Mata Hafalan Qur’an-ku

Cerita Salsabila Sajidah

Perkenalkan, namaku Muhammad Hafidh Qur’ani. Aku adalah seorang anak yang dari keluarga tak mampu. Ibuku hanyalah seorang pedagang sate ayam keliling. Ia pergi berjualan usai melaksanakan salat Duha pada pukul 8 pagi. Ia berharap dengan pergi berjualan dapat membiayai sekolahku. Sementara ayahku sudah meninggal ketika aku dilahirkan.

Panggil saja aku Hafidh. Saat aku berusia 3 tahun aku mulai bertanya pada Ibu.

“Bu, mengapa dunia ini gelap? Apakah Ibu juga merasakan hal yang sama sepertiku? Apakah semua orang di dunia ini juga sama sepertiku? Terasa gelap saat melihat dunia.”

Isak tangis pelan-pelan terdengar di gendang telingaku.

“Tidak, Nak, percayalah pada Ibu. Suatu saat, ketika kamu sudah dewasa, kamu akan dapat melihat dunia indah ini. Percayalah, Nak.”
Aku tersenyum bahagia mendengar kata-kata Ibu.

“Lalu Bu, mengapa Ibu memberiku nama Hafidh Qur’ani. Apa artinya, Bu?”
“Namamu artinya orang yang menghafalkan Al-Qur’an, Nak. Ibu dan Ayah berharap agar nantinya kamu bisa menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.”

“Lalu Bu, bagaimana Hafidh bisa menghafalkannya? Sementara untuk melihat saja aku tak mampu.”

Pagi harinya, Lastri (ibuku) memecah celengannya. Ia berlari kecil keluar rumah dan seketika hilang tak terlihat entah akan ke mana.

“Hafidh, ini hadiah untukmu.”

“Apa ini, Bu?”

“Ini adalah alat bantu untuk menjadi penghafal Al-Qur’an. Mana tanganmu? Nanti kau dengarkan, yaa? Kau tinggal memencet tombol yang ini, engkau bisa merasakannya kan, Hafidh?” kata Ibu dengan mengajak tanganku meraba-raba alatnya.

Waktu terus berjalan, aku belajar dengan tekun dan teliti. Tanpa kusadari, membaca Al-Qur’an menjadi hobiku. Aku dapat menghafal kalam suci dalam jangka waktu 2 tahun.

***

“Sabar ya, Nak, meskipun dengan keadaanmu yang seperti ini, Ibu yakin kau dapat bersekolah. Ibu akan menyekolahkanmu di pesantren supaya kau bisa tetap berada di sisi Allah.”

Aku tersenyum bahagia mendengar kata-kata Ibu. Namun, saat di pesantren aku sedih. Tidak ada yang mau berteman denganku karena aku buta. Mereka memandangku rendah. Mereka mengolok-olokku, bahkan mereka menyebutku dengan sebutan si BUKIN yang artinya si Buta dan Miskin.

Aku hanya dapat menangis. Aku sadari mungkin ini adalah ujian dari Allah akan hafalan Al-Qur’an-ku. Ibu bilang ujian penghafal Al-Qur’an itu sangatlah berat. Ada yang orang tuanya meninggal ketika masih dalam proses menghafal, juga termasuk ujian pertemanan.

Di balik itu semua, hikmahnya juga sangatlah besar. Tidak apa-apa aku diolok-olok oleh temanku. Tidak masalah aku tak punya teman, yang lebih penting Pak Kiai tidak membenciku.

Jadwal kunjung pun tiba. Ibu mengunjungiku di pesantren untuk melepas rindu.

“Bagaimana keadaanmu, Hafidh? Apakah kau baik-baik saja? Ibu sangat merindukanmu?”

“Iya Bu, aku bahagia di sini. Teman-temanku membantu untuk menjadi mataku. Mereka menggandengku saat aku berjalan.”

“Alhamdulillah ya, Nak, memang mulia hati santri,” jawab Ibu dengan penuh syukur.

Aku terpaksa membohongi Ibu, aku tak ingin senyum beliau sirna.

“Ini Nak, Ibu bawakan semur jengkol kesukaanmu.”

“Terima kasih Bu, Ibu amatlah pengertian terhadapku.”

Aku mencium kening beliau dengan dengan penuh kasih dan berharap akan mendapat rida dari beliau. Setelah itu, aku makan bekal yang dibawakan Ibu.

Selesai makan, Ibu pamit tuk kembali ke rumah. Aku pun mengiyakan pamitan ibuku.

Ketika aku masuk ke kamar tiba-tiba,

“Eh, BUKIN habis sambang tuh, kroyok makanannya, yuk?” kata Rendra salah satu kakak kamarku.

“Yok-yok serbuuuuu,” balas Dani, anak buahnya.

“Siaaaaapppp,” sahut Dana, adik kelasku yang juga anak buah Rendra.

Dani yang berbadan gemuk mendorongku hingga jatuh. Rendra yang berbadan kekal memukuliku hingga mataku berdarah. Sementara Dana memegangiku dari belakang.

Aku hanya menangis dan membiarkan aksi keji itu terjadi pada diriku. Mereka melahap makananku. Dalam hati aku berkata, “Tanpa menghajarku pun, kalian akan kuberi makanan itu, tapi mengapa kalian menghajarku?”

Aku merenunginya di taman pesantren, lalu Pak Kiai pun menghampiriku. Beliau bertanya keadaan mataku yang berdarah dan memar. Aku hanya menjawab bahwa tadi jatuh tersungkur dari tangga. Aku tersenyum dan meraih tangannya, kemudian menciumnya dalam-dalam. Aku berharap rida beliau dan aku menangis ketika itu. Beliau memelukku dan di dalam pelukannya beliau berkata,

“Engkau akan menjadi seorang yang luhur nantinya. Istrimu adalah seorang wanita salihah nantinya, percayalah pada Yai.”

Aku menangis dan bertanya pada hati kecilku. Apakah ada wanita yang mau denganku yang buta ini? Bahkan untuk melihat wajahku saja aku tak bisa. Namun dalam hati, aku mengamini perkataan beliau.

Saat kejadian itu aku duduk di kelas 2 aliah. Aku telah mondok selama 5 tahun, 1 tahun kemudian aku lulus dengan nilai terbaik. Aku keluar dari pesantren dan mengajar di sebuah TPQ di daerah kampungku.

Ketika aku mengajar ada yang menelepon untukku. Tetanggaku memberi tahu bahwa Ibu sakit parah di rumah dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku bergegas pulang.

Melihat keadaan Ibu dengan demam tinggi dan sesak napas membuatku meneteskan air mata. Aku tak sanggup mendengarkan suaranya. Aku mengangkat tubuh beliau untuk aku bawa ke rumah sakit.

Dalam gendonganku, tubuh Ibu semakin lemas. Aku sadar, aku hanyalah keluarga miskin yang tak memiliki kendaraan. Oleh sebab itu, aku lebih memutuskan untuk menggendong ibuku.

***

“ikut saya, Hafidh.”

“Bagaimana Ibu saya, Dok?”

Dokter tak menjawab pertanyaanku. Ia menarikku ke sebuah ruangan. Aku bertanya-tanya, mengapa dokter ini dapat mengenalku, yaa? Aku ditidurkan dan dibius.

Ketika bangun, aku kaget dengan penglihatanku. Aku dapat melihat dunia. Aku melihat sinar matahari yang begitu cerah.

“Bagaimana? Sudah bisa melihat?”

Aku berteriak, “Ya Allah, dari mana mata ini?”

“Terima kasih, ya Allah. Engkau telah memberiku kesempatan untuk dapat melihat.” Aku menangis tak percaya, tetapi inilah pertolongan dari Allah. Aku menjabat tangan dokter itu.

“Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?”

“Mari kutunjukkan.”

“Ibu ….”

Aku membuka perlahan kain sewek yang ditutupkan di badan ibuku. Aku terisak melihat beliau yang tak lagi bernapas dan tak lagi memiliki bola mata. Bukan tangis sedih, tetapi tangis bahagia ketika melihat Ibu tersenyum dalam tidur panjangnya.

“Ini ada titipan dar ibumu.”

Sebuah bingkisan yang amat rapi diberikan oleh dokter. Sebuah surat dari Ibu. Aku membuka dengan pelan-pelan sebuah surat itu.

Teruntuk buah hati Ibu,
Nak, engkau adalah harta satu-satunya yang Ibu miliki. Engkau permata Ibu. Engkaulah yang selalu mampu membuat hati Ibu tenang karena senyummu.
Walau Ibu sadar, Ibu tak pernah dapat membahagiakanmu.

Inilah Nak, janji Ibu. Waktunya perkataan Ibu saat engkau masih berusia 3 tahun itu benar-benar menjadi kenyataan. Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk kau melihat indahnya dunia. Sudah saatnya engkau bahagia walau tanpa kehadiran Ibu sekalipun.

Ibu tak dapat melihat dengan mata barumu, tetapi hati kecil bahagia. Ibu mendoakan kau akan menjadi orang yang sukses.

Kau baik-baik ya, Hafidh. Maafkan Ibu tak dapat memberimu apa-apa, hanya mata itu satu-satunya kepunyaan Ibu yang paling berharga. Kebahagiaanmu lebih penting dari apa pun, Nak, senyummu lebih indah dari apa pun.

Ibu tak tega melihatmu menangis dihina teman-temanmu karena buta. Mengapa kau selalu menutupinya, Nak? Mengapa kau tak beritahu kepada Ibu? Mengapa kau tak pernah bercerita soal matamu yang berdarah dipukul teman-temanmu?

Ibu hanya tau dari buku tulismu, dari curhatan-curhatanmu. Ibu tak tega membacanya, oleh karena itu Ibu memutuskan untuk mendonorkan mata Ibu padamu. Ibu tak ingin engkau dibelenggu oleh kesengsaraan dan hinaan.

Jadilah Haffidhul Qur’an yang bertanggung jawab, Nak.
Ibu berharap semoga mata Ibu dapat menjadi hadiah yang paling engkau kenang, di ulang tahunmu yang ke-20 ini, Nak.

Maafkan Ibu, Ibu tak pernah memberi kado untukmu.
Hanya ini yang bisa Ibu beli dengan hasil celengan Ibu selama 4 tahun dan mata Ibu itu, Nak.
Engkau dapat memeluknya seperti katamu 16 tahun silam. Kau berkata waktu itu, “Andai saja aku dapat melihat Al-Qur’an, pasti aku akan memeluknya dan selalu membacanya setiap hari.”

Kau ingat itu, Hafidh? Kau selalu mengatakannya ketika engkau akan tidur bersama Ibu dahulu.

Ibu sayang kamu, Nak. Ibu mencintaimu.

Salam, ibumu.

Surat Ibu basah oleh air mataku. Aku menangis terharu atas pengorbanannya yang begitu besar.

***

Lima tahun kemudian dengan mengajar sebagai guru di sebuah TPQ, aku pelan-pelan dapat menabung. Aku mendirikan sebuah TPQ sebagai tempat anak-anak kecil menghafal Al-Qur’an.

Aku bahagia dengan segala rasa syukur teringat ucapan kiaiku kala itu. Akhirnya aku memutuskan untuk sowan ke ndalem-nya.

Di tengah perjalanan, aku mendapati tiga orang pemulung tengah memakan roti hasil pulungan. Aku merasa iba dan menghampiri mereka.

“Hafidh,” panggil tiga pemulung itu padaku.

Seketika mereka menunduk dan mencium kakiku. Aku terkejut dan berkata dalam hati, “Apa yang mereka lakukan?”

Aku mengangkat tubuh mereka dan berusaha meminta penjelasan. Ternyata mereka adalah Hendra, Dani, dan Dana. Mereka adalah teman pondokku yang dahulu pernah mem-bully-ku.

“Sudahlah. Kejadian itu telah lama aku maafkan. Aku akan ke rumah Pak Kiai, kalian ikut saja denganku,” jawabku dengan rasa iba dan mengajak mereka.

Saat di rumah Pak Kiai,

“Assalamualaikum.”

“Dokter, mengapa ada di sini? Apakah Pak Kiai sedang sakit sehingga memanggil dokter?”

“Tidak Hafidh, saya adalah kiai kamu.”

Aku tersenyum bahagia dan menunduk mencium tangan dan kakinya.

“Ternyata beliau adalah seorang dokter juga dan mengapa aku baru tahu sekarang,” tanyaku dalam hati.

”Sebentar lagi kau akan menjadi penerus pesantren ini, Nak.”

“Saya tidak pantas, Kiai.”

“Aku ingin kau menikahi putriku, Nayla. Aku ingin kau menjadi imam baginya.”

“Aku hanya tersenyum mengingat Nayla, anak Pak Kiai yang katanya sangat cantik dan kalem.”

***

Akad pun dimulai hari itu dengan mengundang penghulu hari itu juga. Aku mengucapnya dengan lantang menggunakan bahasa Arab,

“قبلت نكاحها و تزويجها باالمهر المذكور……… حالا”.

Nayla tiba-tiba datang menghampiriku dengan pakaian putih yang sangat anggun. Ia mencium tanganku.

Sungguh, kala itu jantungku berdetak kencang melihat wajah Nayla yang begitu cantik. Ia benar-benar bagai bidadari dengan bulu mata lentik, alis tebal, bola matanya hitam bulat, kulit putih, dan hidung mancung. Ia cantik sekali dan usianya lima tahun lebih muda dariku.

Nayla menangis dalam pangkuanku ketika mendengar kisah kecilku. Ia tersenyum ketika aku mengatakan sangat senang menikah dengannya.

“Kok nangis sih, Dik?” kataku pada Nayla, istriku.

“Besok kita ke makam Ibu kamu ya, Mas.”

“Terima kasih, Sayang. Kau telah mengerti keadaanku.”

Aku mencium bibirnya dan mencubit pipinya. Lalu aku membawanya ke kamar untuk  melaksanakan salat Isya berjemaah.

***

Salsabila Sajidah (17 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Manba’ul Hikam Putat Tanggulangin, Sidoarjo. Ia juga siswa kelas 11 di MA Manba’ul Hikam. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Salsaa atau Instagram dengan nama: Salsalaa06.