Patahlah Tulang Rusukku

Cerita Jasmiko

Awal-awal kenal dengan pesantren, aku selalu membayangkan bahwa isinya adalah orang-orang bersarung, kopiah hitam, serta memakai baju koko putih. Lalu, aku melihat-lihat grup di FB tentang pesantren, atau bahkan tentang santrinya.

Wahh …. Ngeri sekali melihat postingan para santri.

Katanya …,

“Kalau belum terkena penyakit kulit, berarti belum betah di pondok.

Kalau belum lima belas tahun dilarang pulang.

Harus patuh kepada mbah kiai.

Dilarang berhubungan dengan lawan jenis.

Dilarang makan daging ayam.”

Kawan, mengerikan sekali, bukan?

Namun, dari itu semua, ada satu postingan yang membuatku tetap berangkat menuju pesantren.

“Santri putri di pesantren itu bening-bening, tidak pernah memakai bedak.”

Dengan niat itulah, yakni mencari pasangan hidup (karena pada saat itu aku yakin bahwa santri putri itu tidak banyak maunya, tidak banyak menuntut kepada suami) maka aku tekadkan untuk berangkat ke pesantren.

Bapak dan ibuku terheran-heran karena keputusanku ini. Pasalnya, ketika lulus SMP dahulu, aku sudah dipaksa oleh orang tua untuk menjadi santri, tetapi aku tetap tidak bersedia. Nah, sekarang, dengan tiba-tiba …,

“Pak, Buk, aku ingin mondok!” kataku dengan nada memelas.

Wajah Bapak dan Ibu ceriah seketika. Wajar, Ibu dan bapakku adalah lulusan pesantren. Mungkin dalam angan mereka pada waktu itu, “Wah, anak kita mendapatkan hidayah dari Tuhan.”

Singkat cerita, aku berangkat menuju pesantren dan menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur.

Satu tahun di pondok, aku tidak betah.

Dua tahun, masih juga belum betah.

Namun, rasa tidak betah itu tidak menjadi penghalang niat suciku, yaitu mencari pasangan hidup.

Tiga tahun menjadi santri, barulah aku mengenal dengan dekat salah satu santri putri. Dia cantik, manis, cerdas pula. Dalam hatiku berkata, “Tidak sia-sia aku menjadi santri selama tiga tahun.”

Sungguh, kala itu aku menjadi rajin mengaji, jemaah, dan lainnya. Dalam segala kegiatan aku menjadi yang nomor satu, termasuk hafalan Al-Qur’an, ‘Imriṭī, Alfiyyah, bahkan Jauharul-Maknūn.

Banyak santri yang terkagum-kagum dengan diriku, tanpa melihat hal apa yang menjadi penyemangat dalam hidupku. Aku menjadi idola santri di pesantren.

Waktu berjalan, kemudian menghadirkan kenangan.

Aku menangis, patah semangat.

Santri putri yang aku idam-idamkan ternyata adalah putri Mbah Kiai. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Tidak mencari tahu siapa dia. Lalu, untuk apa aku berusaha dengan giat selama ini? Sia-sia.

Putri Mbah Kiai dilamar oleh salah satu gus dari Pesantren Al-Kawabib.

Aku menangis, tersiksa. Dan mulai saat itulah aku mengurangi keaktifan mengaji, hafalan, dan semua hal.

Suatu malam, dari kamarku, aku mendengarkan pengajian adik kelas yang berada di aula pondok putra.

Pengajian itu menerangkan tentang niat-niat mencari ilmu, kitab Ta’līm al-Muta’allim.

Semakin panas telingaku mendengarkan pengajian itu. Bagaimana tidak? Pengajian itu menyiksa diriku, tidak mengasihaniku yang menjadi manusia seperti ini.

“Mencari ilmu itu harus dengan niat yang benar.”

“Pertama, untuk mencari rida Allah. Dua, menghilangi kebodohan. Tiga, memasyhurkan Islam ….”

Ah, tampaknya pengajian itu benar juga. Kenapa aku menjadi manusia serapuh ini? Kenapa aku mencari ilmu hanya karena seorang wanita?

Baiklah, pelan-pelan aku akan membenahi hidupku. Berat memang, tetapi lebih berat jika tidak dilakukan.

Wanita adalah hal dunia dan bisa menjadi hal akhirat.

***

(Ed: Du)

Jasmiko (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Hikmatul Muhajirin yang beralamat di Prambon, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: jasmikocahnganjuk.jasmiko/.