Cerita Fitri Uswatun Khasanah
Hari ini adalah hari kepulangan para santri Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin. Mereka pulang setelah satu tahun menimba ilmu agama di pondok pesantren yang berada di pelosok desa di Banjarnegara.
Salah satu santriwati tampak gelisah menunggu keluarganya datang menjemput. Namanya Shena Fadilah. Pasalnya, sudah banyak santri yang dijemput oleh orang tuanya. Shena takut karena keluarganya tidak kunjung datang menjemputnya.
Shena melambaikan tangan ketika ia melihat ibunya berjalan menuju asrama. Dengan segera, ia izin pulang ke pengurus dan menghampiri ibunya.
Shena memeluk ibunya begitu erat. Ia sangat rindu setelah satu tahun tidak bertemu. Mereka bergegas menuju parkiran mobil. Ayahnya telah menunggu di depan mobil. Ia berlari memeluknya dan merasakan kebahagiaan bisa memeluk kedua orang tuanya kembali. Bahkan ia menangis terisak di pelukan ayah dan ibunya.
Setelah menempuh perjalanan selama 8 jam dari Banjarnegara-Jakarta, akhirnya mereka sampai di rumah. Di depan rumah, Shena langsung disambut oleh kakak laki-lakinya dan adik perempuannya. Setelah itu, ia beranjak menuju kamar untuk istirahat. Ia tersenyum ketika masuk kamarnya. Setelah satu tahun ia tinggalkan, kamarnya tampak bersih dan masih sama.
Shena bergegas menghampiri laci meja dan mengambil handphone yang mati. Setelah mengaktifkan data seluler, berbagai notifikasi masuk ke handphone-nya. Ia membiarkan handphone-nya terus berdering. Selama menunggu, ia mandi dan tidur sebentar karena kepalanya sedikit pusing, mungkin masuk angin.
Setelah salat Isya, Shena kembali mengecek handphone-nya. Banyak sekali notifikasi apalagi di aplikasi WhatsApp. Shena langsung membuka aplikasi itu. Dika Ardani adalah nama yang dilihat pertama kali. Shena selalu menyebut namanya di sepertiga malam. Dika bukan pacar Shena, tetapi mereka berkomitmen untuk saling menjaga hati. Shena memang sengaja menyematkan namanya agar selalu berada di atas.
Shena mencoba mengirimkan pesan lalu tak lama kemudian Dika pun membalasnya.
Shena Fadilah :
“Assalamualaikum bagaimana kabarnya?
Aku sudah pulang.
Aku sangat merindukanmu.”
Dika Ardani :
“Waalaikumsalam.
Baik.
Oh, ya.”
Jawabanya memang singkat, tetapi Shena sudah tersenyum lebar. Ia kembali mengirimkan pesan, tetapi Dika sudah offline dan hanya centang dua abu-abu.
***
Besoknya Shena diajak jalan-jalan oleh Rendy (kakak laki-lakinya) ke mal. Shena sangat senang karena kakaknya yang lima tahun lebih tua itu mentraktirnya. Shena membeli baju gamis, kerudung, dan tas.
“Dik, makan yuk laper nih,” ajak Rendy.
“Ayo, Kak. Aku juga laper.”
Shena dan Rendy berjalan ke salah satu restoran.
Mereka tampak menikmati makanan sambil bercerita. Tak sengaja Shena melihat siluet seseorang yang ia kenal. Vallen, sahabatnya yang tengah duduk bersama seorang lelaki. Shena pun pamit ke kamar mandi untuk melihat lebih jelas.
“Vallen! Dika!” panggil Shena. Ia sangat kaget melihat sahabatnya ini berada di mal bersama Dika.
“Shena!” Vallen dan Dika juga sama terkejutnya dengan Shena.
“Kalian sedang apa di sini? Kenapa berdua?”
“Kami pacaran,” ucap Vallen sukses membuatnya melongo dengan mata yang memanas.
“Ma … maksudnya apa ini? Dika kamu sudah berjanji ke aku mau setia. Tapi apa ini?” kata Shena dengan suara bergetar menahan tangis.
“Itu dulu ketika kamu belum mondok. Sekarang aku sudah tidak punya perasaan apa pun ke kamu. Aku cuma sayang dan cinta ke Vallen,” ucapan Dika sangat menohok hati Shena.
Di pondok ia sangat bersemangat untuk pulang agar bisa bertemu dengan sahabat dan orang yang ia cintai. Kenyataannya ia malah mendapatkan sebuah pengkhianatan.
“Jarak dan waktu sudah memisahkan kita, Shen. Dulu dan sekarang sudah berbeda. Sifat kita sudah berbeda. Kita sudah tak lagi mempunyai impian yang sama dan tujuan yang searah. Kita sudah memilih jalan masing-masing,” kata Vallen.
“Tapi kita masih sahabatan, kan?” ucap Shena seraya mengusap air mata yang tiba-tiba saja turun.
“Maaf, tapi itu dulu. Dunia kita sudah berbeda, kita tak akan lagi bisa menjadi seorang sahabat. Dik, ayo kita pulang,” ucap Vallen lalu pergi bersama Dika meninggalkan Shena yang sudah menangis terisak.
Shena berlari keluar restoran dikuti Rendy. Rendy bertanya-tanya kenapa adiknya tiba-tiba ingin pulang dengan wajah yang sembab. Sampai di rumah, Shena langsung berlari menuju kamarnya. Ia menangis tersedu-sedu di sana. Ibunya pun bingung melihat itu, Rendy yang ditanya pun tak tahu apa-apa.
“Shena, sebenarnya kamu kenapa? Ada masalah? Cerita sama Ibu,” kata Ibu seraya mengusap bahu Shena lembut.
Shena langsung menghambur ke pelukan Ibu dengan erat ia kembali menangis. Hatinya begitu sakit dikhianati oleh sahabat dan orang yang dicintainya. Shena menceritakan semua kejadian tadi siang sambil sesenggukan.
“Shena, dengarkan Ibu. Ibu tahu Vallen itu sahabat kamu dari SMP, tapi jika dia tidak mengajak kami menuju kebaikan berarti dia bukan sahabat yang baik. Sahabat yang baik itu akan membawa sahabatnya menuju kebaikan bukan kesesatan. Sudah jangan menangis, Ibu yakin kamu akan mendapatkan sahabat yang lebih baik darinya.” Nasihat Ibu membuat Shena sedikit lega. Mungkin Ibu benar, Vallen bukan sahabat yang baik baginya.
“Untuk Dika, lupakan dia, ya. Ibu yakin akan ada seorang lelaki yang pantas untukmu. Seseorang yang setia dan bertanggung jawab kepadamu. Sekarang jangan pikirkan soal cinta, cobalah fokus dengan pendidikanmu. Belajar yang rajin dan menjadi wanita salihah.”
“Makasih ya, Bu.” Shena memeluk ibunya dengan erat. Sekarang hatinya sudah tenang dan tujuannya sekarang adalah fokus belajar di pondok.
***
Tak terasa sudah dua minggu Shena berada di rumah. Waktu terasa sangat singkat. Hari ini, Shena kembali berpisah dengan keluarganya. Rasanya memang berat, tetapi ini untuk masa depannya dan untuk akhiratnya kelak.
“Ibu, Ayah, Kak Rendy, Dek Syifa, aku pamit, ya,” ucap Shena ketika sudah sampai di depan asrama putri.
“Belajar yang rajin, jangan malas. Betah di pondok ya, Nak,” ucap Ibu seraya meneteskan air mata meskipun begitu senyumnya masih terpampang di wajahnya.
“Kalau nanti sangunya kurang, SMS lewat HP pengurus kirim ke Ayah,” ucap Ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Dik, inget jangan mikirin cinta-cintaan. Kamu ngaji dan belajar dulu yang pinter, ya,” ucap Rendy seraya mengusap kepala adiknya. Ia begitu sayang kepada Shena. Matanya kini terasa panas. Ia sedih harus kembali berpisah dengan Shena.
Syifa yang masih berusia empat tahun hanya diam, tetapi tak lama ia menangis meneriaki nama Shena. Ia juga sedih tidak bisa bermain dengan kakaknya lagi. Shena memeluk semua keluarganya. Ia tak bisa membendung tangisnya.
“Shena masuk, ya. Assalamualaikum,” kata Shena lalu masuk ke asrama. Ia tak berani menengok ke belakang, takut niatnya akan goyah melihat wajah sedih keluarganya.
Sampai di kamar ia melihat teman-temannya sedang berkumpul. Shena langsung disambut oleh pelukan mereka. Rasanya sangat senang bertemu teman santri lagi.
“Shena, pokoknya kamu harus coba makanan asli dari Sumatra, ini enak banget. Ayo makan bareng,” ucap Amel menarik Shena agar makan bersama. Shena pun dengan senang hati ikut bergabung.
“Oh ya, aku membelikan suvenir dari Bali nih buat kalian. Kalian tinggal pilih,” lata Gina seraya menumpahkan semua suvenir yang berada di tas.
Shena dan teman-teman yang lain langsung berebutan mengambil suvenir itu. Ia tersenyum menatap satu per satu teman sekamarnya.
Shena sadar, kini sahabatnya adalah teman pondoknya. Mereka mempunyai impian yang sama, tujuan yang searah dan berada di lingkungan sama. Memang benar, sahabat itu jika satu sedih yang lain ikut sedih. Jika satu bahagia yang lain akan ikut bahagia bersama dan kalau tidak bersama-sama berarti bukan sahabat.
***
(ed: ath)
Fitri Uswatun Khasanah (16 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin. Penulis adalah siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Purwanegara. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: @Fitri Uswatun atau Instagram dengan nama: @fitripit_uswatun.