Cerita Tazkia Kiromin Baroroh
Matahari terus berputar pada garis edarnya. Bumi berputar pada porosnya. Siang dan malam datang bergantian. Semuanya akan berubah karena hidup layaknya roda berputar.
Siang itu masjid di Pondok Pesantren Al-Huda tampak lenggang. Tidak seramai biasanya, saf jemaah juga tampak tak terpenuhi. Hari Ahad menjadi jadwal perizinan bagi para santri. Mereka keluar untuk membeli barang atau hanya sekadar jalan-jalan. Selain boleh untuk keluar dari pondok, santri juga bisa dijenguk oleh orang tuanya.
“Umi, Faiq ingin pindah Umi, tidak betah di sini aku Umi, huweeee,” rengek salah satu santri baru yang dijenguk kedua orang tuanya.
“Faiq, katanya ingin membahagiakan Umi sama Abi dengan menjadi hafiz. Faiq, kan, anak Umi yang terhebat. Di sini Faiq belajar dan menuntut ilmu. Faiq, menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat. Kalau Faiq pindah mau ke mana selain pondok pesantren. Faiq mau hafalan SD Faiq hilang, terus Faiq ikut pergaulan yang tidak benar. Faiq mau mengecewakan Umi?” Seorang ibu sedang menasihati dengan membelai rambut halus anaknya.
“Tidak, Umi,” Faiq menjawab. Ia memikirkan kata-kata uminya dan menatap bergantian wajah abi dan uminya.
“Faiq bisa betah, kok. Awalnya memang tidak mudah tapi bukankah kesuksesan tercipta jika kita keluar dari zona nyaman ke zona yang tidak nyaman. Faiq harus belajar dari itu.”
“Iya, Abi.”
Faiq tersenyum dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya mampu. Man jadda wa jadda. Faiq menyalami kedua orang tuanya.
“Abi, Umi, doakan Faiq, ya. Semoga Faiq dalam menuntut ilmu dimudahkan oleh Allah Swt. Faiq Insyaallah bisa, Umi, Abi. Faiq akan terus semangat. Bismillah.”
Umi dan abi Faiq tersenyum menatap anaknya.
“Semoga dimudahkan Allah, amin.”
***
Lalu, Faiq pergi ke gazebo pondok dekat kelas ketika umi dan abinya pulang meninggalkan dirinya. Di sana dia menemui Ridho, teman satu asramanya.
“Ridho, kamu tidak dijenguk?” tanya Faiq.
“Tidak, Faiq, ayah dan bundaku tidak bisa ke sini.”
“Oh begitu.”
Faiq berjalan menuju asramanya. Ia mengambil mushaf Al-Qur’annya lalu pergi ke masjid. Dia ingin menghafal serta murojaah dengan penuh kesabaran. Ayat-ayat dilantunkan dengan kesungguhan dan diulang-ulang sampai hafal.
“Ya Allah, aku benar-benar ingin menjadi bagian dari penjaga segala firman-Mu yang suci ini.”
Setiap hari Faiq menghafal serta me-murojaah hafalannya. Ke mana-mana Faiq selalu membawa Al-Qur’annya. Bagi Faiq Al-Qur’an adalah sahabatnya. Dia berharap semoga Al-Qur’an dapat memberi syafaat di akhirat kelak. Al-Qur’an bersampul biru pemberian uminya tak pernah lepas dari genggaman tangannya.
“Fa, hafalanmu sudah sampai mana?” Ridho bertanya pada Faiq.
“Alhamdulillah baru 5 juz.”
“Aku dapat informasi lo, Fa, kamu bisa ikut akselerasi tahfiz. Kamu lihat dulu saja informasinya di mading santri.”
“Wah, yang bener, Ridho? Jazakallah khair infonya.”
“Waiyyakum.”
Faiq bergegas pergi menuju mading santri dan melihat informasi yang tertera di sana. Alhamdulillah, dia mendapat peluang untuk membantu hafalannya melalui program akselerasi.
Dia harus segera mendaftarkan diri ke Ustaz Rahmat sebelum kuota pendaftaran ditutup esok hari. Faiq berniat akan menemui Ustaz Rahmat setelah kajian fikih nanti.
***
Kajian fikih telah selesai. Faiq langsung menuju ke Kantor Asatidz di Gedung Abdul Karem. Lumayan jauh sebenarnya, tetapi tidak masalah bagi Faiq. Setelah berjalan 10 menit, akhirnya dia sampai di depan kantor Ustaz Rahmat.
“Tok, tok, tok.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa ya antum ke sini?”
“Ustaz, saya mau mendaftar akselerasi tahfiz,” jawab Faiq dengan gugup.
“Silakan masuk. Saya mau menguji kamu dahulu.”
Faiq pun mengikuti rangkaian ujian masuk program akselerasi tahfiz. Faiq merasa kesulitan dan hatinya terus berdebar. Faiq lagi-lagi banyak kesalahan dalam menjawab pertanyaan dari Ustaz. Hafalan yang dihafal juga tidak selancar biasanya.
“Faiq, antum harus belajar lagi ya, Nak. Menghafal itu butuh keikhlasan dan kesabaran. Diniatkan hanya untuk Allah Swt. Jangan menghafal hanya ingin menjadi hafiz saja karena Allah itu yang menentukan siapa yang berhak untuk menjadi penjaga firman-Nya.
Oh iya Faiq, antum yang sering mengaji di masjid sendirian itu, kan?”
“Na’am, Ustaz.”
“Nah, Ustaz senang ada santri segigih kamu. Semoga dilancarkan lagi ya, Nak. Selamat, antum bisa mengikuti program akselerasi.”
Jawaban Ustaz mencetak senyum bahagia di wajah Faiq. Kabar ini adalah awal untuk melangkah lebih baik.
“Ya Allah, kuniatkan ini untuk-Mu.
Kujalani ini hanya karena-Mu.
Mudahkanlah setiap langkahku, amin,”
kata Faiq dalam hati sembari memantapkan langkah keluar dari Gedung Abdul Karem.
***
Tazkia Kiromin Baroroh (14 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al-Huda Wonogiri. Ia juga siswa kelas 8 SMP IT Al-Huda Wonogiri. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Tazkia Kiromin atau Instagram dengan nama: @tazkirn_.