Cerita Oman Abdurrohman
“Sudahlah, Kang, sampean niat saja seperti awal ke sini. Dari awal di al-Mansur saya yakin sampean sudah lillahi ta’ala untuk berjuang memajukan pondok. Soal Ustazah Yayuk, calon pendampingnya sudah ada selain sampean,” Neng Azza berusaha membujukku.
Aku sengaja bertanya kepada Neng Azza tentang perubahan sikap Ustazah Yayuk. Aku berharap ia bisa memberi jawaban. Ah, setidaknya aku telah berbagi keadaan.
Neng Azza sangat dekat dengan Ustazah Yayuk. Selain memang karena hubungan neng-ustazah, juga sebab guru dan murid. Ustazah Yayuk melanjutkan setoran hafalan Al Qur’an kepada Neng Azza. Sebelumnya, ia sempat berhenti beberapa tahun karena kuliah, bahkan ia juga mengerjakan tugas kuliah Neng Azza.
“Berjuang itu berat dan pasti banyak hambatan. Saya harap sampean tetap bertahan dan istikamah di sini. Insyaallah, Allah akan memberi yang terbaik sebagai ganti. Intinya Ustazah sudah ada pilihan lain,” lanjut Neng Azza.
Sekalipun nasihat Neng Azza berusaha menguatkan, tetapi aku belum menemukan jawaban pertanyaanku. Aku justru menduga sebenarnya Neng Azza tahu akar permasalahannya. Hanya saja mungkin ia menahan diri untuk bercerita. Ia berusaha memosisikan dirinya berada di tengah, antara harapan dan kekecewaan.
Tentu saja ajakan melupakan itu tidak mudah dan cenderung meremehkan. Bagaimana bisa, seorang laki-laki yang mulanya memiliki ta’alluq yang amat kuat diajak pergi melupakan?
Seperti membujuk Qais yang sudah telanjur mabuk cinta pada Laila untuk merelakannya pergi. Ini bukan soal mau atau tidak, tetapi rasa itu sudah terpatri dalam diri Qais.
Qais lebih memilih mengasingkan diri di hutan belantara. Ia hidup bersama para binatang dan tenggelam dalam imajinasi kerinduan tentang Laila. Rusa adalah Laila, singa adalah Laila, pohon adalah Laila, begitu juga rumput adalah Laila. Tidak ada yang lain kecuali Laila al-Majnun yang kisahnya ditulis oleh Nizami Ganjavi.
***
Saat ditinggalkan, setiap laki-laki sebenarnya menanggung kesedihan amat mendalam, termasuk diriku. Namun, tidak banyak laki-laki yang berani mengungkapkan. Mereka cenderung berpura-pura kuat demi wibawa atau kejantanan. Imaji kelelakian ini memaksa banyak laki-laki tunduk pada norma kelelakian. Mereka telah dikuasai standar-standar tentang menjadi lelaki perkasa, di antaranya tidak boleh terlihat cemen apalagi menangis.
Aku? Jelas saja aku menangis.
Barangkali semua santri al-Mansur melihat diriku sebagai sosok yang tegas, galak, bahkan menakutkan. Seorang yang sama sekali tidak pernah menampakkan kesedihan dan kesusahan.
“Kang Ibad kok ndak pernah susah, ya.”
“Orang yang ndak pernah dilanda masalah itu ya Kang Ibad, seneng terus.”
“Eh, Kang Ibad ditinggal Ustazah kok kayakne biasa saja.”
Setidaknya itu beberapa kalimat yang pernah singgah ke telingaku. Para santri mungkin tidak sadar saja bahwa aku juga manusia seperti mereka. Soal Ustazah ini barangkali aku telah mati rasa. Kematian yang telah menghilangkan kekuatanku untuk menangis meneteskan air mata. Aku sudah tidak sanggup berdiri. Aku lemas. Pelan-pelan aku duduk, membaca istigfar.
“Allah, Allah, Allah, astagfirullah.”
***
Oleh:
Oman Abdurrohman (16 tahun) merupakan santri Pesantren Tahfidzul Quran Kediri, Jawa Timur. Penulis dapat dijumpai di Instagram dengan nama: @omangokil.