Hilangnya Anak Pendiam

Cerita Aufrida Azhari

Pagi ini, awan mendung menyelimuti desaku. Jalanan dan pepohonan pun masih terlihat basah bekas dari hujan semalam yang cukup deras. Memang bulan ini adalah awal dari musim hujan.

Ciporos, itulah nama desaku. Sebuah desa yang terletak di Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap. Desa ini termasuk desa yang cukup luas, dengan beragam latar belakang penduduknya sampai kisah-kisah yang ada di dalamnya.

***

Pada pukul 06.45, semua murid menunggu bel berbunyi di sekolah. Tapi tidak denganku, aku sedang menikmati hangatnya balutan selimut yang menempel pada tubuhku, dan tenggelam bersama mimpiku.

Ketika aku terlelap dalam tidur, aku merasakan ada yang membangunkan dari mimpi indahku. Saat aku membuka mata, ternyata ibuku sudah ada di hadapanku.

Lalu aku bertanya dengan nada malas, “Ada apa sih, Bu?Bukankah ini masih pagi?” Lalu, aku memalingkan pandanganku ke luar jendela dan langit pun masih terlihat gelap.

Lain hal dengan ibuku yang justru menatapku dengan pandangan kesal, lengannya dengan gesit mengambil jam beker yang berada di sebelah ranjangku. Lalu ia menunjukkan kepadaku seraya berkata, “Lihat! Sudah jam berapa ini? Anak yang lain sudah berangkat sekolah dari tadi, kamu malah masih ada di tempat tidur.”

Aku menatap jam beker yang dipegang oleh Ibu. Mataku membelalak ketika aku tahu bahwa jam sedang menunjukkan pukul 06.45. Segera aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas untuk berangkat sekolah. Aku tidak menghiraukan omelan ibuku karena akan memakan banyak waktu. Jika aku mendengarkannya, itu hanya membuatku semakin terlambat.

Waktu menunjukkan pukul 07.05 ketika aku sudah sampai di kelas. Aku duduk manis dengan napas terengah-engah. Jarak dari rumah ke sekolahku memang cukup dekat sehingga aku hanya perlu lima menit untuk sampai di sekolah.

Untung saja jam pelajaran pertama kosong karena gurunya sedang rapat sehingga aku tidak mendapatkan omelan dari guruku. Omelan ibuku pagi ini sudah membuat mood buruk apalagi jika ditambah dengan omelan dari guru. Aku merasa beruntung hari ini.

Bel tanda berakhirnya jam sekolah pun berbunyi. Aku keluar dari kelas dengan wajah kusut dan tidak semangat. Bagaimana tidak? Aku terlambat berangkat sekolah, lalu mendapat omelan dari Ibu. Bahkan aku lupa membawa buku tugas, sehingga guruku menyebut “pemalas”. Mood-ku hari ini sudah hancur.

Langit menumpahkan tangisnya, hujan lebat  turun disertai dengan angin kencang dan membuat beberapa pohon menari-nari. Hujan turun setelah aku sampai di rumah sehingga seragamku masih utuh, tidak basah sedikit pun.

Hujan membuat rencana kerja kelompok menjadi batal sehingga aku bingung akan melakukan apa karena hujan lebat membuat jadwal kegiatanku hari ini berkurang.

Kebosanan pun menghinggap, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak teman untuk bermain. Dia tetangga di sebelah rumahku. Dia seorang anak laki-laki dari seorang qayim sekaligus imam salat di salah satu masjid di desa.

Namanya Ujang. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Aa Ujang (yang dalam bahasa Sunda berarti kakak untuk laki-laki). Dia anak yang pintar dan juga sangat pendiam, selisih umurku dengannya sekitar dua tahun. Sekarang dia duduk di bangku kelas 5 SD.

Aku mengunjungi rumahnya, hanya halaman rumah menjadi pemisahnya. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Suara perempuan dari dalam rumah menjawab salamku. Tidak lama kemudian pintu terbuka, ternyata tadi ibunya yang menjawab salamku.

Kemudian aku bertanya kepada beliau, “Tante, apakah Aa Ujang ada di rumah?”
Tante menjawab, “Tidak ada, Nak. Selepas pulang sekolah dia minta izin untuk bermain sepak bola bersama teman-temannya,” jelas si Tante, mama dari Aa Ujang.

Aku pun menjawab dengan nada sedikit kecewa, “Yah … ya sudah, Tante. Tidak apa-apa, kalau begitu aku pamit pulang.”  Aku pun pergi setelah mencium tangannya dan memberi salam.

Aku menghabiskan waktuku dengan mengulang kembali pelajaran yang tadi aku pelajari di sekolah. Tak terasa waktu sudah sore, hujan lebat yang tadi mengguyur desa mulai reda.

Ketika azan Magrib berkumandang, hanya rintik gerimis yang tersisa dari hujan tadi siang. Ketika aku hendak berwudu di luar karena kamar mandiku terletak di luar rumah, aku melihat Aa Ujang berlari memasuki rumah dengan pakaian yang kotor dan basah kuyup.

Ketika dia sudah masuk ke rumahnya, aku mendengar dia dimarahi oleh orang tuanya karena terlambat pulang ke rumah. Dia membuat orang tuanya khawatir. Ketika ditanya, ia hanya diam dan menunduk. Orang tuanya pun jera karena akan dimarahi seperti apa pun juga, dia akan tetap diam. Akhirnya, orang tuanya pun memerintahkannya untuk segera mandi.

Kedua orang tua Aa Ujang bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Magrib berjemaah, begitu pula denganku. Selepas salat Magrib berjemaah, para jemaah pulang ke rumah masing-masing. Ada pula yang tadarus Al-Qur’an terlebih dahulu.

Saat hendak memasuki rumah, kedua orang tua Aa Ujang berjalan tergesa-gesa ke arahku dengan ekspresinya yang panik. Mereka bertanya, “Apakah kamu melihat Ujang? Dia tidak ada di rumah, di rumah tetangga-tetangga ataupun di rumah teman-temannya. Tolong bantu kami, kami tidak tahu harus mencarinya ke mana lagi.”

Aku melihat kesedihan dan kekhawatiran raut wajah mereka. Tangis yang tertahan agar tidak pecah di depanku, seketika aku pun ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Rasa khawatir itu masuk begitu saja ke dalam hatiku.

“Aku tidak tahu dia di mana, terakhir kali aku melihatnya ketika dia datang selepas bermain sepak bola. Tenang, Tante, aku akan bantu mencarinya,” jawabku yakin. Ada sedikit rasa bersalah karena aku tidak tahu keberadaan Aa Ujang.

Aku pun mulai mencari Aa Ujang dan meminta bantuan beberapa warga. Waktu terus bertambah, begitu pula warga yang mencari Aa Ujang semakin ramai. Beberapa dari mereka ialah bapak-bapak. Rasa persaudaraan di antara kami memang masih terjalin sangat erat. Gotong royong dan saling berbagi rasa suka dan duka adalah hal yang sudah biasa.

Mereka menyebar, mencari Aa Ujang ke setiap pelosok desa dengan membawa senter atau obor, ada pula yang membawa kentongan, wajan, ember, baskom, dan lain-lain yang kemudian dibunyikan yang bertujuan untuk memanggil kelong atau wewe gombel.

Menurut para warga, Aa Ujang diculik atau disembunyikan oleh kelong. Sedangkan anak yang sedang diculik atau disembunyikan tidak memiliki kesadaran, mereka seperti sedang terhipnosis. Maka dengan membuat suara gaduh mungkin akan membuat si anak tersadar.

Sampai pukul sepuluh malam, Aa Ujang masih saja belum ditemukan. Padahal seluruh warga sudah ikut serta membantu mencari Aa Ujang. Bahkan ada yang mencari sampai ke desa tetangga, tetapi hasilnya nihil. Hingga sampai pukul 23.00 WIB, penduduk masih sibuk mencari keberadaan Aa Ujang. Beberapa di antara mereka ada yang pulang terlebih dahulu karena kesibukan yang akan mereka hadapi besok pagi, tetapi masih banyak yang masih tetap mencari Aa Ujang.

Sekitar pukul 23.30 WIB, ada salah satu warga yang berteriak bahwa dia telah menemukan Aa Ujang. Seketika itu pula warga yang sedang mencari, menghampiri asal suara teriakan tadi. Ternyata benar Aa Ujang ada di sana. Dia sedang berjongkok dengan melamun di balik semak- semak yang ada di belakang rumahnya.

Sungguh aneh. Padahal warga desa sudah mengecek ke tempat itu lebih dari tiga kali, tapi tidak menemukan apa pun. Tapi syukurlah, tidak terjadi suatu apa pun padanya. Tidak ada luka pada tubuhnya. Setelah  itu, Aa Ujang diperintahkan untuk langsung istirahat di rumahnya. Tapi ada sesuatu yang aneh padanya. Pandangan matanya masih saja kosong. Setelah Aa Ujang ditemukan dengan kondisi raganya yang baik-baik saja, warga pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Kedua orang tua Aa Ujang sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih kepada warga desa karena telah membantu mereka mencari Aa Ujang. Kemudian, Ketua RW berpesan agar menjaga anak-anaknya di rumah. Apabila sudah masuk waktu sandekala atau menjelang magrib sebaiknya tetap di dalam rumah.

Setelah itu Ketua RW pun berpamitan kepada orang tua Aa Ujang, begitu pula dengan warga lain. Mereka pamit dan langsung menuju ke rumah masing-masing. Keesokan harinya saat aku dan orang lain bertanya bagaimana ia bisa diculik oleh kelong atau wewe gombel, ia pasti menjawab tidak tahu. Bahkan dari ekspresi wajahnya pun seperti tidak terjadi apa-apa semalam.

Begitulah keanehan yang terjadi di desaku dan masih banyak kisah-kisah mistis lainnya. Sebagian dari kami ada yang percaya karena mungkin pernah menyaksikan atau merasakannya secara langsung. Sebagian orang pun ada yang menganggapnya hanya dongeng belaka untuk menakut-nakuti anak kecil supaya patuh pada orang tuanya. Jadi bagaimana pendapatmu percaya atau tidak?

***

Aufrida Azhari merupakan santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Cigaru Majenang, Cilacap.