Orang-Orang Gila!!!

Cerita Ahmad Fatir Ahdar

Di dekat perempatan kota, di bawah langit malam, bintang gemintang berkilauan, berkerumun membentuk formasi apik. Ursa Minor, salah satu rasi bintang yang masyhur itu, berkenan memperlihatkan diri. Masyhur? Yah, karena Polaris (Bintang Utara) tinggal di dalamnya. Sesuai dengan namanya, Polaris hanya muncul di bagian utara khatulistiwa.

Pukul dua puluh tiga, jalanan lengang. Di ujung lorong-lorong pertokoan lampu-lampu menyala terang. Satu dua berkedip-kedip, tanda kalau ia sudah lelah, atau mungkin karena umurnya yang terlampau tua.

Tiga jam telah berlalu, semua toko resmi ditutup. Pemilik beserta pelayannya mungkin sudah tidur lelap di rumahnya. Gelandangan, pengemis, orang gila. Tampaknya mereka juga sudah tertidur pulas di tempat yang mereka sebut rumah.

Tunggu, maksudnya? Yah, tentu saja. Di kota, semua tempat bisa menjadi rumah. Kau pernah melihat orang tidur di depan toko, di kolong jembatan, di gerobak? Yap, itu juga rumah, sobat. Rumah orang-orang yang terpilih.

Malam ini jalanan itu berbaik hati menyumbang keheningan. Tak ada teriakan penjual asongan, pun tak ada raungan klakson hewan-hewan jalanan: Tiger, Kijang, Phanter atau sejenisnya.

Sempurna, jalanan sepi, menyisakan dua pengamen muda berbakat. Kaus kumal, celana jean’s tambalan, rambut berantakan, sandal jepit yang tidak serasi, gitar tua.

Mereka biasa dikatai sebagai orang gila. Tak apa, soal tampilan tak masalah. Asalkan bukan jiwanya saja yang gila.

“Jika suatu saat kau bertemu orang gila, cobalah kau temui. Tanyakan kepadanya baik-baik, mengapa pula ia memilih jadi orang gila. Ingat! Tanyakan baik-baik atau ia akan tersinggung.”

“Orang gila? Hah, persetan dengan orang gila. Dunia ini penuh dengan orang-orang gila. Siapa yang peduli. Kau, peduli apa kau dengan orang gila?”

“Yah, kau benar, Tom. Sebenarnya aku sangat ingin menemui mereka, menanyakan perihal kegilaan ini. Apakah mereka dengan senang hati memilih menjadi orang gila? Atau apakah itu sebuah takdir dari langit?”

“Dasar orang-orang gila tak tau diri. Hati nurani pun mereka tak punya. Apakah triliunan uang yang mereka curi itu masih kurang? Kekuasaan, masing kurang juga?

Apakah hutan-hutan semuanya akan dimusnahkan? Apakah orang-orang seperti kita ini juga akan musnah atau lebih tepatnya dimusnahkan? Rumah-rumah yang kita sebut rumah itu, apakah juga akan mereka musnahkan, menggantinya dengan beton-beton, baja-baja? Omong kosong soal orang gila.”

“Aku tahu ini pasti sulit, Tom. Untukmu dan untukku. Sampai kapan kita akan diakali oleh orang gila, aku pun tak tahu. Kita bisa apa? Apakah aku perlu mengadukan mereka kepada Tuhan agar mereka dilenyapkan selengkap-lengkapnya? Hmm, tentu saja, Tuhan pasti punya cara.

Tapi, Tom, jika memang kau sudah kehilangan rasa percayamu pada orang gila itu, paling tidak kau masih menaruh kepercayaanmu pada Tuhan. Kau percaya pada Tuhan, kan, Tom?”

“Hmm, Tuhan, ya. Sejak kecil mamakku selalu mengajarkan betapa hebatnya Tuhan itu. Yah, tentu saja aku percaya kepada Tuhan. Tapi, apakah Tuhan mendengar rintihan memelas kita, Roy?”

“Tentu saja, Tom. Tuhan tak hanya hebat, Tuhan juga sangat baik, tak terkecuali kepada kita yang sampai detik ini pun masih saja belum baik. Yah, Tuhan mendengar rintihan memelas kita.”

***

(ed: Du)


Nama: Ahmad Fatir Ahdar (20) adalah santri asal Palembang, Sumatra Selatan. Sekarang sedang ngangsu kawruh di Pesantren al-Fithrah, Jejeran, Wonokromo, juga di IIQ an-Nur, Ngrukem, Bantul, Yogyakarta. Ahdar bisa dikontak melalui akun media sosial Facebook (Ahmad Fatir Ahdar) atau Instagram (@Fatir_Ahdar).