Kebanggaan Berawal dari Keterpaksaan

Cerita Husni Abdul Matin (14 tahun)

Hari yang panas, sepanas kepalaku tersengat terik matahari siang. Dalam pelajaran, nilaiku memang jelek, tetapi aku termasuk siswa berprestasi di bidang olahraga dan budaya. Apa boleh buat kenyataan bahwa semua kakakku lulus sekolah dengan nilai terbaik. Bapak dan Ibu juga seorang guru.

Berita tentang tidak diterimanya diriku di SMP negeri telah menjadi perhatian banyak orang. Nilai sekolah yang tidak memungkinkan untuk masuk ke sekolah negeri maka Bapak memutuskan memasukkan diriku ke pesantren. Pesantren itu lumayan jauh dari rumah.

Hari pertama di pesantren, aku lalui dengan sangat berat hati. Semua harus tertib. Satu kamar dipakai untuk beberapa orang. Setiap Senin dan Kamis harus puasa. Bangun lebih pagi dan segala pekerjaan rumah dilakukan oleh diriku sendiri.

Aku hanya pasrah dengan semua ini. Aku menganggap sebagai bentuk untuk menebus rasa bersalah terhadap Bapak. Di pesantren, aku belajar untuk berhijrah. Aku berpindah tempat belajar, tentu untuk masa depanku yang lebih baik.

Aku ingat ketika tes baca Quran, aku jawab dengan menunduk malu. Ya, aku tidak bisa membaca Quran. Ketika aku dites salat oleh pengurus, aku pun berkata tidak bisa. Malu sekali rasanya. Aku sungguh menyesal tidak menuruti bimbingan kakakku.

Aneh bukan, anak seorang guru tidak bisa mengaji. Kenyataan bahwa  Bapak dan Ibu adalah seorang aktivis organisasi dakwah, tetapi ada satu anaknya yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Mungkin kalian sudah bisa menebak bagaimana sifatku.

Di pesantren, ada salah satu kakak kelas mengajariku membaca Al-Qur’an dan belajar tentang agama. Panggil saja Kak Bimo. Awalnya, aku canggung sekali ketika harus diprivat oleh Kak Bimo.

“Kalo kamu benar-benar tidak bisa baca, tirukan saja, ya,” kata Kak Bimo sambil menatapku. Lalu, aku hanya membalas dengan anggukan.

“Baiklah dengar baik-baik, ’ammayatasaa aluun’ , coba!” perintahnya. Aku pun menirukan.

“Ulang terus sampai hafal, ya!” katanya sambil menepuk pundakku. Hingga satu surah An Naba, aku hafal.

Di balik itu semua, aku tidak tahu bentuk surahnya seperti apa. Kak Bimo terus mengajariku dengan metode seperti itu. Lalu, aku disuruh olehnya untuk murojaah dengan teman-teman yang lain.

Mereka membawa Al-Qur’an. Aku pun ikut membawa Al-Qur’an. Awalnya, aku pura-pura membaca di depan teman-teman, tetapi lama-kelamaan aku bisa mengenali setiap huruf di dalamnya.

Tidak terasa hari pemulangan santri telah tiba. Pertanda bahwa kami telah belajar selama satu bulan dan akan kembali setelah dua minggu di rumah. Bapak menjemput dengan mobil. Selama di perjalanan pulang, kami saling ngobrol satu sama lain.

Setelah sampai di rumah, aku melihat mata kakakku berkaca-kaca. Ia menyambut diriku dengan gaya tomboi khasnya. Ia terlihat sangat rindu kepadaku. Aku tahu, ia paling merasa kehilangan karena kami sering bermain bersama.

“Tau enggak, kemarin ketika Bapak membawa Kakak ke rumah sakit, Bapak mengisi nama Kakak pake namamu lhoSegitu kangennya Bapak sama kamu,” kata Kakak sambil bercerita.

“Eh besok kamu ngaji di acara RT ya …  Coba dong ngaji di sini. Bagaimana kok akhirnya kamu bisa baca Quran?” tanyanya terheran-heran.

Bapak memang menyuruhku untuk mengaji di acara RT. Kata beliau untuk membuktikan pandangan miring tentang anak pesantren kolot itu salah. Bapak sudah mendengar rekamanku mengaji dari Kak Bimo. Bapak yakin bahwa penampilanku akan memikat hati para orang tua supaya menyekolahkan anaknya di pesantren.

Benar saja, aku masih ingat bagaimana ekspresi kakakku ketika mendengarkan diriku mengaji. Ia tak kuasa menahan air mata yang keluar. Aku pun menjadi buah bibir warga dengan julukan ‘calon ustaz’.

Tak hanya itu, aku dengar bahwa pamanku mulai tertarik dengan pesantren. Beliau berniat ingin menyekolahkan anaknya di pesantren. Aku tak tau bagaimana ini semua bisa terjadi. Berawal dari keterpaksaan, ternyata berbuah indah.

Aku menyadari bahwa apa yang aku anggap baik untuk diri sendiri, belum tentu baik di mata Allah. Janganlah terlalu sedih menerima sebuah kenyataan karena kita enggak tau, mungkin Allah punya rencana indah di balik kesedihan itu. 


***
Namaku Husni Abdul Matin (14 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Asy Syifa’ Muhammadiyah Bantul. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @husni_abdl.