Mudabbir dan Mudabbirah

Esai Mar’atun Hasanah

Pondok pesantren (ponpes) dengan keadaan apa pun di dalamnya adalah tempat yang begitu luar biasa. Butuh berlembar-lembar untuk menceritakan kisah-kisah di dalamnya. Setiap apa pun yang berada di dalamnya selalu istimewa, entah orang-orangnya, barang-barangnya, tempat-tempatnya, maupun profesi-profesinya. Terlalu panjang jika semua harus dibahas dalam satu kisah saja. Saya ingin membahas tentang salah satu keunikan atau profesi yang ada di dalam pesantren, yaitu  udabbir, mudabbirah (pengurus ponpes).

Mudabbir ialah sebutan bagi senior yang diberi kepercayaan oleh pihak ponpes. Mudabbir mendapat tugas untuk mengemban amanah mengurus ponpes. Mereka bisa dibilang sebagai kaki tangan para asatidz/asatidzah ponpes.

Tidak sembarang santri bisa mendapatkan kepercayaan itu. Hanya bagi mereka yang mampu, berani, serta siap membangun pondok. Mereka adalah para senior yang sudah sejak lama berada di dalam pondok, umumnya kelas 12.

Menjadi pengurus berarti sudah siap mengabdikan diri untuk menyejahterakan pesantren. Mereka harus siap mengorbankan banyak waktu, tenaga, pikiran, dan terdepan menjalankan segala kedisiplinan pondok.

“Baik buruknya suatu pesantren tergantung bagaimana pengurusnya,” begitulah yang selalu diungkapkan ustaz kepada para pengurus.  Mereka dituntut siap mengurus dan membawa pondok menuju lebih baik. Mereka sadar akan amanah berat yang ditanggung. Sehingga tentu akan benar-benar menjalankan semua kewajibannya.

Semua roda kedisiplinan di pesantren, dikendalikan oleh pengurus (mudabbir) bukan lagi ustaz/ustazah. Mulai dari bangun tidur sampai waktu tidur tiba lagi. Mereka harus menjadi yang pertama bangun. Mereka membangunkan semua santri dan memastikan air hammam (kamar mandi) terisi penuh.

Mereka memastikan semua santri bisa mandi sebelum sekolah. Mereka memastikan semua santri sarapan dan siap sampai jam sekolah tiba. Sampai siang, mereka memastikan semua santri berjemaah salat, tidak ada yang ribut di waktu istirahat dan memastikan semua mengikuti kegiatan-kegiatan resmi pesantren.

Setiap pengurus memiliki bagiannya masing-masing. Ada yang mengontrol semua kegiatan keibadahan. Ada juga bagian bahasa, mereka memastikan bahasa di pesantren tersebut berjalan. Ada bagian kesehatan, mereka siap 24 jam ketika ada santri yang tiba-tiba sakit. Terakhir ada bagian keamanan, mereka menjadi garda terdepan mengontrol kedisiplinan. Bagian ini paling menakutkan dan paling berisiko.

Seperti halnya organisasi-organisasi, setiap bagian memiliki struktur berupa ketua, wakil sekretaris, dan bendahara yang menjadi inti. Mereka harus siap berkorban lebih dibanding anggota-anggotanya.

Mungkin semua organisasi di pesantren dianggap sama saja dengan organisasi-organisasi di sekolah biasa. Memang semuanya sama, sama-sama mengemban amanah dari pihak sekolah atau yayasan. Namun ada perbedaan sekaligus terlihat istimewa, mereka benar-benar berkhidmat atau berdedikasi untuk pesantren demi sebuah keberkahan serta keridaan sang kiai.

Mereka sebagai santri beranggapan tak ada yang lebih berarti dibanding rida kiai. Dengan mendapat kepercayaan menjadi pengurus berarti seorang santri berkesempatan mendapatkan pengalaman besar. Mereka dapat belajar menjadi seorang pemimpin, bahkan belajar bagaimana menjadi orang tua. Belajar menjadi orang tua, mereka harus mengutamakan santri dahulu baru diri sendiri dengan segala pengorbanan tanpa ada imbalan berupa materi.

Mereka belajar memimpin dengan adil tanpa pilih kasih. Mereka harus menegakkan kebenaran meski harus mendapatkan gibahan. Mereka siap dibenci dan berlapang dada menerima segala respons dari santri yang tak suka dengan segala peraturan yang ada. Mereka mengurus semua permasalahan pondok, mulai dari kehilangan hingga santri-santri yang malas.

Pada intinya hampir semua roda pemerintahan pesantren dikontrol oleh mereka. Para kiai atau ustaz tinggal mengawasi dan menerima hasil saja. Bila ada yang tak mampu mereka atasi, barulah ustaz/ustazah yang akan turun tangan. Menjadi pengurus memang tak mendapatkan ganjaran berupa materi, tetapi mereka meyakini akan mendapatkan pelajaran berupa pengalaman hidup yang berarti.


Salam santri Pengurus Ponpes Darul Aman Tegal Mataram.

***

Mar’atun Hasanah (17 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Darul Aman, Tegal, Mataram. Ia berasal dari Lombok, NTB. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: mar’ah Al Hasanah atau Instagram dengan nama: mar_ah2snh.