Hikayat Bahram, Seorang Majusi yang Mendapat Salam dari Nabi

Cerita Akhmad Faiz Mustangin

Diceritakan dalam kitab Qami’uṭ-Ṭughyān bahwa pada satu waktu Abdullah bin Mubarak tengah melaksanakan haji di tanah Makkah. Pada satu malam beliau tertidur di Hijr Isma’il. Beliau pun bermimpi bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad saw.

Dalam mimpi beliau, Nabi bersabda, “Ketika kau pulang ke Baghdad, datanglah ke sebuah kampung dan temuilah seorang majusi bernama Bahram. Ketika kau sudah bertemu, sampaikanlah salamku kepada orang majusi tersebut dan katakan kepadanya bahwa Allah Swt. meridainya.”

Abdullāh bin Mubārak pun terbangun dan merasa kaget. Setelah terbangun, beliau pun seketika membaca لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم . Beliau mengira bahwa mimpi tersebut adalah godaan dari setan. Abdullāh bin Mubārak kemudian berwudu, salat, dan melaksanakan tawaf.

Tak lama setelah itu, beliau kembali merasa ngantuk dan tertidur lagi. Dalam tidur beliau, mimpi itu terulang kembali sampai tiga kali. Beliau pun yakin bahwa mimpi tersebut merupakan isyārah dari Rasulullah, bukan merupakan godaan setan.

Setelah menyelesaikan ibadah haji, Abdullāh bin Mubārak pun bergegas pulang ke Baghdad dan mencari orang majusi yang bernama Bahram. Setelah melakukan pencarian selama beberapa waktu, Abdullāh bin Mubārak berhasil sampai di kampung yang diceritakan oleh  Nabi dalam mimpi. Beliau akhirnya bertemu dengan seseorang yang sudah tua umurnya.

Kemudian Abdullāh bin Mubārak bertanya, “Apakah Anda yang bernama Bahram?” Orang tua tersebut pun menjawab, “Iya, benar. Saya Bahram.” Abdullāh bin Mubārak kembali bertanya, “Apakah Anda punya amal baik di sisi Allah?” Bahram menjawab, “Iya, saya punya. Saya punya empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Saya menjodohkan empat anak perempuan dengan empat anak laki-laki saya.” Abdullāh bin Mubārak berkata, “Demikian adalah haram.”

“Apakah ada amal lain?” Lanjut Abdullāh bin Mubārak bertanya. “Iya, ada,” jawab Bahram. Ia kemudian melanjutkan, “Saya punya anak perempuan yang sangat cantik dan bahkan tidak ada satu lelaki pun yang pantas dan tepat untuk dirinya. Akhirnya anak tersebut saya jadikan istri saya sendiri. Acara pernikahan tersebut saya gelar besar-besaran. Saya undang seribu orang majusi pada waktu itu.” Abdullāh bin Mubārak kembali berkata, “Demikian adalah haram.”

Abdullāh bin Mubārak kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya, “Apakah ada amal lain?” Bahram menjawab, “Iya, masih ada lagi. Pada saat malam pertama saya dengan istri saya–yang tak lain adalah anak saya sendiri–ada seorang perempuan Islam masuk ke rumah saya. Ketika di dalam rumah ia menyalakan damar (lampu sederhana menggunakan api) dan mematikan damar tersebut ketika keluar dari rumah saya. Hal tersebut dilakukannya beberapa kali.

Kedatangan perempuan tersebut membuat saya curiga. Jangan-jangan orang tersebut adalah mata-mata dari pencuri. Saya pun kemudian mengikuti perempuan tersebut, hingga sampai pada sebuah gubuk kecil. Di dalamnya terdapat tiga putrinya yang masih kanak-kanak. Dan ketika perempuan tersebut masuk dalam gubuk, anak-anaknya pun menanyai perempuan tersebut.

Mereka bertanya kepada ibunya apakah ibunya mendapatkan makanan dan mereka berkata bahwa mereka sudah tak kuasa menahan lapar lagi. Seketika perempuan itu pun menangis dan berkata, ‘Ya Allah, aku malu ketika hendak meminta sesuatu kepada selain-Mu, ya Allah. Apalagi ketika aku harus meminta kepada Pak Bahram, yang agamanya majusi, sungguh sangat malu diri ini, ya Allah.’

Mendengar ucapan perempuan itu, saya tak kuasa. Seketika saya pulang dan mengambil berbagai makanan, kemudian saya antarkan sendiri ke gubuk perempuan itu.”

Sampai pada cerita tersebut, Abdullāh bin Mubārak pun berkata, “Yang demikian adalah hal yang baik, wahai, Pak Bahram. Dari kebaikan tersebut aku hendak sampaikan pesan dari Nabi Muhammad saw.” Kemudian Abdullāh bin Mubārak menceritakan mimpi beliau ketika sedang berhaji kepada Bahram. Ketika Bahram mendengar cerita tersebut, Bahram lalu bersyahadat dengan membaca: اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمد ا عبده ورسوله .

Setelah bersyahadat, Bahram pun seperti orang pingsan. Pada waktu itu pula Bahram mengembuskan napas terakhir. Dalam keadaan itu Bahram dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur dengan tata cara Islam. Demikian begitu utamanya sifat dermawan, sehingga kedermawanan seseorang mampu untuk menarik rahmat dari Allah Swt.

Wallāhu a’lam

***

(ed: Du)

Akhmad Faiz Mustangin adalah santri Pesantren Al Luqmaniyyah, Yogyakarta. Ia bisa dihubungi melalui Facebook (Faiz Mustangin) dan Instagram (@faizmustangin).