Merayakan Ilmu Imam Syafi’i

Cerita Andi Naufal

Gemuruh suara takbir terdengar seantero negeri. Hari ini adalah Hari Raya Idulfitri. Semua santri mudik ke kampung mereka masing-masing, kecuali diriku. Sudah dua tahun ini, aku tidak pulang ke kampung halaman. Setiap tahun itu pula aku menangis karena rindu kepada Emma’ (panggilan untuk ibu dalam bahasa Bugis) dan Bapak.

Aku bersekolah di salah satu pesantren di Pulau Jawa. Sebenarnya, aku benar-benar tidak mau mondok, bukan karena aku tidak bisa menghafal hadis ataupun malas mengaji. Tidak. Aku hanya tidak bisa tinggal jauh dari orang tuaku. Terutama Emma’.

Tahun ini, aku tidak pulang karena masalah biaya. Aku tidak dapat kiriman untuk bekal pulang sehingga aku harus menguatkan diriku sendiri di tanah perantauan. Aku harus menjadi pribadi yang lebih tegar.

“Naufal, maaf Nak, untuk tahun ini mungkin kamu tidak pulang kampung lagi, alasannya sama seperti tahun sebelumnya. Gagal panen.”

***

Aku ingat betul suara Emma’ yang terisak memberitahu kabar pahit ini. Namun mau apa lagi? Orang tuaku cuma seorang petani. Aku sudah sangat bersyukur bisa sekolah di luar pulau walaupun orang tuaku harus bekerja lebih keras lagi. Masih banyak orang di luar sana yang ingin sekolah, alasan itu yang terus membuatku bertahan dua tahun terakhir ini.

“Tidak apa, Emma’, Naufal bisa tinggal di rumah Ustaz Rizaldi. Emma’ tidak usah khawatir dan jangan nangis lagi,” ucapku untuk menguatkan Emma’.

Sebenarnya aku benar-benar ingin menangis di telepon. Jika aku menangis saat bicara dengan Emma’, pastilah akan menambah beban pikiran beliau.

“Sudah teleponnya, Naufal?” Suara Ustaz Rizaldi menghentikan lamunanku. Aku dengan cepat menghapus air mataku.

Ustaz Rizaldi adalah salah satu pembina di pondok. Beliau berumur kurang lebih 50 tahun. Aku tidak memiliki hubungan darah dengan beliau, tetapi beliau sangat baik kepadaku. Setiap beliau tahu aku tidak mudik, pasti dia akan memanggilku untuk tinggal di rumahnya.

“Tidak apa-apa, Nak. Menangislah. Memang pahit rasanya tidak bisa berkumpul di hari raya dengan keluarga. Aku tahu betul rasanya seperti apa karena dulu aku juga sepertimu, pernah mondok. Aku juga sekolah di luar pulau dan jarang mudik. Wajar memang kalau kita menangis, tetapi tahukah kamu, Nak? Kisah kisah ulama terdahulu?”

Pertanyaan Ustaz Rizaldi membuat diriku tertarik untuk mendengarkan. Beliau jika bercerita membuat semangat santri menjadi bangkit lagi. Semua santri di pondok sangat suka jika mendengarkan cerita beliau.

Beliau benar-benar mampu membuat pendengarnya merasakan suasana dalam ceritanya. Seakan kami diajak melihat situasi dan apa yang diceritakan beliau. Semua cerita juga benar-benar terlihat nyata dan sarat akan makna.

“Kamu tahu, kan, ungkapan yang mengatakan, ‘Orang tidak akan sukses jika tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu’? Tahukah kamu siapa yang mengatakan itu?”

Ustaz memandangku dengan sangat lembut. Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang mengatakan itu. Wajarlah, aku baru kelas 2 MTs, jadi pengetahuanku belum banyak.

“Dialah Imam Syafi’i r.a., salah satu ulama yang paling disegani. Jika kamu mengetahui betapa beliau betul-betul merasakan yang dinamakan pahitnya menuntut ilmu maka kamu akan merasa bangga, Nak. Kenapa? Menurutku, keadaanmu sekarang ini hampir mirip dengan beliau.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Imam Syafi’i r.a. adalah seorang ulama dari Makkah. Hidupnya begitu miskin. Beliau tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah meninggal dunia.

Imam Syafi’i  begitu mencintai ilmu pengetahuan sehingga beliau pergi kepada Imam Malik untuk belajar ilmu agama. Karena miskinnya, ketika Imam Malik mengajar, semua teman-temannya mencatat menggunakan alat tulis, tetapi beliau tidak. Kenapa?

Beliau tidak mempunyai uang untuk membeli alat tulis. Mengetahui hal itu, Imam Malik marah melihat Imam Syafi’i tidak menulis. Imam Syafi’i dipanggil menghadap Imam Malik seraya berkata, ‘Syafi’i sini kamu, maju ke depan dan jelaskan semua hal-hal yang sudah aku jelaskan dari awal pertemuan hingga sekarang.’

Dengan izin Allah, Imam Syafi’i menyebutkan semuanya tanpa ada perbedaan dari penjelasan Imam Malik. Imam Malik takjub dan menanyakan kenapa Imam Syafi’i tidak pernah menulis?

Imam Syafi’i menjawab, ‘Maafkan, Guru, tetapi saya tidak memiliki buku dan alat tulis. Orang tua saya tidak mampu membelikan alat tulis.’

Imam Malik begitu takjub dengan Imam Syafi’i sehingga Imam Syafi’i menjadi salah satu murid terbaik beliau.

Suatu hari Imam Malik berkata, ‘Syafi’i, ilmuku sudah habis maka merantaulah kamu dan carilah ilmu di negeri seberang.’

Imam Syafi’i mengikuti saran tersebut dan meminta izin kepada ibundanya untuk menuntut ilmu. Ibunya mendukung tanpa ragu. Beliau berkata, ‘Pergilah, Nak, pergilah menuntut ilmu, kita bertemu di akhirat saja.’

Kenapa ibu Imam Syafi’i mengatakan demikian? Karena beliau sudah benar-benar ikhlas maka berangkatlah Imam Syafi’i untuk menuntut ilmu. Beliau tidak pernah pulang ke rumahnya karena ibunya belum pernah memanggilnya untuk pulang. Selama itu pula beliau tidak berkumpul di hari raya dengan keluarganya.

Itulah kisah ulama besar kita, Nak. Kamu patut berbangga karena menjadi orang yang ada dalam perkataan beliau, yakni orang-orang yang merasakan pahitnya menuntut ilmu.

Kamu harus ikhlas karena menuntut ilmu itu perlu ikhlas dan waktu yang lama.

Sudah. Sekarang bersiap-siap, sebentar lagi salat Id akan dimulai.” Sambil tersenyum Ustaz Rizaldi beranjak menuju masjid.

***

Tadinya, aku merasa begitu gundah, tetapi sekarang merasa lebih tenang dan bersyukur. Setelah mendengarkan kisah tentang Imam Syafi’i yang begitu hebat.

Aku tidak boleh cengeng, perjalananku masih begitu panjang. Jika Allah menghendaki, lebaran tahun depan, aku pasti akan pulang.

Sambil menghirup udara, aku berusaha menenangkan pikiran dan mencoba mengikhlaskan keadaanku. Hari ini hari kemenangan, saatnya untuk merayakannya.

Aku pun bangkit dan menyusul Ustaz Rizaldi.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar La Ilaha Illa Allahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham.

***

Andi Naufal  (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al Urwatulwutsqaa. Ia berasal dari Desa Bulucenra, Pitu Riawa, Sidrap, Sulawesi Selatan. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Andi naufal atau Instagram dengan nama: @naufalandi91.