Kematian

Esai Naufal Kamaly

Di zaman berbeda, disebutlah percakapan Nabi Idris dan Malaikat Izrail terekam dalam kitab Hilyatul Awliya’, karya Abu Nu’aim Al-Ashfahani.

Pada suatu waktu, Nabi Idris keluar rumah karena ada suatu keperluan. Sebelum berangkat, telah datang seseorang kepadanya. Dia sangat asing, Nabi Idris tak pernah melihat sebelumnya. Ternyata tamu itu adalah Izrail. Pemutus segala kenikmatan dan nyawa para insan.

Melihat kedatangan tamu malaikat, Nabi Idris tak ketakutan sama sekali, bahkan ia langsung menanyakan, “Apakah kedatanganmu menandakan ajalku sudah dekat dan semua milikku akan hilang?”

Nabi Idris menodong begitu. Seolah telah mengetahui maksud dan tujuan kehadiran Malaikat Izrail.

“Tidak, saya kemari hanya ingin silaturahmi saja,” jawab Malaikat Izrail.

“Baiklah jika begitu,” Nabi Idris mencoba merasa baik-baik saja.

“Tapi saya sekarang mau tahu seperti apa sakitnya mati itu. Cabutlah nyawaku dan mintalah kepada Allah Swt. agar aku hidup kembali setelahnya,” pinta Nabi Idris.

“Aku hanya mencabut nyawa seseorang yang telah diperintah oleh Allah Swt.,” jawab Malaikat Izrail dengan berat hati karena tak mau melanggar perintah-Nya.

Tak lama kemudian turunlah perintah Tuhan kepadanya untuk mencabut nyawa Idris a.s. Malaikat Izrail melaksanakan perintah dan hilanglah nyawa seorang Nabi Idris a.s.

Setelah itu malaikat menangis dan memohon kepada Allah Swt. agar mengizinkan nyawa Nabi Idris kembali lagi. Maka Tuhan pun mengabulkannya, Nabi Idris kembali kini seperti sediakala.

Malaikat Izrail bertanya, “Wahai saudaraku, apa yang kau rasakan dari kematian tadi?”

Nabi Idris tak mampu membendung kucuran air mata lagi. Ia tak kuat menahan peristiwa yang baru saja ditimpa. Bagi Nabi Idris, butuh waktu cukup lama untuk sadar kembali dan menjawab pertanyaan yang berkali-kali disodorkan dari tadi oleh Malaikat Izrail padanya.

“Sungguh sakitnya melebihi seribu kali kambing yang dikuliti hidup-hidup.” (Hilyatul Auliya’, red).

Cerita di atas seolah memberi gambaran bagi manusia bahwa hilangnya nyawa dengan segala cara tetap menyakitkan, baik direncanakan atau tidak.

Saat ini, ketika alam raya sedang dilanda wabah. Semua orang terkungkung dengan tetap di rumah saja demi menghentikan penyebaran sekaligus penularan virus Covid-19. Seolah saat ini kita hidup dalam keadaan ajal berbunyi di mana saja dan siap menjemput ajal kita.


***

Naufal Kamaly (18 tahun), santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo, Jawa Timur. Ia berasal dari Curah User, Sumber Anyar, Wongsorejo, Banyuwangi. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dan Instagram dengan nama: naufal kamaly atau Twitter dengan nama: @upankz1/ NaufalKamaly.