Meretas Hoaks Mewujudkan Santri Berkualitas

Esai Ahmad Syafii Siregar

Saat ini, berita hoaks menyasar santri-santri yang berada di pondok. Awalnya bergerak dari mulut ke mulut, kini secara terang-terangan terbuka ke publik. Media sosial dipilih karena sebagian besar santri mendapatkan informasi maupun ilmu–terutama dalam pendidikan pondok berbasis modern–melalui media sosial.

Media sosial  selain untuk mengaji juga sebagai alat untuk pendidikan umum. Santri juga dapat mengamalkan ilmu yang didapat untuk kebaikan dan berdakwah di media sosial. Kecenderungan ini yang pada akhirnya membawa kepada sebuah permasalahan santri dalam salah satu masuknya berita hoaks.

Keberadaan berita hoaks yang masuk ke dunia santri merupakan musuh atau kasus yang harus dihindari bagi santri. Saat ini santri juga mempelajari salah satu pelajaran TIK(Teknologi Informasi Komunikasi). Sebagai salah satu mata pelajaran, disadari atau tidak, hal ini dapat menjadi upaya masuknya berita hoaks ke lingkungan santri.

Salah satu upaya menangkal berita hoaks ialah mengambil pelajaran dari kearifan lokal/budaya setiap pondok pesantren. Sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu dunia dan akhirat maka setiap pondok pesantren banyak memberikan pelajaran dari nilai-nilai kearifan lokal santri salah satunya adalah tabayun. Setiap informasi dari mana pun dicari kebenarannya dan jangan mengambilnya secara menyeluruh tanpa melakukan pemeriksaan ulang.

Allah Swt. berfirman yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita maka periksalah duhulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan,”(QS.Al Hujarat: 6).

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan tabayun adalah memeriksa dengan teliti dan yang dimaksud dengan tatsabbut adalah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, melihat dengan keilmuan yang dalam terhadap sebuah peristiwa dan kabar yang datang, sampai menjadi jelas dan terang baginya,” (Fathul Qadir,5:56).

Salah satu caranya dengan adanya pemberitahuan dari bagian pengasuhan santri yang biasa dilakukan seminggu sekali dalam hari libur/hari tertentu. Dengan cara itulah seluruh santri dapat mengetahui salah satu berita yang tidak benar apabila terjadi di pondok pesantren. Hal ini tentu saja menjadi cara efektif bagi santri untuk selalu terarah dan terkendali. Kesempatan untuk mengklarifikasi suatu masalah sampai jelas suatu sehingga tidak ada pihak yang merasa terzalimi atau tersakiti.

Dalam kehidupan santri, tabayun menjadi semacam rujukan menggali setiap informasi dan nilai-nilai budaya Islam. Santri lebih berpikir intelektual dalam mendapatkan informasi dalam situasi tertentu. Santri menjadi lebih berhati-hati sebelum memberikan informasi kepada santri lainnya.

Tabayun menjadikan santri saling memperkuat satu sama lain dan saling melindungi dari nilai-nilai luar yang masuk ke kehidupan santri di pondok.

Bila dicermati, tabayun bukan hanya dilakukan bagi santri saja, melainkan juga–secara keseluruhan–tabayun dianggap sebagai sebuah tradisi umat Islam yang dapat menjadi solusi dari zaman ke zaman. Metode tabayun merupakan proses klarifikasi sekaligus analisis situasi serta problem yang dialami umat. Harapannya akan mendapat hasil kesimpulan yang lebih bijak, arif, dan lebih tepat sesuai keadaan umat maupun masyarakat sekitarnya.

Terkhusus pada aspek keagamaan, perbedaan penyikapan informasi yang diterima juga melahirkan aneka ragam sikap. Meskipun sama sumbernya, yakni Al-Qur’an dan al-Hadis, tetapi akan memunculkan perbedaan–perbedaan sikap di dalam masyarakat. 

Penerimaan umat yang berbeda terhadap suatu informasi sering memunculkan konflik. Hal ini tentu saja dapat merugikan beberapa pihak serta mengganggu stabilitas keamanan dan kerukunan di dalam masyarakat.

Misi rahmatan lil ‘alamin diharapkan menjadi landasan jiwa, baik dalam dunia santri dan umum. Tradisi umat Islam di mana pun jika terjiwai nilai-nilai dan ajaran–ajaran Islam tentu akan menghasilkan keadaan umat yang damai dan selamat dari perpecahan.

Jika kita lihat sebanyak 70 persen informasi di media sosial adalah berita bohong. Di ajaran agama jelas, larangan untuk menyebarkan berita bohong. Hal ini yang dikaji oleh santri dalam mempergunakan media sosial agar tidak sembarangan mengutip informasi dari media yang tidak jelas.

Peran santri dengan cara memiliki media sosial juga untuk menangkal berita hoaks di dunia maya. Mental dan upaya seorang santri harus siap untuk mengklarifikasi atau tabayun dalam mengambil keputusan terhadap akses suatu informasi yang didapat.

Adanya tabayun dapat membumikan,  membahas dan menyebarkan konten-konten positif sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Upaya ini tentu dapat menumbuhkan optimisme dalam kerukunan umat juga sebagai cara menjaga persatuan bangsa.

 Wallahu ‘alam.

***

Ahmad Syafii Siregar (21 tahun) merupakan santri Ponpes Al-Barokah Simalungun. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: ahmad syafii siregar atau Instagram dengan nama: @asy_siregar.