MARS

Cerita Jasmiko

Pagi tadi, entah bagaimana caranya, aku sudah sampai di tempat aneh ini. Tempat ini serba warna merah. Tempat ini terlihat gelap-gelap merah dan itu sangat menakutkan.

Aku berjalan serba tiada tujuan. Sebenarnya, satu tujuan yang jelas, yaitu mencari jalan pulang. Sedari tadi, aku berjalan sendiri. Di sini, tidak ada manusia lain selain diriku. Entah tempat apa ini, aku tidak tahu. Apakah bumi atau belahan galaksi lain?

Tiba-tiba aku terkagetkan oleh suara dari belakang, “Mun … tunggu aku!”

Sepertinya, mengenal suara itu. Itu adalah suara kakakku. Iya, benar. Dia adalah kakakku. Aku melihat wajahnya. Dia adalah saudaraku. Aku senang mendapat teman di dalam sini.

“Kamu mau ke mana? Ini, kan, tempat berbahaya?”

Benar, kan, ini tempat berbahaya? Ah, aku bingung juga takut. Sebelumnya, tempat seperti ini tidak pernah terbayang dalam pikiranku. Di sini semua serba merah. Tanahnya merah, pohon-pohon merah, burung jauh di atas sana juga merah.

“Memangnya ini tempat apa, Kak?” tanyaku pada dia yang kian dekat denganku.

“Ini Mars, Planet Mars. Kita sudah tidak di bumi lagi!”

Aku tidak percaya dengan jawaban kakakku.

“Bagaimana kita bisa sampai di sini?” Kebingunganku membuahkan pertanyaan.

“Entah, aku juga tidak tahu,” balasnya.

Aku dan kakakku, Nari, sama-sama tidak tahu. Kepada siapa lagi aku harus bertanya. Aku takut, jika ternyata alam yang aku jejaki sekarang adalah alam yang digambarkan oleh Tere Liye tentang klan matahari atau bahkan komet minor. Ah, rasanya mengerikan sekali.

***

“Kak, pulang saja!” ajakku pada Kakak Nari.

“Aku tidak tahu jalan pulang!” dia menjawab dengan wajah kasihan sekali.

Kami sama-sama berjalan ke depan, menuruni kecuraman yang tidak sebanding dengan kota kami. Di bumi, rasanya tidak securam ini turunannya. Kami harus berhati-hati, jika salah langkah, kami harus menanggung akibatnya.

Jauh di bawah sana, terlihat sungai berwarna merah. Airnya merah bagaikan lava gunung berapi. Entah kenapa, rasanya ada sebuah energi tarikan alam yang mengharuskan kami menurutinya.

“Hati-hati, Mun!”

Peluh mengalir dari balik kulit kepala, wajah, tangan, leher, dan perut. Semua itu mengalirkan keringat dingin pagi hari.

Oh, iya, sejak tadi aku tidak melihat matahari sama sekali. Aneh, akankah ini adalah ruangan tanpa matahari? Lalu benda apa selain matahari yang bisa menjadi petunjuk perjalanan kami?

“Kak, Kakak lihat itu!”

Aku menunjuk ke depan, ke arah sungai. Airnya mirip dengan lava gunung berapi. Bulu tubuhku dibuat merinding. Tidak hanya itu, aku melihat banyak ular sedang berenang dan minum di situ.

“Iya, lihat. Aneh sekali, dia tidak kepanasan. Padahal dia minum lava sungai itu,” kakakku menimpali.

Kami terus mengamati ular-ular itu sambil terus bergerak mendekati sungai. Aneh sekali, mereka tidak merasa kepanasan sama sekali. Merah di sini aku rasa tidak sama dengan merah di bumi. Merahnya beragam. Ada merah yang sejuk di mata, hangat, dingin, sampai yang panas.

Oh, jangan-jangan merah warna sungai itu adalah merah yang sejuk? Adakalanya iya, karena ular-ular itu tetap meminum airnya. Jembatan di depan sana merahnya terasa hangat.

Tempat aneh apa ini? Merah adalah warna menakutkan untuk bumi, tetapi tidak dengan tempat ini.  Iya, aku baru ingat bahwa kakakku tadi mengatakan bahwa tempat ini adalah Mars. Planet  ini mendapat julukan planet merah oleh ilmuwan bumi. Apakah ini buktinya?

Sepi sekali tempat ini, apakah tidak ada makhluk lain kecuali hewan dan tumbuhan? Manusia maksudku, apakah tidak ada di sini? Barangkali, memang tidak ada.

Tidak terasa kami telah berada di atas jembatan. Tiba-tiba, jembatan bergoyang hebat. Cepat-cepat aku berpegangan dan memberi aba-aba pada kakakku.

“Pegangan, Kak, gempa bumi!” Untungnya, getaran itu tidak sampai tiga menit sudah berhenti dan kami kembali berjalan.

Aku dan kakakku adalah dua wanita yang sama-sama berasal dari bumi manusia. Kami selalu kagum dengan keindahan, terlepas tempat dan suasana. Kalau sudah kagum, kami ingin mengabadikannya

“Kak, selfie dulu, jembatan indah ini jangan sampai lewat!”

“Bawa handphone?”

“Bawa, lah!”

Kami pun mengeluarkan gaya masing-masing. Pertama, bibir dimajukan. Lalu kedua, gaya kucing terlalu kenyang. Bibir kami terlihat bundar dan manyun.

Kini, kami bersiap meninggalkan jembatan bambu merah. Masih sepi, tidak ada manusia atau hewan. Namun, tiba-tiba jembatan ambles, mulai dari ujung sana.

“Lari …!” teriakku.

Alhamdulilah, kami selamat dan tidak masuk pada lautan lava. Untungnya, kami sempat berlari tanpa aba-aba. Lari begitu cepat membuat kami selamat. Namun, bahaya tidak berhenti sampai di sini. Masih banyak halangan yang harus kami lewati untuk sampai di bumi kembali.

Di depan sana, terlihat layar televisi sangat lebar, semacam bioskop.  Keanehan kembali, kami menemukan layar lebar ini dan tidak tahu milik siapa.

“Kak, ini kok layarnya lebar sekali?”

“Iya, Kakak juga baru kenal.”

“Kak, bagaimana kalau kita bawa pulang? Kan, nanti asyik kalau nonton drama Korea di rumah dengan layar selebar ini.”

“Ah, kamu masih ingat saja drama Korea. Padahal, kita pulang saja belum tentu bisa.”

Akhirnya kami berdua mengakhiri perdebatan dengan selfie bersama di depan layar.

“Kak, nanti kalau pulang langsung upload saja, ya!”

“Iya. Ini keren banget!”

“Ayo, lanjutkan perjalanan!”

“Bringgg … Brigggg … Bringgg ….”

Tiba-tiba layar di belakang kami menyala terang. Layar itu menayangkan video. Sepertinya, kami mengenali lokasi itu.

Keanehan kembali kami temukan. Ternyata suara dari layar tersebut juga berbahasa seperti asalku, yaitu bahasa Indonesia. Lalu, kami membaca teks yang tertulis bersama video.

“Selamat malam pemirsa, kembali lagi dengan saya dalam breaking malam. Kami akan mewartakan tentang perkembangan pemasukan Mars pekan ini. Kita mendapat kiriman 900 ton uang kertas warna merah, warna yang sangat identik dengan planet kita. Tafsir nilai uang tersebut lebih dari 100.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 rupiah, salah satu mata uang di bumi. Itulah sodaqoh rakyat Indonesia kepada Planet Mars yang belum mereka kenal. Sodaqoh yang sangat luar biasa dari salah satu wilayah bumi yang terkenal korup.”

Begitu selesai mendengar berita itu, rasanya hatiku sangat malu. Kenapa Indonesiaku harus terkenal dengan korupsinya? Tidak sanggup aku mendengarkan lebih jauh tentang negeriku.

Akhirnya aku berjalan mendekat menuju layar itu dan dengan segera aku memencet salah satu tombolnya untuk mengganti tayangan layar.

Anehnya, dari layar itu keluar ombak air raksasa, dingin, dan menakutkan. Sekali lagi aneh, gelombang itu mengenai tubuh kami berdua. Kami berdua hanya bisa menatap lemah dan pasrah.

“Tolong …,” teriak kami dengan sedikit menggoyangkan tangan untuk bertahan.

Air dari gelombang itu benar-benar mengenai kami berdua. Rasanya badanku sangat kedinginan dan aku kesulitan bernapas dalam guyuran air tersebut. Tiba-tiba aku melihat Ibu berdiri di sampingku dengan ember di tangannya.

“Sudah siang!” teriak ibuku.

Madiun, 12 April 2020

***

Jasmiko (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Hikmatul Muhajirin yang beralamat di Prambon, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: jasmikocahnganjuk.jasmiko/.