Janji Suci Seorang RT

Cerita Jasmiko

Desaku mungkin akan menjadi idola dunia seandainya ada yang memublikasikan. Namun sayang, hanya beberapa, bahkan tidak ada, yang menyambangi tanah kelahiranku ini. Entah mengapa mereka tidak tertarik, atau mungkin karena tidak ada gejolak partai politik?

Bicara tentang politik, aku ingat dengan RT desaku. Apakah RT juga jabatan politik? Aku tidak tahu. Ah, tetapi apa pentingnya jabatan jika tugas tidak dilakukan. Lebih baik tidak mempunyai jabatan, tetapi berguna untuk semua kalangan. Baiklah, kawan, aku akan menceritakan RT desaku kepada kalian.

Pak RT adalah sahabat dekat Bapak. Dahulu, hampir setiap hari bapakku dan Pak RT bincang-bincang ringan di depan rumah. Namun sekarang, mungkin mereka berdua mulai mendapatkan kesibukan yang lebih sehingga mengurangi jadwal bincang-bincang ringan.

Suatu malam, di teras rumahku …

“Kalau semua menanam porang, apakah nanti tidak turun harga?” kata  Pak RT pada bapakku, dan aku mendengarnya dari dalam rumah sambil rebahan.

“Halah, turun tidak turun yang penting laku dan masih untung,” jawab bapakku.

Perbincangan terhenti ketika Ibu keluar dari dalam rumah membawa tiga gelas kopi panas, dengan sebuah nampan kecil berwarna merah.

“Wah, mantap kopinya sudah datang. Jadi makin kentel olehe ngetuprus,” kata Pak RT pada ibuku yang ikut bergabung dengan mereka berdua.

“Jadi rencananya juga nanam porang, Pak RT?” tanya ibuku.

“Iya, tapi dia masih khawatir kalau nanti pas panen turun harga,” bapakku yang menjawab.

“Tidak mungkin, tidak mungkin porang turun harga,” komentar ibuku.

“Lho, lho, iya tidak mesti. Tadi pagi aku melihat berita katanya petani bawang putih menangis. Pas panen, malah turun harga,” bantah Pak RT lagi.

“Yang benar, Pak RT? Pasti ada sebabnya itu,” sahut ibuku dengan mata melebar.

“Iya. Pas panen pemerintah malam memasukkan bawang merah dari luar negeri. Jadinya, harga turun karena yang dari luar itu lebih murah.”

“Itu sudah wajar,” sahut bapakku yang tadinya diam.

Begitulah kawan, bincang-bincang yang sering Bapak lakukan dengan Pak RT, yang kadang-kadang Ibu juga ikut hadir. Semoga perbincangan mereka hanya sebuah halusinasi saja. Tidak mungkin pemerintah kita yang sebaik dan sebijak sekarang ini malah membunuh rakyatnya sendiri. Namun, kalau memang ada kenyataannya, wajar saja sebab mereka juga manusia, yang tidak berhati manusia.

Sebenarnya pebincangan masih berlanjut. Namun, aku tertidur dengan sendirinya. Sehingga, keesokan harinya aku bertanya kepada Bapak.

“Setengah dua belas,” jawabnya.

Ada satu cerita lagi yang akan aku ceritakan kepada kalian, kawan. Pak RT adalah orang tersibuk di desaku. Tidak ada yang melebihi dirinya, bahkan mungkin Pak Lurah.

Ketika ada orang lamaran, Pak RT mesti ditunjuk sebagai juru bicaranya, pemberi sambutan. Ketika ada orang yang membangun rumah, beliau yang memberikan barokah doa untuk pertama kalinya. Ketika ada acara nikahan, juga dia yang memberikan sambutan. Sampai, jika ada masalah antarwarga, Pak RT yang akan memberikan jalan tengahnya.

Setahuku, beliau tidak pernah disumpah seperti pejabat-pejabat bangsa ini. Disumpah dengan kitab suci, kalimat-kalimat suci, tetapi kebanyakan perbuatan malah menyimpang. Aku salut dan bangga dengan Pak RT, meskipun tidak mendapatkan imbalan dari warga, atau bahkan dari pemerintah, dia tetap tegar dan penuh ikhlas mengerjakan tugas yang mestinya bukan tugasnya. Pemimpin sejati.

Madiun, 29 Januari 2021

***

Jasmiko (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Hikmatul Muhajirin yang beralamat di Prambon, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: jasmikocahnganjuk.jasmiko/.