Keragaman Bahasa di Kehidupan Santri Sehari-hari

Esai Dina Mufida

Santri merupakan siswa yang tinggal di sebuah pesantren dalam kurun waktu tertentu. Mereka mencari ilmu mulai dari ilmu agama, bahasa, Al-Qur’an, bahkan ilmu umum. Santri pasti datang dari berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, pasti mereka mempunyai karakter dan tentunya bahasa yang berbeda satu sama lainnya. 

Perbedaan ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah kita dapat mengetahui bahasa dari daerah lain. Hal ini dapat membantu jika kita sedang berada di suatu tempat atau daerah yang masyarakatnya tidak paham bahasa Indonesia dengan baik. Selain itu, kita menjadi paham karakter orang karena dipengaruhi oleh daerahnya. Jika kita bisa memahami karakter orang, kita bisa tahu cara menyikapi orang tersebut.

Di samping itu, dampak negatif ialah sering terjadi kesalahpahaman yang berujung konflik. Sering kali, suara dengan nada tertentu membuat orang sakit hati. Padahal, kata yang diucapkan biasa saja. Hal ini disebabkan keberagaman dan karakter cara berbicara setiap daerah berbeda.

Contohnya, A berasal dari Batak. B berasal dari Jawa. Mereka santri baru dan belum saling kenal. Suatu ketika, A meminta tolong dengan dialek Batak yang terkenal dengan lantang dan keras. B menanggapinya itu tidak sopan karena menurut B, A sedang memerintah, bukan meminta tolong. B pun tidak memberi pertolongan. Lalu, A meninggikan intonasi bicaranya dan membuat B semakin sakit hati. Akhirnya, datang C untuk memberi pemahaman kepada mereka. Maka dari itu, konfik pun tidak terjadi.

Sebagai santri, kami memiliki berbagai istilah unik yang kami gunakan sehari-hari. Pertama bare, berasal dari bahasa Jawa yang berarti setelahnya. Kata ini digunakan untuk mengantre.

Jika ada bare, ada pula barter. Barter di sini bukan transaksi jual beli. Melainkan singkatan bar terakhir yang artinya antre terakhir. Kata ini digunakan untuk menanyakan siapa pengantre terakhir.

Selanjutnya kita beralih ke madrasah. Di madrasah, kami sering menggunakan kata mabal dan bagas. Mabal biasa dikenal dengan bolos kelas. Karena madrasah dan asrama hanya berjarak oleh gerbang, kami sering bolos jika tidak ada guru ataupun tugas. Tempat mabal favorit adalah asrama dan kantin.

Kata bagas di madrasah bukanlah nama orang, melainkan singkatan dari bali gasik yang berarti pulang awal. Hal ini merupakan kejadian langka yang kami nanti. Jika kata ghosob, bagi seluruh santri Indonesia tidak asing dengan istilah ini.

Ghosob artinya pengambilan barang tanpa izin. Barang yang sering diambil adalah sandal dan alat mandi. Ini merupakan hal yang sangat membuat kami (kalangan santri sendiri) merasa kesal.

Ragam bahasa adalah ciri dari para santri. Berbagai daerah dengan latar belakang bahasa saling bertemu di pesantren. Hal ini bukan menjadikan  perbedaan, melainkan menjadi tempat belajar toleransi, menghargai perbedaan dan yang pasti persatuan.  Perbedaan tidak selamanya menyebabkan konflik jika kita bisa menyikapinya. Sebagai santri, kita harus menerapkan Bhineka Tunggal Ika. Ayo Mondok! Gak Mondok Gak Keren!

***

Dina Mufida (17 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Ia juga siswa kelas 2 MA Sunan Pandanaran. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: mufidaaa.dinaa.