Kedaulatan Pangan

Esai  Hebba Mohammad Alhan

Di pagi hari, tepatnya hari Minggu, aku dan keluargaku melakukan kerja bakti di halaman rumah. Berhubung halaman rumah kami gersang dan kekurangan tanaman hijau, kami melakukan penghijauan di halaman itu.

Sebelum kerja bakti, kami sarapan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga agar kuat ketika kerja bakti nanti. Kami sarapan dengan lauk udang dan sayur kangkung yang rasanya enak dan lezat. Tentunya semua itu, ibuku yang memasaknya. Ia memang sangat andal jika sudah masuk ke dapur, urusan-urusan dapur.

Aku berganti baju dan menggunakan celana pendek. Aku kebagian mengumpulkan tanah dan memasukkannya ke dalam polybag—plastik berwarna hitam berfungsi semacam pot. Bapak kebagian tugas membawa polybag yang sudah berisi tanah itu ke halaman rumah. Ibu dan kakakku kebagian menanam benih dan bibit ke dalam polybag yang sudah ditata rapi di tepian halaman dan di depan teras rumah. Sudah ada 40 polybag yang ditanami berbagai tumbuhan.

Ibu dan kakakku terus bekerja tak henti, menanam strowberry, tomat, selada, kangkung, dan terong. Hampir semua yang kami tanam berjenis sayur-sayuran. Kata ibuku, menanam sayuran lebih banyak daripada buah-buahan, biar mencegah keluar rumah untuk membeli kebutuhan pokok, salah satunya, sayuran.

Menanam sayur-sayuran sendiri itu lebih aman. Sebab tanpa pestisida atau bahan kimia, hanya menggunakan pupuk kandang. Sekarang banyak orang berpikir ketika ingin membeli sayuran, “Ini sayur ada pestisidanya tidak, ya?” Mereka menjadi ragu untuk membeli sayuran di luar rumah. Kalau saja semua orang berpikir seperti ini, mereka menanam sayuran dan buah-buahan di halaman atau sekitar rumah, warga desa akan mampu mewujudkan kedaulatan pangan, tidak akan kelaparan saat terjadi kesulitan. Warga desa bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara swadaya.

Setelah selesai, aku dan keluargaku segera beres-beres dan merapikan peralatan untuk kerja bakti tadi.  Kami sekeluarga bersiap-siap salat berjemaah di masjid. Tenang saja, walaupun salat berjemaah, kami tetap berjaga jarak atau melakukan physical distancing. Contohnya, jika saf salat yang terisi penuh adalah saf 1 dan saf 3, kami akan mengambil 2 saf di belakangnya. Selalu begitu, seperti yang selalu dipesankan Bapak.

Makan siang akhir pekan ini terdiri dari berbagai makanan lezat, ada daging ayam dan sayur bayam. Semuanya sudah terhidang dan mengundang air liur di mulut, dan tak lama musik keroncong bermain di lambung besarku. “Eit, baca doa dulu, sebelum memulai makan, agar menjadi ibadah dan berkah.”
Aku sempat melirik melalui jendela. Kulihat tanaman-tanaman baru di polybag itu seperti tersenyum memberikan harapan. Angin siang itu menyapa daun-daun dari batang-batang mungil dan mengabarkan ke dunia tentang niatan keluargaku membangun kedaulatan pangan di desaku. ****

 



Hebba Mohammad Alhan, santri kelas 7 SMP Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Penulis berasal dari Secang, Sandon, Madyocondro, Magelang. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: lol_plukz.