Cerita Saiful Anam
Pagi tadi, ketika ngaji Fathul Muin, Babah (panggilan akrab kepada Dr. K.H. Abdul Ghofur Maimoen) menceritakan tentang seorang ulama bernama Imam Qaffal—sang pembuat gembok.
Imam Qaffal dikutip dua kali saat membahas macam-macam najis, yaitu Qay’ al-maidah dan mayyitah. Imam Qaffal tidak menganggap bahwa Qai’ al-maidah (muntahan) dan mayyitah (bangkai) sebagai najis. Uniknya, sebelum menyebut Imam Qaffal terdapat redaksi khilafan—lengkapnya khilafan li al-Qaffal. Babah mengatakan bahwa al-Qaffal artinya ‘ulama yang alim’.
Dalam ceritanya, Babah menjelaskan bahwa Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam al-Nubala’ meletakkan Imam Qaffal sebagai entri dalam mendalami kehidupan beliau. Al-Qaffal dalam arti sebenarnya adalah ahli pembuatan gembok dan kunci. Nisbah ini melekat pada diri beliau karena profesi beliau memang membuat gembok dan kunci. Beliau terkenal sebagai ahlinya.
***
Pada suatu hari, Al-Qaffal membuat gembok super kecil. Beliau membuat di bawah ukuran 1 daniq, tetapi karyanya tidak terkenal seperti pembuat gembok sebelumnya yang membuat gembok seberat 1 daniq.
Sahabat karibnya lalu memberi nasihat kepadanya: “Jika ingin dikenang sepanjang masa maka lakukan itu dengan ilmu. Jangan dengan mencipta gembok!”
Rupanya nasihat karibnya ini mengena di hatinya. Lalu, beliau berpikir tentang dirinya yang “hanya” sekadar pembuat gembok. “Otak saya sebetulnya sangat cemerlang. Saya membuat gembok super kecil saja bisa. Jika kecerdasan dan waktu saya pergunakan dengan sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, pasti saya akan menjadi alim-ulama.”
Sebagai pembuat gembok, di telapak tangannya terdapat goresan-goresan bekas kerjanya. Sebelah matanya rabun akibat terlalu banyak membaca dan menulis.
Nama asli dari al-Qaffal ini adalah Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abdullah. Setelah terbuka hatinya untuk mendalami ilmu, al-Qaffal sering melontarkan ide-ide cemerlang dalam memajukan Mazhab Syafi’i. Pemikirannya mengalahkan ulama di zamannya karena pemikirannya sangat baru.
Dalam perjalanannya, ia belajar hingga menjadi pimpinan ulama Syafi’iyah Khurasan. Gurunya adalah Imam Abu Zaid al Marwazi. Ia wafat dalam umur 90 tahun pada tahun 417 H di Sijistan.
Lebih lanjut, Babah menjelaskan setelah Imam Syafi’i wafat tahun 204 H, murid-muridnya mulai menyebarkan fikih sang Imam ke pelbagai penjuru. Sejatinya, mereka tidak hanya sekadar menyebarkan, tetapi juga mengembangkan dan bahkan melakukan ijtihad-ijtihad yang mandiri.
Aktivitas penyebaran dan pengembangan ini melahirkan dua model, model Iraq dan model Khurasan. Model Iraq dipimpin oleh Abu Hamid al-Ashfirayini dan model Khurasan dipimpin oleh al-Qaffal al-Shaghir.
Kedua model tersebut telah melahirkan ulama-ulama besar dalam tradisi mazhab Syafi’i, hingga kemudian datang era Imam Rafi’i dan Imam Nawawi yang menyatukan kedua model tersebut.
***
Di ujung ceritanya, Babah menuturkan bahwa umur beliau saat memulai belajar telah berkepala tiga. Sebagian riwayat bahkan menyebutkan telah berkepala empat. Alasan umur sama sekali tidak menghalanginya untuk memulai belajar.
Cobalah kita melihat kembali ulama al-Qaffal. Beliau telah memberikan teladan yang sungguh indah: umur tidak menghalangi untuk menuntut ilmu dan tidak perlu malu berprofesi sebagai pembuat gembok.
*Tulisan ini pernah dimuat di blog pribadi penulis pada tanggal 10 April 2020 dengan judul “Imam Qaffal -sang pembuat gembok-“
***
Saiful Anam (21 tahun) santri Pondok Pesantren Al Anwar 3 dan berasal dari Temanggung. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: saifulanam857 atau lewat blog pribadi dengan alamat: https://anamtemanggung.blogspot.com/.