Perempuan Penakluk Imam Hasan Bashri

Cerita Slamet Makhsun

Dalam kisah-kisah ulama tasawuf, sangatlah masyhur kisah percintaan Hasan Bashri dengan seorang perempuan. Bahkan, kisah ini ditulis oleh al-Ghazali dalam kitab Misykāt al-Anwār, atau juga bisa dibaca dalam kitab ‘Uqūd al-Lujain fī Bayān Ḥuqūq az-Zaujain karya Imam Nawawi al-Bantani.

Hasan Bashri adalah seorang sufi dan juga seorang ulama ahli hadis yang terkenal. Beliau lahir di Madinah pada tahun 728 Masehi dengan nama lengkap Abū Sa’īd al-Ḥasan ibn Abu al-Ḥasan al-Baṣrī.

Kisah ini bermula ketika seorang perempuan yang masyhur kesalehannya seantero negeri telah ditinggal mati suaminya. Orang-orang pada saat itu sangat menyayangkan bila perempuan yang masih terbilang muda, cantik, dan salihah pula, tidak dinikahi. Secara jelas, Al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan salihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

Orang-orang pun berlomba untuk melamarnya. Namun, sebelum mengetuk pintu rumahnya, mereka gemetar. Akhirnya urunglah niat mereka untuk melamar perempuan itu. Mereka merasa tidak pantas untuk meminangnya sebab mereka merasa kesalehan perempuan tersebut jauh di atas diri mereka semua.

Ketika ramai-ramai masyarakat membicarakan perempuan tersebut, mereka mendengar bahwa Hasan Bashri berniat melamarnya. Dugaan mereka, perempuan itu akan mau dilamar Hasan Bashri. Sebab, saat itu Hasan Bashri terkenal sebagai orang yang saleh, juga guru tasawuf yang memiliki banyak murid.

Hasan Bashri pun berangkat ke rumah perempuan tersebut dengan ditemani beberapa ulama. Ia pun membukakan pintu dan menjawab salam dengan ramah. Ia juga memasang pembatas dari kain di ruang tamunya agar antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, tidak bisa saling tatap muka, khawatir terjadi fitnah.

Setelah Hasan Bashri mengucapkan belasungkawa atas kematian suami dari perempuan tersebut, akhirnya ia secara terang menyampaikan keinginan untuk melamarnya.

“Wahai perempuan salihah, sesungguhnya suamimu telah meninggal dunia. Oleh karena itu, sebaiknya kamu bersuami lagi. Pilihlah di antara kami, orang-orang zuhud ini, siapakah yang ingin kamu jadikan suamimu?”

Dengan hati yang tenang dan suara yang penuh kewibawaan, perempuan itu menjawab, “Baiklah, sebenarnya saya sangat memuliakan kalian, wahai orang-orang alim. Namun, siapakah di antara kalian yang paling alim? Sungguh, saya akan menghambakan diri sebagai istrinya.”

Sejenak, kumpulan orang-orang alim itu terdiam membisu. Tak lama, mereka saling berbisik satu sama lain dan menghasilkan sebuah keputusan bersama. Di antara mereka ada yang mewakili menjawab pertanyaan perempuan itu.

“Sungguh, kami telah sepakat bahwa Hasan Bashri adalah orang yang paling alim di antara kami.”

Ia pun balik menimpali Hasan Bashri, “Wahai Hasan, jika engkau mampu menjawab empat pertanyaan dariku maka aku siap menghambakan diri sebagai istrimu.”

“Tanyalah, wahai perempuan mulia. Sungguh, jika Allah Swt. memberiku petunjuk maka aku akan membantu menjawab pertanyaanmu,” jawab Hasan Bashri.

“Pertama, jika saya mati, apakah saya meninggalkan dunia ini dengan memegang keimanan atau kekafiran?”

“Itu adalah suatu perkara yang gaib dan hanya Allah Swt. yang tahu,” jawab Hasan Bashri.

Setelah mendengar jawaban dari pertanyaan pertama, ia melanjutkan ke pertanyaan kedua, “Bagaimana menurutmu jika aku telah dimasukkan ke liang kubur, kemudian malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, apakah aku mampu menjawab pertanyaan mereka?”

“Pertanyaan tersebut sama halnya dengan pertanyaan yang pertama, bersifat gaib dan hanya Allah Swt. yang tahu.”

Kemudian, ia melontarkan pertanyaan yang ketiga, “Ketika manusia dikumpulkan di tempat yang lapang pada hari kiamat, sebagian orang diberi buku catatan amal perbuatannya di dunia dari arah depan atau kanan sebagai pertanda beriman, dan sebagiannya lagi dari arah belakang atau kiri sebagai tanda kekafiran. Menurutmu, buku catatan dari arah mana yang akan saya terima?”

Mendengar pertanyaan semacam itu lagi, Hasan Bashri hanya bisa menjawab bahwa hal tersebut merupakan perkara gaib dan hanya Allah Swt. yang tahu.

Perempuan itu melanjutkan ke pertanyaan keempat, “Jika sekelompok manusia di hari kiamat dipanggil untuk dimasukkan surga atau dimasukkan neraka, apakah aku termasuk penghuni surga atau neraka?”

“Itu adalah perkara gaib dan hanya Allah Swt. yang tahu,” jawab Hasan Bashri.

Setelah mendengar semua jawaban dari Hasan Bashri, ia menimpalinya lagi, “Wahai Hasan, apakah orang yang gelisah dengan keempat pertanyaan tersebut membutuhkan suami dan akan menyibukkan diri dengan pernikahan? Wahai Hasan, berapa bagian jumlah akal yang diciptakan Allah Swt.?”

“Sepuluh bagian. Satu untuk perempuan dan sembilan untuk laki-laki,” jawab Hasan Bashri.

Perempuan itu menyahut lagi, “Allah Swt. juga menciptakan syahwat menjadi sepuluh bagian. Satu untuk laki-laki dan sembilan untuk perempuan. Wahai Hasan, saya bisa menjaga sembilan bagian syahwat dengan satu bagian akal. Lalu, mengapa kamu tidak bisa menjaga satu bagian syahwat dengan sembilan bagian akalmu?”

Setelah mendengar penjelasan perempuan tersebut, air mata Hasan Bashri menetes deras. Dia tersadar bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari syahwat. Dia pun meminta maaf pada perempuan itu, mengucapkan terima kasih dan meminta pamit. Akhirnya, ia bersama ulama-ulama yang menemaninya undur diri dengan penuh haru dan tangis, mereka berjalan pulang.

Ketahuilah bahwa perempuan yang alim, cantik, dan salihah tersebut adalah sufi wanita yang diagungkan dari jagat timur sampai barat, dari utara sampai selatan. Banyak umat Islam yang memuji dan mengambil hikmah darinya. Tak lain dan tak bukan, ia adalah Rabī’ah al-‘Adawiyyah.

***

(ed: Du)

Slamet Makhsun (19) adalah Santri di Pesantren Muntasyirul ‘Ulum, Yogyakarta. Alumni MAN 3 Sleman ini bisa dihubungi melalui akun medsos Facebook (Makhsun) dan Instagram (@Makhsun_id).