Mahkota Terakhir

Cerita Fitri Uswatun Khasanah

Hari ini adalah akhirusanah di pondokku. Aku duduk di serambi masjid sambil melihat teman-teman santri yang sedang menjemput kedua orang tuanya. Mereka membawa orang tuanya ke dalam aula. Aku hanya menatap sendu mereka. Kedua orang tuaku sudah meninggal saat usiaku empat tahun.

Bohong kalau aku tidak iri kepada mereka. Mereka masih mendapatkan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Kepalaku ingin dielus oleh Ayah dan tubuhku dipeluk erat oleh Ibu. Sekarang, umurku sudah 12 tahun. Tepat di usiaku yang ke-12 tahun, aku bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an-ku.

Aku mengusap air mata yang tiba-tiba saja turun ke pipi. Aku tidak boleh bersedih. Seharusnya aku senang karena bisa menghafal Al-Qur’an dan khatam. Aku yakin kedua orang tuaku di sana senang. Aku sudah memberikan mahkota surga ke mereka.

***

Acara dimulai. Alhamdulillah aku bisa dengan mudah menghafal semua ayat Al-Qur’an, tetapi setelah selesai aku bingung. Setelah selesai menghafal Al-Qur’an, teman-temanku membalikkan badan lalu memeluk kedua orang tuanya. Kedua orang tuaku sudah meninggal lalu aku harus bagaimana?

Ketika aku coba untuk membalikkan badan entah bagaimana aku dapat melihat kedua orang tuaku tengah tersenyum. Wajah mereka putih bersih bercahaya. Pakaian mereka putih bersinar dan di kepala mereka ada mahkota.

Aku berlari ke arah mereka dan berteriak.

“Umi! Abi!”
Teriakanku membuat semua orang mengejar diriku. Aku memberontak. Aku ingin menemui kedua orang tuaku. Kenapa semua orang menghalangiku?

“Umi! Abi!”
Aku sadar ternyata mereka hanya roh yang tidak berwujud. Sampai kapan pun aku tidak bisa mengejarnya. Aku menangis menjerit.  Semua orang berusaha menenangkan diriku, tetapi aku terus menangis. Hatiku terasa sangat sedih dan sakit.

Aku memberontak dan mencoba melepaskan genggaman tangan dari semua orang. Aku berlari menuju masjid dan bersujud di sana. Aku menangis sesenggukan dan semua orang melihat diriku dengan haru.

Dalam sujud, aku melihat kedua orang tuaku tengah memeluk tubuhku yang sedang bersujud. Mereka mengusap kepalaku lembut dan tersenyum hangat.

Badanku terasa menggigil dan bergetar hebat, tetapi aku tidak bisa bangun. Sayup-sayup aku mendengar ada yang berkata, “Baca syahadat, baca syahadat, baca syahadat.” Suara itu terus terngiang di telingaku.

“Ashaduala ilaha illaallah waashaduanna muhamada rohsulullah.”
Setelah kuucapkan itu dengan terbata-bata karena rasanya sesak di dada, semuanya terasa senyap. Tubuhku terasa melayang tanpa ada beban. Aku berusaha bangun dari sujudku.

Betapa terkejutnya diriku, aku melihat tubuhku sendiri yang tengah bersujud. Aku menangis. Kenapa dengan aku? Tidak lama semua orang mengerumuni tubuhku dan semua orang berkata, “Inna lillahi wa Innailaihi rojiun.” Aku menangis menjerit menyadari diriku sudah meninggal.

Dari sudut masjid, aku melihat kedua orang tuaku tersenyum hangat ke arahku. Aku berlari ke arah mereka dan memeluk keduanya. Lalu dalam sekejap, aku bersama kedua orang tuaku tenggelam dalam cahaya putih dari langit. Cahaya tersebut menghilangkan pandanganku dari orang-orang yang sedang menangisi jasadku.

Aku digandeng kedua orang tuaku memasuki sebuah tempat yang sangat indah. Mereka terus tersenyum dan rasanya wajah orang tuaku sangat muda. Mereka sangat cantik dan tampan. Pakaian mereka putih bersih dan ada mahkota yang sangat indah berada di kepalanya.

Aku sangat senang berada di sini di surganya Allah Swt. Ini semua berkat hafalan Al-Qur’an-ku. Kini aku bisa memetik buah dari perjuangku selama menghafal Al-Qur’an.

Terima kasih ya Allah engkau telah memberikan hamba nikmat sangat indah. Mempertemukan kedua orang tuaku di surga-Mu.

 

***

Fitri Uswatun Khasanah (16 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin. Penulis adalah siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Purwanegara. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: @Fitri Uswatun atau Instagram dengan nama: @fitripit_uswatun.