Jebule Iku Kyaiku

Cerita Elma Nafi’atul Maulida

Pada suatu hari hiduplah seorang kiai yang sangat tawaduk dan bijaksana. Kiai tersebut terlihat sangat muda dan kurus sehingga tidak dapat dikenali sebagai seorang kiai. Banyak yang menganggap beliau sebagai seorang santri maupun abdi ndalem, padahal beliau merupakan seorang kiai besar.

Suatu ketika sedang ada penerimaan santri baru di pesantren, sebut saja Ucok namanya. Ucok adalah santri baru yang berasal dari Jakarta. Ucok baru pertama kali masuk ke pesantren, dengan mobilnya yang sangat mewah. 

Ucok datang dengan berlenggak-lenggok bersama kacamata hitam yang dipakainya, serta dua kopernya.

“Iiih, berat banget sih koper ini, koper apa batu! Emang gue mau ngungsi kali,” gumamnya. Kemudian ia dengan muka masamnya berjalan menuju pesantren sambil mondar-mandir mencari jalan yang enak untuk dilaluinya.

Di tengah perjalanan menuju pesantren, Ucok bertemu dengan seorang lelaki yang sangat ramah dan murah senyum.

“Eh, Kurus, bawain koper gue dong. Lo kan nganggur!” teriak Ucok.

“Boleh, Mas, sampean santri baru njeh?” jawabnya.

“Apaan si lo, sok akrab banget,” Ucok menimpalinya.

“Monggo, Mas, saya antar ke pesantren.”

Setelah barang-barang si Ucok dibawa ke pesantren, laki-laki tersebut mohon pamit. 

“Masnya langsung masuk saja, nanti diarahkan oleh pengurus.”

“Lo enggak bilang, gue juga udah tau.” Sambil membawa kopernya dan meninggalkan laki-laki tersebut.

***

Siang pun berganti malam, tibalah masa orientasi santri yang akan dilaksanakan sehabis salat jemaah Isya. Para santri baru sudah berkumpul di aula pesantren, begitu pun si Ucok yang sudah tak sabar menunggu kedatangan kiai pesantren.

“Bismillahirrahmanirrahim, acara masa orientasi santri baru akan segera dilaksanakan dan diisi oleh al-Mukarrom Romo Kiai, waktu dan tempat kami persilakan,” ucap pembawa acara. Selawat dan iringan hadroh mewarnai aula pesantren menyambut kedatangan kiai yang dita’dzimi oleh semua santri.

Kemudian didampingi oleh beberapa santri, kiai tersebut memasuki aula pesantren sembari memberikan senyum ciri khasnya.

“Hah? Itu kan bapak yang tadi siang bawa koper gue? Kok dia maju sih? Ngapain coba?” gumamnya dalam hati sambil bertanya-tanya siapa laki-laki tersebut.

“Eh, kiainya mana sih?” tanyanya kepada santri baru di sampingnya.

“Astaghfirullahal‘adzim itu yang di depan bapak kiainya,” jawab temannya.

“Hah?? Seriusan lo??? Itu??? Yang itu???” dengan terbelalak karena terkejut.

“Iya, Ucok ganteng, memangnya kenapa?”

“Ngalamat gue, tadi siang gue suruh kiainya buat bawain koper,” dengan nada terengah-engah Ucok berkata. 

“Astaghfirullahal‘adzim Ucok, insyaf cok, sadar! istighfar 100 kali, beliau kiaimu, Ucok,” jawabnya sembari tidak habis pikir.

“Astaghfirullahal‘adzim.” Sembari menyadari kesalahannya. Sejak saat itu, Ucok menyadari kesalahannya dan berusaha untuk ta’dzim kepada kiainya, dan berusaha untuk menghargai dan menghormati sesama.

***

Elma Nafi’atul Maulida ( 19 tahun), merupakan santri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dan berasal dari Purwokerto, Banyumas. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Elma Nafiatul Maulida atau email dengan nama: elmanafi04@gmail.com.