Pesan Kucing

Cerita Kholilah

Sore kala itu mendung sekali. Tak kulihat semburat senja sedikit pun di barat sana. Aku berdiam diri memandangi langit yang mewakili rasa. Hidupku makin hari makin kacau. Entah apa karena aku yang semakin tak berarah atau keadaan memang sedang tidak mendukung?

“Huuftt,” kumengembuskan napas lelah. Seharian ini aku punya banyak masalah, baik masalah rasa atau raga. Aku pandang jemari tanganku dan bertanya, “Apa yang sudah kuperbuat dengan tangan ini?”

“Dosakah aku?” tanyaku kembali dalam hati.

“Aku hanya inigin memperjuangkan hakku. Aku tak bermaksud merenggut kesenangan apa pun dari orang lain. Aku hanya …,” ucapanku tersengal dengan air mata yang memuncak hebat. Aku tersedu di soreku yang syahdu.

Akan tetapi, entah mengapa, tiba-tiba kepalaku terasa pening dan berat. Serasa ada benda keras yang menghantam berkali-kali. Pandanganku nanar. Napasku tersengal. Seakan jiwaku terhempas dan, “Bruk!” aku terjatuh.

***


“Duh!” rintihku pelan sambil mencoba membuka sedikit kelopak mata. Aku merasa ada hewan berbulu menjilati pipiku. “Khheerrr,” dengus hewan itu. Aku menghempas pelan hewan itu. “Meoongg,” bunyinya, seakan mengaduh sakit saat kuhempas.

“Ternyata kucing,” tebakku pelan dalam hati. Aku mencoba duduk dan memandang sekitar yang terasa aneh. “Aku di mana?” tanyaku bingung sambil memandang sekitar.

Kulihat seekor kucing berbulu hitam datang seakan menyapaku. “Hey! ” sapa kucing itu padaku. Aku tertegun aneh. “Kucing itu ngomong?” tanyaku dalam hati. “Ah, tidak. Tidak. Aku pasti berkhayal!” ucapku tak percaya saat mendengar ujaran kucing berbulu hitam itu.

Kucing itu melengak seakan paham apa yang kuucapkan. Dia memandangku lekat seakan ingin menjelaskan sesuatu. Aku membalas pandangannya tajam sambil mengerutkan dahi.

“Kenapa? Kau tak percaya bahwa aku sedang bercengkerama denganmu?” ucapnya menambahi. “Pernah tidak sesekali kau tebersit bahwa aku paham dengan apa yang kau pikirkan?” tanyanya, sedangkan aku tak merespons.

Aku masih sibuk menyadarkan diri dengan apa yang sedang kualami saat ini. Namun, kuakhiri dengan bertanya, “Kau benar-benar sedang berbicara?”

“Iya,” jawabnya singkat.

Kupandang ia masih penuh dengan rasa heran. Kutatap dia lekat, tetapi entah mengapa sedikit tebersit iri di hati ini. Kulihat ia bercengkerama bahagia dengan keluarganya. Sungguh aku iri.


Aku masih termangu lama memandangi segerombolan kucing yang berinteraksi tenang. Kulihat mereka terlelap kala tidur dan bebas tanpa terpikulkan beban yang datang. Mereka tenang sekali, hingga membuatku merasa gagal menjadi manusia yang berhak bahagia.

“Huft,” desahku pelan. Tiba-tiba kudengar dengusan kucing dari belakangku sambil berucap, “Tumpahkanlah air matamu!” Kucing berbulu oranye itu datang menghampiriku.

Aku terdiam pilu dan ia mendekat, “Menagislah. Jangan berhenti karena saat kau tahan, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Menangislah. Jangan malu. Itu tak akan membuat duniamu berakhir selamanya. Ingatlah bahwa duka tak hanya melahirkan luka dan nista, tetapi juga bisa melahirkan bahagia dan karya. Tenanglah. Jika tak mampu, menangislah kembali. Semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucap kucing itu seakan paham dengan apa yang kupikirkan.

Aku terpaku mendengarnya yang seakan berpesan padaku. “Aku hanya ingin bahagia,” jawabku dengan diiringi isak yang sedari tadi kutahan. “Berbahagialah! Tak ada yang melarang!” ucapnya sembari menggosok-gosokkan kepalanya padaku.

“Tapi, aku lupa harus bagaimana?” jawabku. Tangisku menjadi, seakan mengantarkanku kembali pada dunia yang seharusnya kutempati.

@kocheng_oren

***

(ed: Du)

Kholilah (18) adalah santri di Ma’had Aly Nurul Jadid, Karanganyar, Paiton, Probolinggo. Ia bisa dihubungi melalui akun media sosial Facebook (Khulailah) atau Instagram (@Bihurin_in).