Menjajal Fikih Humanis

Esai Aulia Akbar

Di hari Jumat awal bulan, kami (santri satu kompleks asrama) mendapat jatah berjaga di masjid pusat. Akhir-akhir ini pelaksanaan Salat Jumat di masjid pondok kami lebih diperketat karena virus corona. Setiap jalur masuk masjid dijaga oleh kami.

Jemaah Salat Jumat perlu melalui aturan ketat untuk masuk masjid. Mereka harus melalui cek suhu badan dan mencuci tangan sebelum masuk masjid. Sesampai di masjid, saf jemaah pun juga diberi jarak kurang lebih 1 meter.

Kami merapikan saf jemaah dengan memberitahu bila saf sudah tidak muat dipakai untuk salat. Sebagai contoh, bila ada jemaah yang ngeyel tetap ingin di saf masjid lantai 1 padahal sudah penuh maka kami dengan halus mengarahkan jemaah untuk segera naik di lantai 2.

Kami akan memberikan arahan dengan menundukkan badan dan melihatkan ibu jari kami.

“Monggo, Pak, teng inggil, saf-ipun sampun penuh,” maksudnya ‘mari, Pak, di atas–lantai 2–saja, saf di sini sudah penuh’.

Apa yang kami lakukan tentunya menyalahi aturan Salat Jumat yang disampaikan Bilal.  Seluruh jemaah itu diharuskan untuk diam dan memperhatikan khotbah.

 إذَا قُلْت لِصَاحِبِك أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْت

َArtinya, “Jika kamu katakan kepada temanmu, ‘Diamlah!’ di hari Jumat saat khatib berkhotbah maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna),” (HR Muslim).

Secara tidak sadar, kami telah melakukan fikih humanis di situ. Kami memang banyak bicara pada waktu khotbah. Kami melakukan hal tersebut atas dasar kemanusiaan. Jika kami hanya berdiam saja tanpa mengatur jemaah, pasti yang akan terjadi adalah Salat Jumat yang berdesakan dan tidak mematuhi aturan atau protokol dari pemerintah.

Hukum Islam juga menerapkan Mashalihul Mursalah  atau hukum yang dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Wahbah Zuhaili, seorang mufasir kontemporer, menjelaskan bila terjadi bentrokan hak Allah dengan hak adam (manusia) maka hak Allah tidak diprioritaskan. Setiap ketentuan yang telah digariskan Allah dipahami bukan sebagai beban kepada manusia melainkan kebutuhan manusia itu.

Seseorang memang harus mendengarkan dengan khusyuk saat khotbah Jumat. Kejadian di atas membuat saya terenyuh ketika ada seorang kakek-kakek datang ke masjid dengan berbopoh-bopoh keringat karena sedikit kesulitan untuk berjalan seperti biasa.

Kakek itu terlambat dan saf di lantai 1 sudah penuh. Alangkah mulianya, ada seseorang yang sama tuanya, tetapi lebih bugar sedikit badannya mempersilakan untuk menempati posisi safnya di lantai 1.

“Monggo, Mbah, teng mriki mawon. Kulo mawon tak teng inggil,” artinya ‘di sini (lantai 1) saja, Mbah, tidak usah naik ke lantai 2 nanti kalau jatuh. Saya saja tak yang ke atas’.

Bagi fikih humanis, seseorang yang mempersilakan kakek-kakek yang tua tadi untuk menempati saf di lantai 1 dipandang lebih alim dan humanis daripada contoh sebelumnya.

Apa yang saya ulas tadi adalah pijakan awal guna kita mengubah orientasi fikih selama ini yang sangat berpusat pada Tuhan dan mengalihkannya pada manusia. Seolah-olah kita melakukannya untuk kepentingan atau kemaslahatan Tuhan. Padahal, Allah Swt. tidak rugi atau tidak diuntungkan dengan apa pun perbuatan kita.

Agama datang untuk kemaslahatan manusia. Fikih humanis datang sangat subjektif, tergantung pada individu, situasi, dan kondisi serta melakukan pilihan yang tidak merusak kemanusiaan kita.

يَسِّرَأ ولا تُعَسِّرَا و بَشِّرَا و لا تُنَفِّرَا

“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira jangan membuat mereka lari.”


***

Aulia Akbar ( 19 tahun) merupakan santri PP Al Munawwir Kompleks Nurussalam, Krapyak, Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @akbraulia21.