Cerita Maulana Zayani Ahsan
Bagaimana perasaanmu, jika seseorang yang kamu cintai, kekasih yang selalu kamu jaga, memilih dan diam-diam mencintai orang lain?
Kepedihan telah membawa jari-jariku untuk mengepal, memukul dinding berbatu terjal. Aku menggantungkan rasa pedih itu pada tali penyangga hingga tidak ada lagi perasaan takut. Bahkan rasa takut kehilangan kini menjelma menjadi keberanian untuk menghadapi segala hal.
Bagiku, cinta telah datang kemudian menusuk mati segala saraf yang ada.
Tak pernah aku bayangkan cinta akan membawa luka. Perasaan kejam terlalu dalam, terlalu pedih, dan menyakitkan. Mungkin dengan kepergian diriku, dapat membawa rasa sakit di hati hilang. Meski aku tahu sebenarnya lari dari kenyataan bukanlah hal yang dapat mengobati. Namun, mempertahankan seseorang yang tidak lagi memiliki perasaan yang sama kepadaku, hanya
menimbulkan pilu di dada.
Aku pernah begitu dalam mencintainya, menyerahkan seluruh perasaan, menanam harapan setinggi mungkin, menciptakan rencana dan khayalan untuk masa depan. Semuanya dihancurkan begitu saja oleh perempuan itu. Dia mengatur rencana sedemikian rupa. Tanpa aku sadari, dadaku tertusuk. Tak berdarah, tetapi hampir menghilangkan seluruh perasaanku tak berbekas.
Maureen, begitu aku memanggilnya. Gadis berusia 17 tahun, berambut panjang, kulitnya bersih, dengan tinggi 165 cm. Senyumnya manis, tak ada isyarat jika dia akan mematahkan hatiku. Kenyataannya tidak seperti itu. Tidak semua bunga yang indah menawarkan madu, ada juga yang menyimpan racun. Membunuh dan menikam secara perlahan.
***
Aku pun terluka terlalu dalam. Luka itu mengantarkanku untuk
menaklukkan sebuah puncak gunung di Jawa. Hampir satu minggu, aku meninggalkan kota. Puncak Gunung Merapi yang akan aku taklukkan. Aku melewati Desa Suroteleng, Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Mendaki gunung adalah caraku menghilangkan rasa sakit itu.
Di pagi yang memukau, embun menguap secara perlahan. Udara masih
terlalu dingin, pagi datang dengan malas. Aku biasa dipanggil Nugraha, lelaki dengan nama lengkap Maulana Nugraha. Aku mencoba membuka mata, berusaha bangkit dari tidur, tetapi tubuhku terasa lelah.
Hatiku menolak, aku tahu mengapa diriku sampai di sini. Aku hanya
ingin memulihkan luka hatiku. Jika tergelincir dan jatuh ke jurang, mungkin aku akan mati atau patah tulang dan cacat seumur hidup. “Dan itu tidak sesakit yang kamu lakukan kepadaku,” gumamku.
Aku mengingat perempuan itu sementara mataku menatap keindahan alam yang ada di sekelilingku. Beberapa meter di hadapanku terlihat puncak Merapi sangat indah dan siap untuk didaki.
***
“Evan.” Dani menepuk bahunya.
“Kamu siapa?” tanya Evan.
“Aku temannya Nugraha, mau menemani kalian mendaki” jawab Dani.
“Siap!” jawab Evan dengan semangat.
Evan dan Dani membantu membawa peralatan mendakiku. Kami berjalan menuju pos pertama. Gunung Merapi memiliki tinggi kurang lebih 2.930 Mdpl dan memiliki jalur cukup terjal dan ekstrem. Kami bertanya kepada penjaga pos pertama tentang apa saja yang tidak boleh dilakukan ketika mendaki. Setelah bertanya, kami melanjutkan perjalanan menuju pos kedua.
Jam menunjukkan pukul lima sore, setengah jam perjalanan sampailah kami di pos kedua. Di sana kami melepas penat sebentar, setelah itu melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Hari mulai petang, senja tenggelam, langit pun menjadi gelap. Masing-masing dari kami menyalakan lampu yang kami bawa, supaya dapat melanjutkan perjalanan.
Setelah menempuh kurang lebih dua jam perjalanan, aku melihat di depan ada pos selanjutnya. Kami pun bergegas menuju ke sana dan kami bertemu dengan pendaki yang lain. Tidak terasa kami sudah mendaki kurang lebih 1.000 Mdpl.
“Ternyata capek juga ya,” kata Dani dengan napas terengah-engah.
Setelah menikmati sebagian bekal, kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Di perjalanan, kami melintasi medan yang terjal dan menanjak. Kami membutuhkan tenaga ekstra untuk melewatinya. Kami tetap melanjutkan perjalanan walaupun banyak rintangan yang menghadang. Beribu-ribu langkah kami pijakkan di Gunung Merapi.
Sampailah di pos selanjutnya. Aku melihat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.
“Ayo sebentar lagi kita sampai pos terakhir,” kataku pada mereka dengan penuh semangat.
Sampailah kami di pos terakhir, kami pun mendirikan tenda untuk beristirahat dan menunggu matahari terbit esok hari. Kami beristirahat di dalam tenda untuk memulihkan tenaga setelah melewati perjalanan kurang lebih 2.900 Mdpl.
Matahari mulai menampakkan sinarnya, begitu indah ciptaan Tuhan. Kami pun bangun kemudian memberesi seluruh peralatan. Kami bergegas menuju puncak untuk menikmati indahnya pemandangan Gunung Merapi. Hari mulai siang, kami bergegas turun dari gunung.
Setelah dua hari, aku mendaki gunung dan akhirnya sampailah aku di rumah. Aku sudah lupa apa yang dilakukan perempuan itu padaku. Aku sudah bahagia dengan caraku sendiri. Setelah beberapa hari aku mendaki gunung dan melewati semua rintangan, perasaan hatiku kembali seperti semula. Tak ada lagi beban dan bekas luka di dalam hatiku. Aku sadar bahwa apa yang aku lewati kemarin bersamanya, sepahit apa pun itu adalah bagian dari cara Tuhan mendewasakanku.
Terima kasih Merapi, kau menjadi jalan untukku menghapus jejaknya. Akhirnya, aku dapat menjalani hari-hari dengan lebih baik.
***
Maulana Zayani Ahsan (16 tahun) merupakan siswa kelas 10 MA Nur Iman, Mlangi, Yogyakarta. Santri dari PPM Aswaja Nusantara dan berasal dari Desa Suren, Mlarak, Ponorogo, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @zyn.ahsan.