Pemulung Berakit Kayu

Cerita Fasihi Ad Zemrat

Awan membiarkan matahari menerpa tubuh seorang Pemulung berakit kayu. Dia mendayung sembari mengais sampah demi sampah. Setiap harinya, ia  meriap-riap sampah. Orang-orang mencelatkan sampah dari tangan mereka dengan acuh dan disambut gembira oleh Pemulung berakit itu.

Rakit tua berbahan gelondong kayu hitam berlubang menjadi perahunya. Ketika Pemulung menaiki rakit kayu, rakit itu tenggelam separuh. Pemulung itu seakan berjalan di atas air. Ia menggunakan caping untuk melingkupi kepala dan rambut hitamnya. Kaus putih kekuningan menutupi badan yang legam dibakar matahari. 

Seorang bocah bermata sayu menatap heran Pemulung. Pemulung tua itu sesaat menoleh, tetapi ia tak menghiraukannya. Ia lebih memilih menatap bendera merah putih yang telah usang dimakan rayap. Lambat laun bocah tersebut bosan dan memilih untuk pergi.

***

Kakek Pemulung menepi. Ia duduk meluruskan kakinya yang basah dan pucat pasi.

“Kenapa Kakek memulung di sungai? Di daratan, kan, juga banyak sampah,” tanya bocah tersebut dengan polosnya. 

“Kalau bukan Kakek yang memulung di sungai siapa lagi?” Kakek berkata sembari menyeka peluh. Entah sebuah jawaban atau pertanyaan. Bocah terangguk-angguk tak paham sedangkan Kakek Pemulung hanya tersenyum.

“Namamu siapa?”

“Abu, Kek.”

Kakek kembali tersenyum, mengguratkan keramahan yang telah termakan usia. Ia mengambil secarik kertas dan memberikannya kepada Abu.

Mata Abu berbinar melihat kertas tersebut. Sosok itu berdiri tegap sedang pidato dengan mikrofon. Presiden Pertama Indonesia yang sangat diidolakannya. 

“Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara iri dengan Indonesia. Aku titipkan Indonesia padamu,” petuah sang Presiden.

Abu mengernyitkan dahi, sementara Kakek Pemulung kembali mendayung demi mengais sampah. Abu menyapu pandang sembari mendengus kesal. Ia tak habis pikir tentang si Kakek, mengapa dia memilih mengais sampah di sungai daripada di daratan.

***

Senja menyingkap kalbu dan menebarkan asa. Matahari mulai terlelap di ranjangnya juga menyepuh langit dengan warna keemasan. Sungguh memesona setiap pasang mata.

Suara lagu iringan ondel-ondel menemani senja Kakek. Ia berhenti sejenak, mengistirahatkan badan dan menata batinnya. Mata Kakek tak bisa beranjak dari ondel-ondel. Arak-arakannya ditemani tawa suara anak-anak kecil dan melintas di atas Jembatan Sungai Ciliwung.

“Negaraku yang unik.”
Kakek Pemulung itu mengayuh dayungnya kembali.

***

Radio milik Kakek seketika berubah dari lagu-lagu menjadi siaran berita.

“Sekilas info. BMKG memperkirakan curah hujan yang cukup tinggi akibat badai cempaka. Wilayah Pulau Jawa akan terkena dampak paling parah.”

Semua orang tercengang mendengar kabar tersebut. Mereka harus bersiap-siap. Terlebih para kepala desa yang berada di sepanjang bantaran kali.

“Bu, Ayah mau ke Sungai Ciliwung dulu, ya!” seru Pak Ardi, salah seorang kepala desa.

“Iya!” balas istrinya dari dapur.

“Abu ikut ya, Yah!”

“Abu, mau ngapain di sana?”

“Abu mau ketemu sama Kakek Pemulung di sana!”

“Kakek Pemulung?”

“Ayo, Yah! Nanti Abu kenalin.”

Abu menarik tangan ayahnya dan wajahnya tampak riang. Pak Ardi tidak paham maksud dari kakek pemulung. Ia mengira anaknya berkhayal.

Sesampainya di Sungai Ciliwung, Pak Ardi menemukan seorang kakek sedang mengais sampah di atas rakit kayu.

“Kakek!” teriak Abu sembari melambai. Kakek Pemulung menyeringai lalu menepikan rakitnya.

“Kakek kenapa memulung di sini?” tanya Pak Ardi.

“Iya Kek, Abu kan udah pernah bilang.”

Kakek hanya tersenyum dan berkata, “Biarlah Kakek mengerjakan apa yang Kakek kerjakan. Kakek hanya menjalankan amanah Bapak Proklamator untuk merawat Indonesia. Negeri ini sangat indah dan kaya, sayang kalau tidak dijaga.”

Pak Ardi termangu dan seketika ia ingat amanah dari Ir. Soekarno.

“Sudah dulu ya, Kakek mau memulung lagi.”

“Bentar Kek, ini ada sedikit rezeki!” Pak Ardi memberikan uang lima puluhan.

“Kakek tidak butuh uang. Kakek lakukan ini untuk kecintaan Kakek terhadap negara ini.”

Pak Ardi kembali terdiam. Ia takjub melihat sosok kakek di depannya.

***

Hari beranjak petang, tetapi si Kakek Pemulung masih tetap di tengah Sungai Ciliwung. Ia tidak beranjak dan tetap mengais sampah yang selalu datang dari hilir sungai. Tubuh tuanya terlihat kusut dan basah oleh keringat. Napasnya juga mulai terengah-engah. Pak Ardi tidak dapat melakukan apa pun selain menjaganya.

“Siapa dia?” bisik seorang warga yang turut mengawasi Sungai Ciliwung. Tidak ada yang bisa menjelaskan siapa sosok kakek yang berada di atas rakit.

“Kek istirahatlah! Ini sudah larut,” teriak Pak Ardi, tetapi Kakek hanya diam dan terus mengais sampah. Ketika sampah memenuhi karung yang dibawanya, ia baru menepi untuk meletakkannya di daratan.

“Kek berhenti! Nanti Kakek sakit,” teriak seorang warga lain.

“Tidak. Saya tidak akan berhenti. Ini semua bahkan belum cukup untuk sebuah pengabdian,” jawab Kakek dengan suara setengah berteriak.

Pak Ardi dan semua orang yang mendengar pun terdiam. Udara mulai menghunjam kulit. Ponselnya bergetar menerima pesan dari istrinya untuk segera pulang.

***

Malam itu, Pak Ardi pulang larut malam sendirian. Seorang warga yang menemaninya sudah pulang terlebih dahulu. Lalu, pagi-pagi sekali Pak Ardi memeriksa kembali Sungai Ciliwung dan mendapati si Kakek masih saja mengais-ngais sampah. Ia merasa tak tahan dan gelisah. Apakah Kakek Pemulung itu berhenti atau terus sampai pagi ini mengais sampah.

Fajar mulai mekar dan kabut masih mengudara, tumpukan karung sampah di tepi sungai sudah banyak. Anehnya, Kakek sama sekali tak gentar dan masih terus mengais sampah.

Kabar tentang Pemulung berakit kayu di atas Sungai Ciliwung, menyebar ke mana-mana. Kegiatan Kakek mengundang banyak perhatian. Berduyun-duyun orang datang membawa makanan dan minuman.

Pak Ardi tak tahan lagi, ia mulai menyingsingkan lengan bajunya dan membantu mengais sampah. Semua rekan perangkat desanya pun ikut membantu.

Awalnya, orang-orang hanya memandangi, tetapi akhirnya mereka turun ke pinggir sungai dan ikut mengais sampah. Mereka ikut memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Sampah terkumpul dengan begitu cepat.

Tiga hari kemudian, tepat ketika datang musim hujan, Kakek tersungkur di pinggir sungai. Ia meninggal. Polisi datang memeriksa, tetapi karena semua orang tidak mengenal keluarganya, Kakek hanya dibawa ke rumah sakit.

Pak Ardi terperanjat dan mendadak kesunyian mengerubungi batinnya. Ia menyapu pandangan di sekitarnya, ada yang aneh di pelupuk matanya. Ia sadar, sampah yang menutupi sungai itu lenyap. Aliran sungai mulai bersih meski masih tercampur limbah pabrik.

Sungai Ciliwung mulai asri kembali, seperti dahulu kala. Setelah beberapa saat, puluhan orang sekitar sungai baru menyadari apa yang dilihat Pak Ardi. Mereka ternganga dengan pemandangan Sungai Ciliwung. Bagaimana mungkin Sungai Ciliwung bisa sebersih itu?

Sungai Ciliwung di depan mata mereka terlihat bersih dari tumpukan sampah. Setelah itu, tidak ada lagi kiriman sampah atau warga yang membuang sampah ke wilayah tersebut.  Aliran sungai menjadi lancar sampai ke hilir sungai. Warga bantaran Sungai Ciliwung mulai sadar. Mereka tak sampai hati untuk membuang sampah ke sungai.

***

Malam harinya, debit air mulai naik dan Sungai Ciliwung pun hanya sedikit meluap. Semua orang bergembira. Mereka tidak menyangka kerja Kakek Pemulung itu menyelamatkan mereka tahun ini. Pak Ardi hanya bisa takjub dengan kata Kakek yang selalu menggema di telinganya.

“Kakek tidak butuh uang. Kakek lakukan ini untuk kecintaan Kakek terhadap negara ini.”

***

Fasihi Ad Zemrat (21 tahun) adalah nama pena dari Amin Arifin, merupakan santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta dan mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya cerpennya pun dimuat dalam antologi cerpen dengan judul Yang Merinai Kinanti di Osaka serta Pohon Keluarga. Penulis dapat ditemui lewat Instagram  dengan nama: @fasihi_ad_zemra atau Facebook dengan nama: Amin Arifin.