Memiliki Zahra

Cerita Jannah Nur Eka

Apabila secara kebetulan kamu menjadi orang yang dekat dengan penguasa maka berhati-hatilah kamu seolah-olah kamu sedang berdiri di atas pedang yang tajam sekali.
(Imam Ghozali)

***

Zahra

Amirah Az Zahra, nama itu yang telah disematkan oleh almarhum abi dan ummiku 20 tahun yang lalu. Sejak usia 12 tahun, kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku hidup dan dibesarkan oleh pamanku, Hamdan dan Bibi Aisyah. Aku memanggil mereka Ayah dan Bunda, mereka pun sudah menganggap diriku seperti anaknya sendiri. 

Setelah menginjak usia SMP, aku memilih untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah pondok pesantren di Kota Yogyakarta. Di Pondok Pesantren Nurul Hidayah aku bertemu keluarga baru, kawan baru, dan sahabat yang menjadi saudara bagiku. Di sini aku merasakan kehangatan, kebahagiaan, dan canda tawa keluarga yang sangat aku rindukan.

Sore ini, ditemani keindahan senja di ufuk barat. Angin semilir ikut berembus menenangkan jiwaku. Aku merasakan bersyukur begitu besar atas nikmat Allah Swt. yang telah diberikan kepada hamba-Nya secara gratis.

Entah mengapa aku ingin sekali menyendiri, jauh dari hiruk pikuk teman-temanku. Aku tinggalkan sejenak semua tugasku yang menumpuk di asrama.  Aku hanya ingin sekadar mencari tempat untuk menenangkan hati dan pikiranku.

Sejenak aku istirahatkan langkah di bawah rimbunya pohon di belakang pesantren. Aku merasa tidak tenang untuk mengulang hafalanku yang baru saja kusetorkan pada Bu Nyai Hafshah. Aku memikirkan kata-kata dari Bu Nyai. 

Kabar dari Bu Nyai Hafshah bahwa adik sepupuku yang berada di Semarang akan menyusulku belajar di pondok mulai besok pagi. Kedatangan Zaina memang membuatku bahagia, terlebih dia sudah kuanggap sebagai adik kandungku setelah aku dibesarkan oleh kedua orang tuanya. 

Ada sesuatu yang membuatku gelisah saat ini. Ia ke sini tidak hanya untuk belajar di pesantren bersamaku, tetapi juga dia akan dijodohkan oleh Ayah dan Bunda dengan Gus Ali, putra tunggal Kyai Ahmad.

Dengan kasih sayang dan keakraban kami selama ini, aku tidak  mungkin untuk melukai hati Ayah dan Bunda. Aku juga tidak bisa untuk egois pada adikku, tetapi aku tidak kuat untuk berpura-pura bahagia mendengar kabar perjodohan ini.

***

Gus Ali

Muhammad Ali, itulah namaku. Para santri di pondok pesantren milik Abah menganggapku pendiam. Aku memang jarang bicara, tetapi aku mencoba untuk ramah senyuman. Banyak ustazah dan santri putri yang juga ramah terhadapku, bahkan ada beberapa sangat perhatian denganku.

Aku menyikapi biasa saja kepada mereka semua, tetapi hanya satu wanita yang dapat membuatku bahagia. Darinya, aku tahu apa itu cinta. Seorang wanita yang setiap sore pergi ke ndalem untuk menyetorkan hafalannya pada Ummah.

Amirah Az Zahra, nama yang sangat kuhafal di luar kepala. Dialah wanita yang aku “semogakan” di dalam doa panjangku di sepertiga malam. Namun, harapan itu mulai goyah ketika Abah menjodohkanku dengan wanita pilihannya. Aku pun tidak bisa menolaknya.

Aku hanya bisa terus berdoa agar Zahra-lah yang menjadi pelengkap separuh agamaku, bukan wanita yang belum kukenal sama sekali. 

***

Zaina

Kebahagiaanku saat ini mungkin tak bisa  diungkapkan dengan kata-kata. Keinginanku belajar di pesantren akhirnya terwujud mulai besok pagi.  Aku akan menyusul kakakku di Yogyakarta.

Sudah bertahun-tahun aku belum mendapatkan izin dari Ayah dan Bunda karena kondisiku yang memang sangat lemah dan butuh perawatan. Alhamdulillah keadaanku sekarang sudah membaik. Penyakit itu telah diangkat dari tubuhku.

Akan tetapi, kebahagiaanku ini disertai dengan kegelisahan. Ada hal yang mengusik di dalam perjodohan yang sudah direncanakan Ayah dan sahabatnya. Bagaimana mungkin aku bisa menerima perjodohan dengan seorang laki-laki yang jelas-jelas kakakku sendiri menyukainya?

Aku tahu karena setiap liburan, Kak Zahra tak pernah luput bercerita tentang laki-laki tersebut. Ia memang mencintai Gus Ali, tetapi aku sendiri tak menyukainya. Aku tidak tega melukai kakakku sendiri, meski Ayah yang menginginkannya. Kak Zahra lebih pantas bersanding dengan Gus Ali.

Aku tahu, Ayah tidak mau membatalkan perjodohan ini sepihak karena itu sudah menjadi kesepakatan Ayah dengan sahabatnya. Aku akan tetap berusaha agar perjodohan ini tidak terjadi. Aku tahu jika ini dilanjutkan hanya akan menyakiti Kak Zahra. Kakak sangat baik kepadaku. Dia selalu memberikan semangat padaku untuk tetap bersyukur dengan keadaanku ketika aku sedang sakit.

***

Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.
(Khalifah Ali bin Abi Talib)

Zahra

Suasana bakda subuh sudah terlihat ramai, tak jauh berbeda dengan suasana ketika pukul 3  pagi tadi.  Hanya saja, pagi ini banyak santri putra dan putri yang sedang asyik membaca kalam-Nya lengkap dengan tilawah.

Aku pergi ke ndalem menemui keluarga yang sudah sampai di pondok. Setelah cukup lama mereka berbincang-bincang, Ayah pun berpamitan pada keluarga Kyai Ahmad dan semuanya.

Sebelum pulang, Bunda Aisyah berpesan padaku agar selalu menjaga Zaina. Aku diberi amanah oleh Bunda untuk membantu Zaina dalam perjodohan ini.  Bagaimanapun, Bunda tahu bahwa Zaina tak menginginkan maka aku harus membujuknya untuk ikhlas menerima perjodohan.

Setelah pamit kepada Pak Kyai dan Bu Nyai, aku langsung mengajak Zaina pergi ke asrama. Aku hanya mengangguk mendengar pesan dan permintaan dari Bunda ini. Aku berusaha sebisa mungkin melaksanakan, walaupun sebenarnya ada rasa sakit di hatiku tanpa mereka ketahui.

Sekarang di pondok, aku bertugas untuk menjaga Zaina. Setiap saat aku mengontrol kondisi kesehatan Adik tersayangku.

“Selamat ya, Dik, tidak lama lagi kamu akan nikah. Kakak sayang kamu, Dik, terimalah dengan ikhlas perjodohan ini.”

“Kak, maafkan Zaina, ya …. Kakak pasti sedih mengetahui kabar perjodohan Zaina dengan Gus Ali, kan? Maafkan Zaina, Zaina belum bisa bujuk Ayah untuk membatalkan perjodohan ini,” kata Zaina di depan kamar asrama.

“Tidak apa-apa, Dik, mungkin ini yang terbaik buat kita semua. Ayah dan Kyai melakukan ini juga demi masa depan kalian berdua. Ayah menginginkan yang terbaik untuk anaknya, kan? Kamu jangan minta maaf sama Kakak, Kakak enggak papa kok. Terima saja dengan ikhlas apa yang diperintahkan Ayah. Kamu harus bisa buat Ayah dan Bunda bangga, Dik, mumpung mereka masih ada di sisi kita. Kamu tidak usah terlalu mikirin Kakak, insyaallah Kakak kuat dan ikhlas,” ucapku di hadapan Zaina.

Aku menasihati Zaina  dengan sekuat hati. Aku tetap harus tegar di depan adikku sendiri. Setelahnya, aku mengajak Zaina untuk salat berjemaah Zuhur di masjid.

*** 

Jangan berteman yang hanya mau menemanimu ketika kamu sehat atau kaya karena tipe teman seperti itu sungguh berbahaya sekali bagi kamu di belakang hari. 
(Imam Ghozali)

Zaina

Alhamdulillah, kami tidak terlambat sampai ke masjid. Kata Kak Zahra jika kami sampai masbuk apalagi sampai gak ikut salat berjemaah, kami bisa ditakzir. 

Di dalam masjid, aku mendengar suara azan yang sangat indah. Aku merasakan ketenangan. Ada yang aneh dalam hatiku saat mendengarkan azan tersebut.

Sesaat setelah azan selesai berkumandang, aku memberanikan diri bertanya kepada Kak Zahra, siapakah Kang Santri yang suaranya terdengar sangat indah ini.

“Kak Zahra,” panggilku setelah Kak Zahra selesai mengerjakan salat sunahnya.

“Huss … jangan keras-keras nanti kena marah pengurus. Bisik-bisik aja ya, Dik, kalau memang penting,” kata Kak Zahra memperingatkan diriku.

“Hihi iya kak, maaf. Zaina tidak tahu,” ucapku sambil mengangkat dua jariku.

“Iya enggak papa, emang ada apa sampai kamu panggil Kakak?” tanya Kak Zahra padaku.

“Itu, Kak, sebenarnya enggak penting-penting banget sih, cuma aku pingin tahu, Kak. Jawab jujur ya, Kak, aku jadi penasaran banget nih, Kak.” Dengan muka memelas yang selalu menjadi andalanku.

“Iya Dik, insyaallah kalau Kakak bisa jawab, ya,” jawab Kak Zahra menyetujui.

“Iya, Kak. Aku mau tanya, tadi siapa ya, Kak, yang azan? Kok bagus banget, Kak, bikin hati adem, tentrem, dan bikin Zaina deg-degan gimana gitu, Kak,” tanyaku dengan senyum yang merekah.

“Astagfirullah, Dik, kamu ini. Besok lagi kalau mau tanya hal seperti ini, jangan di masjid ya, Dik. Lebih baik di tempat lain aja. Tadi itu kalau tidak salah namanya Kang Faisal. Ia adalah pengurus pendidikan. Emangnya kenapa, Dik, kamu suka, ya? Hayoooo,” jawab Kak Zahra sambil meledekku.

“Owalah, bagus namanya. Terima kasih, Kakak. Udahlah, gak usah ngledek aku. Katanya tadi suruh inget, kalau ini baru di masjid.”

“Hemmm … ketahuan.”

***

 Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai bila-bila pun dia tidak akan menjadi orang yang berani.
(Khalifah Ali bin Abi Talib)

Zaina

Setelah satu bulan berlalu, satu bulan juga aku resmi menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Aku merasakan kegelisahan. Seiring berjalannya waktu, aku merasakan hal aneh terjadi pada hatiku. Ketika aku bertemu maupun hanya melihat Kang Faisal, hal aneh tadi terus bertambah kuat. Setiap hari, bukannya semakin memudar, malah semakin kuat.

Ada perasaan kepada Kang Faisal yang tak bisa aku gambarkan, padahal aku sudah dijodohkan. Apa salah kalau cintaku tidak memihak pada pilihan ayahku? Sepertinya tidak. Aku tidak bisa memilih untuk mencintai siapa dan di mana dan aku pun malah mencintai Kang Faisal di masjid pesantren, bukan mencintai Gus Ali dengan perjodohan ini.

Setiap hari, aku terus berpikir agar semuanya baik-baik saja, tanpa melukai siapa pun, terlebih orang-orang yang sangat kusayangi. Aku tidak ingin melihat Kak Zahra dengan senyum palsunya kepadaku setiap hari. Aku tahu bahwa Kak Zahra menyimpan banyak kesedihan.

Di sisi lain, raut wajah Gus Ali menyimpan kekhawatiran saat Kak Zahra sakit 2 minggu lalu. Aku tahu dari sorot mata Gus Ali saat menanyakan keadaan Kak Zahra padaku. Aku bisa menebak bahwa dia juga menyimpan rasa pada Kak Zahra. Gus Ali tidak memiliki perasaan padaku, sama dengan diriku yang tidak memiliki rasa apa pun dengan Gus Ali.

Aku hanya bisa pergi ke masjid untuk menenangkan diri. Aku mengadukan semua permasalahan pada Allah, Sang Maha Pemilik Cinta Sejati. Aku hanya bisa meminta yang terbaik untuk semuanya, untuk cinta yang terpendam Gus Ali dan Kak Zahra.

Di sisi lain, aku juga tak bisa memendam perasaan takut. Aku takut melukai perasaan Ayah, Bunda, Pak Kyai, juga Bu Nyai. Hatiku sendiri menginginkan dan  menyimpan perasaan pada Kang Faisal.

Setelah selesai salat sunah dan berzikir,  aku mengurungkan niat untuk melangkah keluar masjid menuju asrama. Aku mendengar bacaan Al-Qur’an yang begitu indah. Aku terdiam cukup lama dan hanyut dalam bacaan kalam-Nya.

“Ning ….”

Tanpa sadar Kang Faisal sudah berdiri di sampingku. Dia memanggilku cukup lama, tetapi tak ada balasan dariku. Aku sibuk mengkhayal dan pikiranku pergi ke mana-mana. Setelah tersadar, aku hanya mampu berdiam diri. Seketika detak jantungku bekerja lebih cepat.

“Astagfirullah, ada apa denganku? Hanya memanggilnya saja membuat jantungku berdetak lebih cepat, siapa namanya?” batin Kang Faisal.

*** 

Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat.
(Khalifah Ali bin Abi Thalib)

Zaina 

Aku pergi ke ndalem karena mendapat kabar bahwa ada Ayah dan Bunda di sana. Setelah sampai di ruang tamu, aku menyalami semua yang ada di ruang tamu.

Setelah perbincangan menuju ke perjodohan, aku menguatkan hatiku untuk mengambil keputusan yang terbaik. Aku ingin keputusanku tidak melukai hati siapa pun. Aku akan menyampaikan dengan hati-hati agar Ayah dan Pak Kyai tidak kecewa dengan keputusanku.

Awalnya, semuanya tidak menyetujui permintaanku. Aku  mengatakan bahwa hatiku tidak bisa dipaksakan untuk terus belajar saling mengenal. Aku tidak bisa menerima pernikahan ini jika benar-benar dilaksanakan.

Walaupun sudah sebulan ini aku terus mencobanya, aku tidak bisa mencintai calonku. Dengan jujur aku mengatakan bahwa aku sudah mencintai salah satu kang santri di pesantren ini dan itu bukan Gus Ali.

Aku tidak mengatakan siapa orang tersebut karena aku pun tidak tahu, apakah Kang Faisal  juga memiliki rasa yang sama denganku. Aku juga menyampaikan bahwa ada orang lain yang lebih pantas bersanding dengan Gus Ali dan itu bukan aku.

Kak Zahra adalah orang yang pantas mendampingi Gus Ali. Kakakku-lah orang yang sudah mencintai Gus Ali selama ini dan aku juga tidak akan mampu untuk melukai hati Kak Zahra terlalu jauh. Sudah cukup selama satu bulan ini aku  melihat senyum dari Kak Zahra yang menyimpan banyak kesedihan.

Begitu pun dengan Gus Ali, beliau juga mengatakan hal yang sama denganku. Dia tidak mau menikah dengan wanita yang sama sekali tidak dicintainya karena itu hanya akan menyakitiku di kemudian hari. Gus Ali mengatakan bahwa sebenarnya dia juga sudah lama mencintai Kak Zahra, santri putri abahnya.

Dan akhirnya perjodohan ini telah dibatalkan atas persetujuan dari Ayah dan Pak Kyai  sendiri. Mereka sadar tidak bisa memaksakan hati dan perasaanku dan Gus Ali  untuk mengikuti keinginan orang tua. Mereka Ingin melihat masa depan kami bahagia dengan pilihan hatinya sendiri. Pasangan yang beriman kepada Allah Swt dan insyaallah bisa membuat kami bahagia.

Akan tetapi, lain halnya dengan Bunda, beliau malah tidak menyetujui perjodohan ini dibatalkan. Bunda menginginkan perjodohan ini tetap dilaksanakan, tetapi dengan mempelai perempuannya diganti dengan Kak Zahra.

Bunda mengusulkan hal itu agar tali persaudaraan kami tetap terjaga dan semakin bertambah kuat. Kami menyetujui usulan tersebut, terlebih lagi karena kami juga mengetahui bahwa Gus Ali dan Kak Zahra saling mencintai.

Aku sendiri masih ingin melanjutkan pendidikan. Aku ingin memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Aku ingin belajar untuk terus lebih baik, agar suatu hari nanti pantas mendapatkan cintanya, siapa lagi kalau bukan Kang Faisal.

*** 

Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
(Khalifah Ali bin Abi Thalib)

Beberapa minggu setelah kejadian di ndalem itu, akad nikah digelar. Hari ini  adalah hari yang mereka tunggu-tunggu. Raut kebahagiaan dan senyuman terbit di wajah setiap orang yang ada di sini.

Hari ini adalah hari pernikahan Gus Muhammad Ali, putra tunggal Kyai Ahmad dan Nyai Hafshah. Pasangannya pastilah seorang wanita cantik dan salihah bernama Amirah Az Zahra. wali nikah dari mempelai perempuan diwakilkan pada pamannya, Muhammad Hamdan. 

Tepat pukul 8 pagi, Gus Ali dan Zahra telah menyempurnakan separuh agamanya dengan melaksanakan sunah nabi tersebut. Mereka sah sebagai suami istri, memulai hidup baru dan menjemput ladang pahala di dalamnya.

Banyak Kyai dan Ulama yang berdatangan. Sepasang kekasih yang baru saja halal mendapatkan keberkahan doa. Tak luput, kerabat dan keluarga ndalem pun ikut berbahagia pada hari ini.

Mereka tidak mengira akan seperti ini akhirnya. Kisah cinta mereka yang berliku dan pernah goyah beberapa waktu lalu. Cinta yang hanya bisa mereka sampaikan lewat doa-doa di sepertiga malam. Nama yang hanya bisa mereka sebut dalam sujud panjang dan hanya kepada Allah Swt lah mereka meminta semuanya.

***

Jangan sampai ayam jantan lebih pandai darimu. Ia berkokok di waktu subuh, sedang kamu tetap lelap dalam tidur. 
(Lukman Hakim)

Gus Ali 

Pukul 3 pagi, seperti biasanya aku sudah terjaga untuk melaksanakan salat malam. Ada sedikit perbedaan mulai malam ini dan seterusnya karena saat ini sudah ada makmum yang berdiri di belakangku.

Wanita yang sudah sah menjadi istriku di dunia. Wanita yang harus sekuat tenaga kubimbing untuk selalu berada di jalan-Nya. Wanita yang kelak akan melahirkan generasi-generasi Islam yang saleh dan salihah. Putra/putri yang akan membantuku dan Abah mengasuh santri-santri di pesantren ini kemudian hari.

Setelah salat Tahajud bersama istriku tercinta, kami berzikir kepada Allah Swt. Kami memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang telah kami perbuat selama ini, lalu dilanjut dengan simaan Al-Qur’an bersama.

Aku sangat bersyukur kepada Allah Swt karena telah menyatukanku dengan wanita yang sangat kucintai dalam ikatan yang halal.


***

Jannah Nur Eka (16 tahun) merupakan santri PP. Al-Qur’an Wates, Kulon Progo. Ia juga siswa kelas X di MAN 2 Kulon Progo.