Cerita Inayatul Fitriyah
Meskipun sudah hampir satu bulan di pesantren, nyatanya masih saja ada sebagian santri baru yang belum betah di sana. Seperti salah satu santri ini, Ulfa namanya.
Sudah berbagai cara dia lakukan demi mendapatkan kenyamanan tinggal di pesantren. Mengaji, beribadah, bercanda dengan teman sebayanya, tetapi tetap saja. Setelah itu ia akan teringat dengan dengan orang tuanya, lantas menangis histeris. Mungkin karena dirinya yang terlalu amat sangat dimanja, Ulfa sulit untuk menjalani hidup di pesantren.
*
Hari Ahad, jadwal kunjungan mingguannya tiba. Kedua orang tuanya datang membawa beragam jenis makanan dan camilan. Keduanya berpikir, barangkali anaknya akan betah jika dikirimi berbagai macam makanan ringan ini.
Terlihat, Ulfa sangat bahagia dikunjungi orang tuanya. Malahan, sepertinya ia tidak pernah menangis kejer karena tiba-tiba merindukan suasana rumah. Ia sangat asyik bercerita sembari sesekali menggigit donat di tangannya.
“Iya, Bu. Kemarin aku ada hafalan naẓam ‘Aqīdatul ‘Awām. Tapi karena aku gak hafal, jadi disuruh berdiri di depan kelas sambil menghafalkannya. Dan parahnya, bukan cuma aku yang tidak hafal. Hampir separuh isi kelas tidak ada yang hafal. Karena hafalannya sepuluh bait. Bayangkan, Bu. Sepuluh bait!!” ujar Ulfa sembari mengangkat sepuluh jarinya tinggi-tinggi. “Satu aja susahnya minta ampun apalagi sepuluh.”
Yanti, sang Ibu, hanya bisa tersenyum sembari mengelus sayang puncak kepala anaknya. Bahkan saat Yanti hendak pulang ke rumahnya mengakhiri kunjungannya di minggu kali ini, Ulfa baik-baik saja. Ia terlihat sangat senang dengan kunjungan barusan.
Yanti pun berjalan pulang dengan perasaan lega. Teman-temannya yang melihat pun turut bahagia dengan perubahan ini.
“Mungkin Ulfa senang kalau dibawakan banyak makanan. Makanya tidak menangis saat aku pulang tadi,” pikir Yanti.
Akan tetapi, di jam selanjutnya, saat selesai melaksanakan salat zuhur berjamaah, terdengar suara tangisan di barisan belakang. Siapa lagi, Ulfa-lah orangnya. Teman-temannya sibuk mengerubungi menenangkan. Perlahan, tetapi pasti, Ulfa akhirnya menghentikan tangisannya. Lantas kembali pulang menuju asrama.
Menjelang kunjungan di minggu selanjutnya, Ulfa sudah uring-uringan di tempat tidurnya. Sudah rindu rumah tak karuan katanya. Dasar santri baru!
Tiba-tiba Ulfa merasa ingin ke kamar mandi. Ia pun beranjak menuju kamar mandi. Namun, di perjalanan menuju kamar mandi, sayup-sayup ia mendengar seruan dari kakak tingkatnya yang katanya punya ramuan ampuh jika ingin pulang ke rumah tanpa ada keperluan izin. Sontak, Ulfa segera menajamkan pendengaran.
“Nih, ya. Aku kasih tahu, kalau bawang merah itu bisa bikin badan kita panas meskipun tidak sakit demam,” ucapnya sembari memperlihatkan beberapa butir bawang merah di tangannya.
“Trik ini sudah lama digunakan, bahkan pihak pengurus pasti akan ada rasa curiga jika ada santriwati yang tiba-tiba sakit panas.”
“Caranya gimana, Rif?” tanya salah seorang temannya kepada Rifa.
“Nih, kalian ambil bawang merahnya. Ambil satu atau dua gak papa, terus taruh di ketiak, jepit antara badan sama lengan, terus kalian tidur dengan selimut sampai menutupi dagu. Nah, nanti pas tidur itu badan kalian bakal panas gitu,” jelasnya panjang lebar. Keempat temannya yang mendengarkan mengangguk-angguk.
Ulfa yang sedari tadi nguping, lupa bahwa ingin ke kamar mandi. Bahkan, keinginan untuk buang hajatnya itu sudah hilang sejak tadi karena tertarik mendengar pembicaraan kakak tingkatnya itu.
“Jadi bawang merah ya …,” pikir Ulfa.
Tanpa banyak tingkah lagi, Ulfa segera pergi ke dapur kantin. Kebetulan tidak ada orang di sana. Maka, Ulfa lekas mencari bawang merah sebanyak-banyaknya. Kemudian ia pergi ke kamarnya dan segera melaksanakan trik yang diucapkan kakak tingkatnya tadi.
Benar saja, melihat Ulfa yang sedari hanya tiduran dengan selimut yang menutupi hampir sebagian tubuhnya, membuat teman-temannya kembali berkerumun.
“Kamu kenapa, Ul?” tanya Dwi, salah seorang temannya.
Ulfa tak menjawab. Ia hanya menggeliat kecil sembari mengeluh-ngeluhkan kata panas. Dwi yang sedikit mendengar kata panas, segera menempelkan punggung tangannya di dahi Ulfa.
“Ya Allah, kamu panas banget Ul, aku telponin Ibu kamu, ya?” ujar Dwi. Ulfa hanya meresponsnya dengan anggukan.
Dwi pun segera pergi menuju kantor sekretariat pesantren, ingin meminjam ponsel demi mengabari keadaan Ulfa pada orang tuanya.
Tak lama kemudian, Yanti datang tergopoh. Khawatir akan keadaan anaknya yang katanya sedang sakit. Yanti mengecek suhu badan anaknya. Panas. Begitulah yang ia rasakan. Maka cepat-cepat Yanti mengurus proses perizinan kepada ketua pondok untuk membawa pulang Ulfa ke rumah. Ketua pondok yang tak lain adalah Kusniyah—teman sebayanya di pesantren—cepat-cepat mengangguk mengizinkan.
Akhirnya di sinilah Ulfa berada. Dengan menaiki sepeda motor bersama ibu-ayahnya, ia pulang dengan perasaan bahagia. Sebuah kesempatan yang paling ditunggunya adalah pulang kembali ke rumah, bermain ponsel sesukanya, tanpa ada yang melarang ataupun menyuruh ini itu.
Sampai di rumah, sang Nenek—Ami namanya— merasakan sesuatu yang berbeda dari gejala panas yang di derita Ulfa. Semacam ada keanehan serta kejanggalan.
“Eh, kok sepertinya ada bau-bau bawang di sini?” Ami berseru. Sontak Ulfa mulai banjir keringat panas dingin. Bahkan terlihat di pelipisnya keringat yang sudah membesar seukuran biji jagung. Salah satu kebiasaan jika Ulfa menyembunyikan sesuatu, ia akan mengeluarkan keringat dalam cuaca apa pun.
“Nah, itu keringatnya muncul.” Tunjuk Ami pada keringat di pelipis Ulfa. “Ayo, apa yang Ulfa sembunyikan dari kami?”
Ulfa menunduk menyesali perbuatannya. Ia pun bercerita bahwa ia hanya pura-pura sakit dengan menempelkan bawang merah di ketiaknya yang kemudian diapit oleh lengannya. Yanti dan Eko menghela napas berat mendengarnya. Terlihat pancaran kekecewaan di sana. Ami yang mendengarnya pun ikut kecewa terhadap cucu satu-satunya itu.
“A … aku janji Ibu, Ayah, Nenek. Gak ngilang lagi. Ulfa janji gak ngulang kok. Ulfa cuma pengin pulang, itu aja. Karena proses perizinan di pesantren sangat susah, Ulfa jadi kepikiran trik ini.” Ulfa menunduk sedalam-dalamnya.
“Kamu tahu trik ini dari siapa?” tanya Eko.
“Dari kakak tingkat, Yah. Ulfa gak sengaja dengar,” ujar Ulfa.
Lantas keempatnya segera menyudahi percakapan. Keputusannya, Ulfa akan kembali ke pesantren hari besoknya langsung. Ulfa mendesah berat. Sepertinya sia-sia melakukan trik ini kalau tidak bisa berlama-lama berada di rumah.
Anehnya, pagi hari selanjutnya di rumah, tiba-tiba Ulfa meracau kepanasan. Tidak enak badan katanya. Memang sejak pagi ia tidak beranjak dari tempat tidur, tetap asyik bergulung di balik selimut tebal.
“Ayo Ulfa, lekas berkemas. Kita berangkat sebentar lagi,” panggil Yanti dari arah dapur. Ia sedang menyiapkan makanan untuk di bawa ke pesantren.
“Ulfa gak enak badan, Bu,” ucapnya lemah.
“Sudah jangan banyak tingkah kamu. Cepat berkemas sana.” Yanti masih saja menyuruhnya berkemas. Namun, Ulfa masih saja belum mau beranjak.
“Nak, kamu sakit beneran?” Yanti segera menyentuh dahi anaknya. Panas. Benar-benar panas.
Lantas Yanti segera memanggil Eko dan Ami untuk melihat kondisi kesehatan Ulfa. Dan benar saja, ketika Ami dan Eko turut menyentuh dahi Ulfa, ia benar-benar panas.
“Makanya, kalau bohong sama orang tua itu kualat. Lihat sendiri, jadi panas beneran kan?” Ami sengaja bersuara ketika Ulfa dengan jelas-jelasnya merasa tak tahan dengan panas yang ia alami.
Sementara Eko sedang menelepon dr. Herman untuk segera memeriksa kesehatan putrinya itu.
Dr. Herman datang dua puluh tiga menit kemudian. Dengan menenteng koper hitam yang berisikan alat-alatnya, dr. Herman segera mengecek kondisi Ulfa. Dia demam, dr. Herman menyarankan untuk membawa Ulfa ke rumah sakit terdekat untuk segera ditangani lebih lanjut. Sepertinya ia akan diopname, pikir Ulfa.
Benar saja, ia diopname dua hari tiga malam. Menyedihkan rasanya harus berada di atas ranjang setiap hari dengan jarum infus yang melilit tangan. Ditambah masakan rumah sakit yang sangat tidak cocok dengan lidahnya. Sebeginikah kualat yang ia dapatkan karena berbohong pada orang tua. Pura-pura sakit agar diperbolehkan pulang. Demi apa pun, selanjutnya Ulfa berjanji tidak akan pernah sakit lagi. Ia akan berusaha menjaga kondisi kesehatannya sebaik mungkin. Tidak ingin kembali menderita di rumah sakit lagi.
***
(ed: Du)
Inayatul Fitriyah adalah santri di Pondok Pesantren Al-Usymuni dan siswi di SMAS Plus Miftahul Ulum. Ia bisa dihubungi melalui Facebook (@Ifiya) atau Instagram (@ifiya_).