar perempuan muda itu.

“Iya, benar, saya Faisal Aji Nugroho,” jawabnya dengan menyebut nama lengkapnya.

Perempuan tersebut tersipu dengan senyumnya. Manis tanpa lesung di sana dan lengkap menyebutkan namanya.

“Perkenalkan nama saya Azizah, penggemarnya Mas Faisal,” kata perempuan tersebut dalam sekali tarikan napas saking gugupnya.

Faisal menyambut uluran tangan yang terasa dingin ditambah dengan seulas senyuman ramah perempuan itu.

“Baik, apa yang bisa saya bantu?” kata Faisal sekarang dengan percaya diri penuh.

“Oh tidak. Saya hanya ingin menyapa Mas saja. Nanti malah ngerepotin Mas Faisal,” katanya malu-malu.

Baiklah, ini memang seharusnya Faisal sebagai seorang laki-laki yang memulai jika perempuannya malu-malu.

“Bolehkah saya menggambar wajah Mbak Azizah?”

Azizah melongo tidak karuan. Dia tidak menyangka bahwa akan mendapatkan penawaran begitu berharga. Baru sekali bertemu dengan pelukis terkenal di Kota Surabaya, tetapi langsung mendapatkan tawaran menjadi model gambarnya.

“Boleh, jika Mas bersedia,” jawabnya dengan tetap tersenyum.

Berapa pun harga yang diberikan Faisal akan Azizah bayar karena dia telanjur suka dengan karya-karya gambar dari Faisal. Hanya saja, Azizah takut kalau-kalau uang pada dompetnya tidak memenuhi harga yang Faisal tawarkan.

“Hemm, boleh Mbak Azizah duduk pada kursi depan saya ini?”

Tanpa menjawab, Azizah langsung duduk pada kursi yang dimaksudkan Faisal. Azizah melihat teman perempuannya sejenak dan berkata, “Maaf, aku tinggal sebentar, ya.” Begitu kata dia pada temannya dan dia hanya tersenyum, tanda tidak keberatan.

Faisal mulai memainkan pensilnya pada kertas A4. Menggambarkan sebuah wajah yang sejak tadi membuat semangatnya kembali meningkat. Sekali-kali, dia menggesekkan penghapusnya pada kertas, tanda ada yang kurang tepat.

Matanya melihat pada wajah Azizah untuk mengepaskan gambar dengan wajah asli. Yang dilihatnya malah senyum-senyum tidak karuan, menambah manis wajah. Faisal menjadi bingung sendiri, kok wajahnya malah berubah-ubah. Inilah kesulitan dari menggambar model secara langsung.

Biasanya Faisal tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan satu wajah, sekitar lima belas menit. Sedangkan untuk melukis wajah Azizah ini, lima belas menit telah lewat dan belum selesai.

“Maaf Mbak Azizah, gunakan satu wajah saja. Jika senyum, senyum terus atau sebaliknya. Maaf, saya jadi kesulitan untuk menggambar wajah Mbak,” kata Faisal memberanikan diri untuk hasil yang maksimal nantinya.

“Iya, Mas Faisal, maaf. Habisnya senang sekali hari ini bisa bertemu Mas.” Tidak sengaja bibirnya mengucap kata itu dengan malu-malu.

Akhirnya setengah jam lewat, kopi sudah habis, tinggal bubuk yang berada paling bawah. Akhirnya dalam waktu 45 menit, Faisal berhasil menyempurnakan gambarnya. Cantik dan manis gambarnya, sesuai dengan orangnya.

“Nah, sudah selesai. Sekarang Mbak Azizah bisa tersenyum sepuasnya,” kata Faisal dengan senyum khasnya.

Lega rasanya hati Azizah, diluruskannya tangan dan kakinya. Bahkan, dia lupa bahwa dia sedang bersama satu teman wanitanya.

“Mbak, itu temannya suruh gabung sama kita saja,” kata Faisal kepada Azizah.

Dia segera menyadari kesalahannya dan memanggil temannya dari bangku itu.

“Mas, berapa harganya?” Azizah bertanya.

Dahi Faisal mengerut. Kenapa gadis itu menanyakan harga? Apakah dia harus menjual lukisan itu? Padahal awalnya Faisal berpikiran untuk membawa pulang gambar itu sebagai koleksi pribadi.

“Memangnya Mbak Azizah mau beli?” tanya balik Faisal.

“Iya, berapa pun harganya,” balasnya lagi.

“Satu juta,” kata Faisal tegas.

Azizah melongo beberapa saat. Kaget dengan harga yang begitu fantastis. Apakah benar gambar yang hanya menggunakan pensil lima jenis dan satu penghapus sampai dijual satu juta? Dia masih tidak percaya.

Akhirnya Azizah mengeluarkan uang seadanya dari dompet yang dia bawa, saking senangnya bertemu dan dilukis oleh Faisal.

Sayang, di sana hanya ada uang sekitar lima ratus ribu, ditambah dari saku baju lima belas ribu. Diberikannya oleh itu kepada Faisal.

“Mas, aku punyanya hanya segini.” Dia menunjukkan uang dengan jumlah berbeda dari harga yang ditawarkan Faisal.

Faisal tertawa dan berkata begini:

“Berarti Mbak tidak bisa membeli gambar saya.”

Sekejap, Azizah menoleh pada temannya, meminta bantuan.

“Sah, kamu bawa uang? Nanti aku kembaliin waktu sampai rumah,” begitu katanya.

Dengan segera Aisyah mengambil uang dari dalam dompet di dalam tasnya. Namun, sebelum uang itu menunjukkan wujudnya, cepat-cepat Faisal menuturkan sebuah kata.

“Tidak usah dibayar, tadi saya hanya bercanda. Saya rasa, gambar ini menjadi semakin mahal jika saya berikan kepada Mbak Azizah. Tidak semua karya seni bisa dinilai dengan uang, Mbak.”

Azizah meneteskan air mata bahagia. Dia tidak menyangka bahwa ketika Faisal menaruh harga tinggi, maksudnya adalah demikian.

Benar, tidak semua karya bisa dilabeli dengan harga. Bahkan, jika pelukis tidak berkenan, karya tidak akan pernah menjadi uang.

Seni adalah urusan rasa, jadi puas atau tidaknya seniman itu berbeda-beda. Ada yang menyalurkannya dengan harga sangat mahal. Ada yang menyalurkan kepuasan dengan murah. Bahkan, ada yang menyalurkan sebuah kepuasan dengan membakar lukisannya. Memang, seni adalah urusan rasa.

“Saya hanya minta satu dari Mbak, nomor handphone,” kata Faisal malu-malu.

Madiun, 16 Mei 2020

***

 

 

Jasmiko (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Hikmatul Muhajirin yang beralamat di Prambon, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: jasmikocahnganjuk.jasmiko/.